Ada konten menarik dari chanel Gus Aziz Jazuli, Tentang Gus Baha dan nasab Ba’alwi. Dalam konten itu Gus Aziz Jazuli “mentertawakan” pengetahuan Gus Baha tentang ilmu sejarah dan nasab. Semua narasi yang diutarakan Gus Baha dalam sebuah ceramah tentang sejarah Hadramaut dan nasab Ba’alwi tak ayal dibantai tanpa ampun oleh Gus Aziz Jazuli.
Gus Baha yang selama ini dikenal sebagai penceramah popular dan ahli baca kitab kuning itu seakan terjebak ke dalam lembah maut kepalsuan nasab Ba’alwi. Memang, para ulama yang selama ini membela nasab Ba’alwi terjerembab dalam labirin cipta sejarah yang dipabrikasi di abad sembilan oleh kalangan internal Ba’alwi sendiri. citra keulamaan mereka pun kemudian dipertaruhkan ketika ternyata apa yang mereka fahami itu hanya sejarah palsu yang mudah ditelusuri kepalsuannya yang dengan semua itu mereka kemudian terdegradasi dari citra sebagai ulama ilmiyah ke hanya ulama level pembaca saja.
Jika kealiman dalam tradisi NU dilihat dari apakah ia dapat membaca kitab kuning dengan baik atau tidak, maka Gus Baha masuk dalam kategori itu, Tetapi dalam tradisi NU, kemampuan membaca kitab saja belum cukup untuk mengangkat level seorang ulama ke dalam derajat ulama ilmiyah (mujtahid). Yang penulis maksud dengan ulama ilmiyah adalah ulama yang memiliki integritas ilmiyah yaitu sikap ilmiyah yang dalam memahami dan menyimpulkan suatu masalah agama telah memenuhi sarat-sarat ilmiyah dan sesuai dengan standar kebenaran ilmiah.
Ada lima hal yang menandai sikap ilmiah seorang ulama, yaitu: Pertama, adanya “spirit of science” yaitu keinginan untuk mengetahui dan memahami; Kedua, kemauan mencari data dan makna yang benar-benar dapat dijadikan patokan yang masuk akal dan dapat diuji; Ketiga, kemauan untuk menguji secara empiris; Keempat, adanya penghargaan terhadap logika; Kelima, kecendrungan menyelidiki kebenaran atau kesalahan suatu kesimpulan dengan logika yang dapat dipertanggungjawabkan.
Gus Baha telah memiliki point pertama yaitu “spirit of science”, tetapi ia belum memenuhi empat sarat lainnya untuk disebut sebagai ulama ilmiyah. Gus Baha, dalam konteks kasus nasab dan sejarah Ba’alwi tersebut, baru menempati level elementer yang mampu membaca lalu mengahafal bacaan kemudian menyampaikannya ke hadapan public. Setelah ia membaca suatu buku, Gus Baha tidak melangkah ke point sikap ilmiyah di atasnya yaitu mencari dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya sehingga dapat menemukan informasi-informasi yang benar benar dapat menjadi patokan kebenaran.
Ketertinggalan Gus Baha dalam tahapan ini, otomatis menjadikannya tertinggal pula pada tahapan sikap ilmiyah di atasnya, yaitu menguji secara empiris setiap data dengan fakta-fakta sebenarnya. Misalnya dalam konteks Sayyid Ahmad bin Isa, Gus Baha menyimpulkan dalam video tersebut bahwa ia adalah keturunan Nabi yang pertama yang memasuki Yaman, Gus Baha hanya menerima “taken for gruanted” informasi dari apa yang ia baca dari Wikipedia atau buku-buku Ba’alwi yang menyatakan demikian, kemudian ia mempercayainya tanpa mengadakan tahapan “muqobalah al mashadir” (membandingkan berbagai literatur) dengan informasi yang lebih kredibel dan lebih dekat masanya.
Gus Baha belum memahami cara menguji kebenaran suatu informasi historis semacam itu. seharusnya, pertama kali yang dilakukan Gus Baha adalah mencari data dan informasi untuk mengetahui titimangsa kehidupan Ahmad bin Isa, lalu ia mencari i formasi lanjutan: adakah kitab-kitab yang ditulis dalam waktu tersebut yang berbicara tentang sosok Ahmad bin Isa atau tentang para keturunan Nabi di Yaman?
Dengan melempar narasi bahwa Ahmad al-Muhajir adalah keturunan Nabi yang pertama kali hijrah ke Yaman, Gus Baha telah melakukan tiga kesalahan kesimpulan ilmiyah: pertama tentang Ahmad bin Isa Hijrah ke Yaman, kedua tentang bahwa Ahmad bin Isa orang yang pertama hijrah ke Yaman, ketiga bahwa ia bergelar Al-Muhajir.
Sebelum Gus Baha menyampaikan proposisi bahwa Ahmad bin Isa adalah orang pertama dari keturunan Nabi yang hijrah ke Yaman, ia harus membuktikan terlebih dahulu apakah benar Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman?
Ketika Gus Baha telah salah mengambil kesimpulan bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman, tentu ia akan lebih salah lagi ketika mengatakan bahwa Ahmad bin Isa adalah orang pertama yang hijrah ke Yaman dari keturunan Nabi.
Gus Baha tidak akan pernah mampu untuk membawakan satu referensi pun yang menyatakan Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman dari kitab-kitab yang ditulis pada masa di mana Ahmad bin Isa hidup, atau yang mendekatinya. kenapa? karena memang Ahmad bin Isa tidak pernah hijrah ke Yaman.
