BANGKIT DARI SEGALA PENINDASAN
“BANGUNLAH JIWANYA, BANGUNLAH BADANNYA UNTUK INDONESIA RAYA !”
(Bait Syair Lagu Kebangsaan RI)
POLITIK ETIS
Hantu Komunisme segera menggema di Eropa manakalah Karl Marx dengan Manifesto Komunisme dan Das Kapitalnya begitu booming di jamannya. Pada pertengahan abad-19 itu, semua kaum borjuis dan monarkhi Eropa seakan menjadi terdakwa. Memang di setiap politik kelas, pasti akan ada kaum kelas bawah yang menjadi korban dari eksploitasinya. Bila di Eropa yang melimpah dan kaya-raya saja demikian terjadi ketimpangan, apalagi di negeri-negeri jajahan yang diperas habis-habisan. Memang kerakusan manusia tidak mengenal bangsa, di setiap kesempatan bila perlu bangsanya sendiri pun akan dimangsa bila diperlukan.
Ketakutan terhadap revolusi proletariat tersebut membuat arah dan orientasi para politisi dan negarawan Eropa menjadi lebih mawas diri. Di Eropa Barat cenderung lebih mampu bersikap adaptif akan perubahan jaman tersebut. Kelak monarki di Eropa Barat tetap berdiri kokoh, namun tidak demikian dengan negeri-negeri di Eropa Timur. Hantu Komunisme segera menemukan jasadnya yang besar dengan kejatuhan Tsar Rusia pada Revolusi Bolshevik, ketika kaum komunis berhasil mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Rusia selama 3 abad lamanya.
Bagaimana dengan Belanda, kolonialis Nusantara?
Melalui Ratu Belanda Wilhelmina yang berpidato di pembukaan Parlemen Belanda pada tahun 1901, dia menyerukan reformasi bagi arah kebijakan yang lebih bersifat sosialis bagi negerinya. Pidato itu ditulis Perdana Menteri Abraham Kuyper, seorang pendeta dan pemimpin Partai Anti Revolusioner. Poin penting dari pidato itu adalah Politik Etis bagi negeri-negeri jajahan. Bahwa segala bentuk eksploitasi selama ini harus dibayar dengan ‘Sebuah Balas Budi’. Dan Kuyper bukan orang baru. Dia dan parlemen Belanda terinspirasi oleh seruan Van Deventer, seorang pengacara dan pengusaha kaya-raya yang pernah ke Hindia Belanda (Nusantara) serta menikmati kesuksesannya baik dari bidang perkebunan maupun maskapai minyak BPM yang bermunculan saat itu. Motivasinya tetap sama, ‘musang berbulu domba’. Deventer mengemukakan perlunya sebuah tindakan yang lebih manusiawi bagi pribumi karena mengkhawatirkan akan kebangkrutan yang dialami Spanyol akibat salah pengelolaan tanah jajahan. Tujuannya adalah tetap sama, sebagai sebuah cara baru dalam penjajahan, agar penjajahnya tidak bangkrut !!!
Sebenarnya Belanda sudah salah arah sejak awal, dan politik etis itu juga dalam kondisi terpaksa dan telat. Karena Inggris sudah melakukan reformasi terhadap negeri jajahannya sejak lama dan lebih ‘manusiawi’.
Perbedaannya sebagai berikut :
- Belanda fokus pada eksploitasi sumber daya alam, sedangkan Inggris ke arah penguasaan lahan serta optimalisasi perkebunan dan pertanian.
- Belanda cenderung pelit dalam transfer ilmu dan teknologi, sementara Inggris lebih luas dalam edukasi keilmuan. Bagi Inggris, manusia yang semakin pintar tentu kebutuhannya juga berkembang dan ini juga pasar yang bagus bagi industri-indistrinya. Lihatlah bagaimana Bagasa Inggris begitu mendunia, sementara kita sangat gagap dalam Bahasa Belanda walau sebagai mantan jajahannya.
- Belanda cenderung lebih memaksakan agama Kristen dan budaya Eropa, sementara Inggris lebih fokus memperkenalkan budaya Inggris dan tidak terlalu memaksakan agamanya.
- Belanda cenderung sentralistik Dalam pemerintahan, sedangkan Inggris menjalankan desentralisasi serta mempercayakan kepada pemimpin lokal yang sudah ‘teracuni’ budaya Inggris tersebut.
Dan dampak dari gaya penjajahan tersebut kini dapat dilihat dari negara-negara bekas jajahannya. Dimana relarif negara bekas jajahan Inggris relatif lebih maju dibanding bekas jajahan negara lainnya. Bisa dibandingkan di Nusantara, ketika Inggris sempat menjajah sebentar pasca mengalahkan Belanda di Eropa. Bagaimana kualitas seorang RAFLESH, Gubernur Jenderal Inggris dibanding seluruh Gubernur Jenderal Belanda yang pernah menjabat di Hindia Belanda.
Walaupun sebenarnya dia seorang perampok juga, namun dengan beda gaya. Yang paling jelas adalah dalam peristiwa GEGER SEPEHI, yaitu pembantaian dan penjajahan di Keraton Jogja pada tahun 1812.
Dan mari kita kembali kepada pidato Ratu Belanda Wilhelmina pada saat itu. Sang Ratu menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van Deventer yang meliputi:
- Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
- Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
- Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Dan dari ketiga poin tersebut, sebenarnya hanya poin ketiga yang benar-benar lebih bermanfaat bagi pribumi. Sementara yang lainnya hanyalah topeng untuk kepentingan penjajahan semata.
LAHIRNYA BUDI UTOMO
Hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati setiap tahunnya, sebenarnya adalah buah dari Politik Etis diatas. Yaitu ketika kaum terpelajar Pribumi membuat sebuah perserikatan Budi Oetomo pada tahun 1908. Boedi Oetomo yang berarti “Kebangkitan Budi Pekerti Luhur” menjadi organisasi pemuda pertama di Indonesia yang memiliki peran penting dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan persatuan bangsa. Organisasi pergerakan ini digagas oleh dr. Wahidin Sudiro Husodo alumni STOVIA (Sekolah Kedokteran tertua di Indonesia, kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Beliau aktif melakukan propaganda kesadaran Kebangsaan dengan berkeliling Nusantara selama 1906-1908. Kemudian mendapat sambutan hangat dari teman-teman sejawatnya di STOVIA seperti dr. Sutomo, Gunawan Mangunkusumo, dan Suraji.
Walaupun awalnya diisi oleh para mahasiswa Jawa yang ingin mengambil inspirasi nilai-nilai Jawa di dalam kesadaran Kebangsaan, namun di dalam Kongres besar pertamanya ternyata tetap menggunakan bahasa Melayu. Yang artinya terbuka kepada semua etnis dan ras di Nusantara. Dalam setahun organisasi ini sudah mampu merekrut 10.000 anggota yang kemudian menjadi inspirasi bagi organisasi kebangsaan lain setelahnya. Budi Utomo yang awalnya ingin memajukan dunia pendidikan kemudian berkembang tak hanya pendidikan saja, tapi beberapa bidang seperti pertanian, peternakan, perniagaan, industri, dan kesenian juga ingin dimajukan.
Rentetan setelah berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 itu kemudian menjadi tonggak dengan berdirinya banyak organisasi lainnya baik di bidang sosial, ekonomi maupun politik. Yang kesemuanya memiliki semangat kesadaran baru yang sama, yaitu menyuarakan pendirian suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat. Hingga pada puncaknya terjadi Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Dan akan menginspirasi sejumlah tokoh besar para pendiri bangsa ke depannya.
Maka tepat sekali ketika akhirnya atas saran Ki Hajar Dewantara Sang Bapak Pendidikan dan dr. KRT. Rajiman Wediodiningrat mantan Ketua BPUPKI, ditetapkanlah berdirinya Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional oleh Presiden Sukarno pada tahun 1959.
MAKNA KEBANGKITAN SEBAGAI SEBUAH BANGSA
Sebenarnya apa yang ingin diambil sebagai pelajaran dari segala uraian di atas?
- Di setiap eksploitasi dan penindasan pasti ada reaksi dari perlawanan hati nurani. Baik di banyak negeri jajahan pada saat itu, namun juga di Eropa negerinya para penjajah.
- Perjuangan dengan topeng hati nurani tetap saja akan bermotif keserakahan bila dipelopori dari kaum ‘musang berbulu domba’. Jadi tidak saja kita harus waspada dari siapa ide itu berasal, tetapi siapa yang memperjuangkannya.
- Setiap perjuangan pasti membutuhkan pengorbanan. Dan omong kosong bila menyatakan ingin berjuang tetapi tidak siap berkorban.
- Dalam perjuangan pasti ada penumpang gelap. Ketika tujuan pribadinya tidak tercapai dia akan berbelok arah. Dan ketika kalah dia akan berbalik arah dengan berkhianat. Sedangkan ketika berhasil, dia akan tampil ke depan sebagai pahlawan kesiangan.
- Untuk melawan sesuatu yang sistematis harus dilawan pula dengan cara yang rapi dan sistematis pula. Dalam suasana penjajahan serta kalah segalanya, maka sistem Kolonial harus dilawan dengan organisasi yang massif serta rapi. Bila sporadis maka akan mudah dipatahkan serta ditipu-daya.
- Setiap perjuangan yang berdasarkan kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan akan sulit dibendung dan diakhiri. Apalagi diiringi dengan basis keilmuan yang kuat.
- Resolusi semua konflik adalah menuju situasi damai. Dan kadang menuju titik kedamaian itu harus melalui kekisruhan. Sedapat mungkin hal tersebut harus dihindari, namun tetap dibarengi kewaspadaan dan siap siaga atas segala kemungkinan.
Lalu bagaimana dengan isu terkini di dalam mengakhiri sisa-sisa penjajahan di Bumi Nusantara yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa rasnya paling mulia yaitu KLAN BA’ALWI HABAIB IMIGRAN YAMAN?
Ketujuh poin diatas harus menjadi dasar patokan di dalam perjuangan. Tentunya tidak akan seberat perjuangan di masa lalu. Dengan berbagai alasan sebagai berikut :
- Bila dahulu yang kita hadapi penjajah Belanda dengan VOC-nya yang begitu kaya raya, kini kita hanya menghadapi imigran sesat dari negeri yang paling miskin di Jazirah Arab sana. Narasinya pun sangat mudah dipatahkan yaitu pembodohan kepada ummat dengan memakai klaim sebagai Cucu Nabi. Melalui Kajian Pustaka, Sejarah dan Genetika segala narasi sesat ini mudah sekali untuk diruntuhkan.
- Bila dahulu yang kita lawan serdadu yang kuat dengan persenjataan lengkap, kini yang kita hadapi hanyalah kaum modal dongeng dan atribut keagamaan belaka, contohya kostum berdaster dengan sorban segede ban vespa. Dan di alam kemerdekaan ini, sudah ada segala perangkat negara yang lengkap dan menjadi penjaga ideologi kebangsaan terdepan.
- Bila dulu yang kita hadapi konseptor brilian sekelas Van Den Berg dan Snouck Hurgronje, maupun kelicikan dahsyat dari mufti antek Belanda yang rasis Usman bin Yahya. Kini yang kita hadapi hanyalah sekelas badut pendongeng dengan modal narasi sesat. Sesungguhnya secara kualitas baik dahulu hingga sekarang, ulama Nusantara tetap jauh diatas kualitas para pendongeng keturunan Yahudi pengaku cucu Nabi ini.
- Dahulu kita masih belum merdeka dan terpecah belah. Namun kini kita sudah merdeka, dan menjadi salah satu negara yang terkuat di dunia, bahkan melebihi Belanda negeri penjajahnya. Bila Belandanya saja sekarang jauh dibawah level kita baik ekonomi maupun kemiliteran, tentunya tidak begitu sulit mengakhiri kejahatan mantan antek-anteknya. Dimana kini masih gentayangan di seluruh pelosok negeri yang dengan arogan mengaku sebagai cucu Nabi, hanya demi mengais asa di ujung kerungkadannya tersebut.
- Dahulu kala dengan keterbatasan teknologi dan cengkeraman kolonialisasi, begitu sulit dalam mobilisasi dan komunikasi. Namun kini semua tampak begitu dekat dan singkat. Baik itu koordinasi dalam negeri maupun menjalin silaturahmi dengan para Naqobah pencatat Nasab Nabi di tiap negara seluruh dunia.
Namun semua hal tersebut kuncinya tetap sama, baik dahulu ataupun sekarang. Keseluruhannya tidak akan berjalan bila masih dihinggapi MENTAL INLANDER DAN INFERIORITY COMPLEX. Mental terjajah, mental rendah diri dan mental budak !!!
Percuma biar sepintar apapun laksana Einstein bila mentalnya masih terjajah, maka mudah dimanfaatkan kepandaiannya oleh penjajahnya !
Percuma dengan fisik sekuat apapun, misal badannya sekekar ADE RAI bila mentalnya masih rendah diri pasti akan tunduk di hadapan para badut berewokan yang berperut buncit !!
Dan percuma pula sebagai keturunan leluhur Nusantara yang berperadaban luhur ribuan tahun lamanya. Ataupun keturunan dari Walisongo yang begitu hebat dengan menjadikan Nusantara menjadi negeri muslim terbesar di dunia, bila masih bermental budak. Tentunya dia akan lumpuh segala nurani dan mati akal sehatnya hanya dengan dongeng murahan belaka !!!
Maka dari itu camkanlah Lagu Kebangsaan kita, yang diciptakan tidak hanya untuk penghias upacara saja. Tetapi untuk ditanamkan ke dalam sanubari bahwa kita tidak akan benar-benar merdeka tanpa keluar dari mental perbudakan.
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya, merdeka !!!
Wassalamu’alaikum, Rahayu Nusantaraku, dari Lereng Bromo, Hari Kebangkitan Nasional 2024 !!!
Penulis: KRT Faqih Wirahadiningrat