Oleh: KH. Imaduddin Utsman, MA.
Nama Syekh Ciliwulung tidak asing bagi masyarakat Tangerang Banten, makamnya selalu ramai diziarahi masyarakat terlebih pada malam jumat. Makam beliau sekarang masuk wilayah Kabupaten Serang tepatnya di Kampung Gagunung Ds. Cakung Kecamatan Binuang Bersebrangan dengan Desa Kresek. Awalnya Gegunung dan Kresek menjadi satu namun karena adanya pelurusan sungai Cidurian oleh Belanda kini keduanya dipisahkan oleh sungai Cidurian.
Beliau adalah seorang ulama besar yang diyakini masyarakat sebagai waliyullah sekaligus Senapati kesulthanan Banten pada zaman Sulthan Agung Tirtayasa. Ia tetap setia mendampingi Sulthan Agung Tirtayasa ketika para senapati dan bangsawan Banten banyak yang berbelot mendukung putranya yakni Sulthan Haji yang memberontak kepada ayahnya dengan dukungan Belanda.
Syekh Ciliwulung adalah putra Raden Kenyep Arya Wangsakara penguasa Tangerang pada zaman Sulthan Abul Mafakhir dan Sulthan Agung Tirtayasa. Ibunya adalah Ratu Maimunah binti Tubagus Idham dari keluarga kesulthanan Banten yang tinggal di Cakung Kresek sekarang masuk wilayah Gunungkaler.
Syekh Ciliwulung lahir dengan nama Raden Wiranegara. Sejak kecil ia tinggal bersama Kakeknya Tubagus Idham di Cakung. Kakeknya yang seorang kiayi mendidik Wiranegara menjadi seorang santri yang mumpuni dalam ilmu syariat dan haqiqat. Selain itu ilmu tatanegara dan ilmu keprajuritan tak lupa diajarkan kakeknya sehingga menjelmalah Wiranegara menjadi seorang perwira dari kalangan bangsawan santri yang paripurna.
Wiranegara adalah anak satu satunya Raden Arya Wangsakara dari isteri Ratu Maimunah. Dari isteri Ratu Zakiyah Kenari, Wangsakara mempunyai anak empat perempuan semua yaitu Raden Ratna sukaesih, Raden Wirasukaesih, Raden Sukaedah dan Raden Karasupadmi. Dari isteri Nyimas Nurmala Karawang mempunyai dua putra yaitu Raden Yudanegara dan Raden Raksanegara keduanya menggantikan Raden Arya Wangsakara menjadi penguasa Tangerang.
Setelah dewasa Raden Wiranegara mengabdikan diri sebagai tentara angkatan laut kesulthanan Banten. Karena keberaniannya di medan perang ia diangkat Sulthan Agung Tirtayasa sebagai salah satu senapati angkatan laut dengan gelar Senapati Ciliwulung. Bila tidak ada peperangan Senapati Ciliwulung kembali ke Pesantrennya di Cakung mengajar para santri.
Ketika terjadi pemberontakan Sulthan Haji kepada ayahnya, Sulthan Tirtayasa, keluarga besar Raden Arya Wangsakara tetap setia mendampingi Sulthan Tirtayasa.
Dalam perang penentuan akhir Sulthan Agung Tirtayasa pasukan belanda merangseg dari Batavia menuju Tirtayasa. Tanara dijaga oleh sisa sisa pasukan Tirtayasa yang dipimpin oleh dua kesatria utama pasukan Tirtayasa yaitu Senapati Pangeran Ingayuda Singalaras bin Sulthan Agung Tirtayasa dan Senapati Ciliwulung bin Raden Kenyep Wangsakara.
Kedua ksatria ini berhasil menggelorakan semangat perang sabil kepada seluruh pasukan sehingga terjadilah pertempuran yang sengit antara pasukan Banten dan Belanda. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun jumlah pasukan Belanda yang terlalu banyak dan persenjataan yang lengkap baik senapan maupun meriam membuat pasukan Banten satu persatu gugur menjemput syahid termasuk dua ksatria utama Senapati Pangeran Ingayuda dan Senapati Ciliwulung Wiranegara.
Syahidnya Senapati Syekh Ciliwulung dan Senapati Pangeran Ingayuda tercatat dalam lembaran surat arsip keariyaan Tangerang di Grendeng. Dalam arsip itu disebutkan bahwa hari syahidnya Syekh Ciliwulung terjadi pada hari sabtu wage tanggal 26 Desember 1682 Masehi atau bertepatan dengan 26 Dzulhijjah 1093 hjriyah.
Wallahu a’lam.