Cerita bahwa Ahmad bin Isa berhijrah ke Yaman hanyalah cerita khurafat yang diciptakan kaum Ba’alwi di abad ke-9 H untuk sekedar melegitimasi nasab mereka saja. Gus Baha diharapkan membaca kitab Al-Gaybah karya Al-Tusi yang wafat tahun 460 H yang menyatakan Ahmad bin Isa ada di Kota Madinah dan tidak ada satu pun berita yang menyatakan ia ke luar dari Kota Madinah, apalagi berita tentang hijrahnya ke Yaman tidak ada.
Apakah Gus Baha sanggup untuk membawakan satu kitab yang lebih tua dari Al-Gaybah yang menyatakan Ahmad bin Isa berhijrah ke Yaman? -lamun bisa tek mai hadiah peci anyar nomor wolu sing duhure sepuluh centi-.
Proposisi Gus Baha yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa adalah keturunan Nabi yang pertama hijrah ke Yaman terbantah oleh kitab-kitab tua yang menyatakan bahwa keluarga Al-Rasi adalah keturunan Nabi pertama yang hijrah ke Yaman pada tahun 286 H, informasi itu seperti yang terdapat dalam kitab Al- Majdi yang ditulis oleh Al-Umari yang wafat tahun 459 H.
Untuk mempertahankan proposisi bahwa Ahmad al Muhajir adalah keturunan Nabi yang pertama kali berhijrah ke Yaman, mampukah Gus Baha medatangkan kitab yang ditulis sebelum kitab Al-Majdi? -lamun bisa tek mai hadiah sarung atlas kotak-kotak-.
Gus Baha juga salah dalam bernarasi bahwa Ahmad bin Isa bergelar Al-Muhajir, karena gelar Al-Muhajir itu gelar yang diberikan Ba’alwi pada abad ke-11 H. tidak ada sebelumnya satu kitab pun yang mencatat bahwa Ahmad bin Isa bergelar Al-Muhajir.
literatur-literatur kitab-kitab nasab yang otoritatif pada abad ke 5-9 H seperti kitab Tahdzibul Ansab dsb, mencatat Ahmad bin Isa dengan nama Ahmad al-Abah dan atau Ahmad Al-Naffat, tidak ada yang mencatatnya dengan nama Ahmad Al-Muhajir. Gelar Al-Muhajir diberikan oleh Baalwi kepada Ahmad bin Isa hanya sebagai legitimasi bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman. padahal, sebagaimana telah penulis sampaikan, tidak ada satupun kitab nasab sebelum abad ke-9 yang menyebut Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman.
Gus Baha benar benar telah terjerembab dalam cipta sejarah palsu yang dilakukan kaum Baalwi. mampukah Gus Baha membawa kitab yang lebih tua dari kitab Tahdzibul Ansab yang menyebutkan bahwa Ahmd bin Isa bergelar Al Muhajir? tidak akan mampu. -lamun mampu tek mai hadiah cincin virus-.
Gus Baha juga tidak memenuhi standar sikap ilmiyah yaitu kemauan untuk menguji secara empiris misalnya tes DNA yang sudah terbukti bahwa Baalwi ini, secara hasil uji DNA, bukanlah keturunan paternal Nabi Muhammad SAW, bahkan bukan pula keturunan Nabi Ibrahim.
Gus Baha juga, dalam konteks sejarah dan nasab Baalwi ini tidak memenuhi standar sikap ilmiyah berikutnya yaitu tidak adanya penghargaan terhadap logika, di mana suatu narasi sejarah yang tidak masuk akal, masih diterima dan disampaikan ke hadapan publik.
Gus Baha bisa lebih banyak membaca kitab-kitab nasab dan sejarah untuk mengetahui berbagai “qadiyah-qadiyah” yang tidak masuk akal dari cipta sejarah Baalwi, misalnya tentang bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman bersama leluhur Bani Ahdal, Muhammad bin Sulaiman, pada tahun 317 H, sedangkan Ahmad bin Isa wafat 345 H dan Muhammad bin Sulaiman wafat tahun 540 H. Bagaimana orang yang berhijrah tahun 317 H masih bisa hidup tahun 540 H? walaupun yang demikian itu “mumkinun ‘aqlan” (secara aqal memungkinkan), tetapi “mustahilun ‘urfan” (secara kebiasaan mustahil terjadi). Logika yang sehat akan menolak adanya postulat yang menggelikan demikian. Ketika Gus Baha menerima secara partikular bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman, artinya Gus Baha juga menerima adanya ketidaklogisan sejarah dan nasab Baalwi secara general.
Gus Aziz Jazuli, meluruskan berbagai macam kekeliruan Gus Baha dalam chanelnya itu terkait ketidakilmiyahan Gus Baha dalam konteks nasab Baalwi. Dalam video yang ditayangkan Gus Aziz Jazuli itu pula Gus Baha menyampaikan bahwa Walisongo adalah bagian dari Baalwi, juga narasi-narasi lain yang tidak berbasis data terkait dengan asal nama Hadramaut.
Dari kasus Gus Baha ini kita menyadari bahwa sistem pendidikan pesantren kita, selain berbagai keunggulan yang dimilikinya, memerlukan tambahan konsentrasi sistem pembelajaran yaitu metodologi penelitian ilmiyah yang dalam hal ini penguatan fan Ushul Fiqh, Mantiq dan filsafat atau Ilmu Kalam. Selain fan-fan ilmu yang sumberdayanya tersedia di Pondok Pesantren secara tradisional, agaknya dalam konteks kemoderenan, penerapan metodolgi penelitian ilmiyah moderen harus pula menjadi perhatian civitas akademika pesantren. Hal yang demikian sangatlah urgen karena berbagai macam ajaran agama kita banyak yang terkait dengan metodologi penelitian ilmiyah seperti tentang membantah narasi atheisme, penelitian kesahihan hadits, sejarah para Nabi dan syariatnya, mengetahui klaim adanya ijma, dsb.
Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani