Sayyid Chaidar, dari Lasem Rembang, cucu Sayyid Zaini Dahlan Makkah, pada tahun 1978 membuat buku berjudul “Sejarah Pujangga Islam Syech Nawawi AlBanteni Indonesia”. Dalam buku tersebut, Chaidar menceritakan bagaimana Mbah Kholil Bangkalan mengakui Syekh Nawawi Al-Bantani sebagai gurunya. Menurut Chaidar, di Makkah, antara Syekh Nawawi dan Mbah Kholil, sering mengadakan mudzakarah, berdiskusi dan tak jarang berdebat keras. Hal demikian menjadikan antara guru dan murid ini begitu dekat dan tidak sungkan-sungkan betukar fikiran.
Dalam halaman 83 dari bukunya Chaidar mengatakan:
“Maka dengan rasa berat, KH. Khalil hanya dapat memohon maaf kepada Syekh Nawawi AlBanteni dengan jalan surat yang diamanatkan kepada para sahabat-sahabatnya, untuk diteruskan kepada “gurunya”. Yah, memang sejak melakukan perdebatan dengan Syekh Nawawi AlBanteni berkali-kali itu, dalam hati kecilnya sudah terdapat rasa hormat dan pengakuan: bahwa orang yang sedang dihadapinya (sang “guru”) memang nyata memiliki kelebihan dan patut mendapat tempat kehormatan di dalam lubuk hati nurani KH. Khalil . Dengan demikian, maka wajarlah andaikata KH. Khalil memformilkan kemudian Syekh Nawawi AlBanteni itu sebagai gurunya. Pengakuan ini bukan pengakuan ikut-ikutan. Tapi pengakuan yang sebenarnya. Pengakuan yang keluar dengan segala ketulusan dan keikhlasan. Pengakuan yang dilandasi oleh keyakinan sesudah mengalami proses perdebatan, diskusi dan lain-lain setiap hari.”
Buku sejarah tentang Syekh Nawawi Al-Bantani karya Chaidar ini, adalah buku yang sangat istimewa. Selain ia merupakan buku pertama yang mengulas tentang sejarah hidup pujangga Islam Indonesia tersebut, ditambah penulisnya adalah cucu dari Syaikh Zaini Dahlan, guru dari Syekh Nawawi Al-Bantani dan Mbah Khalil Bangkalan. Selain itu, Chaidar pula adalah murid dari Syekh Hasyim Asy’ari, salah satu santri kinasih Syekh Nawawi al-Bantani. Chaidar menceritakan bagaimana kisah dirinya ketika mengaji kitab Fathu al Qarib di hadapan Syekh Hasyim Asy’ari:
“Pada tiap-tiap waktu Ashar, Almarhum KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan kitab Fathulqarib kepada murid-muridnya. Dalam setiap memberikan ulasan-ulasannya, beliau selalu menyisipkan di sana-sini sejarah hidup dan perjuangan gurunya, Syekh Nawawi AlBanteni. Mereka yang mendengarkan, memang tekun dan asyik –termasuk penulis buku ini- . Namun bagi yang menceritakan (K.H. Hasyim Asy’ari), dalam menyampaikan cerita-cerita itu tentu tergenang air mata terharu, karena bangga. Ini menunjukan betapa mendalam rasa cinta dan meresapnya penghayatan almarhum kepada gurunya.”
Kini, nama-nama daerah di atas: Banten, Bangkalan, Jombang dan Rembang, tengah hangat dalam diskursus nasab Ba’alwi yang tebukti batal. Terakhir, ada adu hujjah antara Kiai Khalili Khalil dan Lora Ismail Khalili, keduanya cucu Mbah Khalil Bangkalan. Yang satu mendukung batalnya nasab Ba’alwi, yang satu lagi menolaknya. Kiai Khalili bersama penulis adalah sesama anggota LBM PBNU. Penulis sering berdiskusi dengan Kiai Muda ini, penguasaan turats-nya dalam, analisanya tajam dan kritis.
Sedangkan Lora Ismail, adalah lulusan Rembang kemudian menuntut ilmu di Yaman. Penulis belum pernah bertemu dengan sosok kiai muda cucu Mbah Khalil terakhir ini. Cucu Mbah Khalil yang lain yang penulis kenal, adalah Lora Utsman Kholil, koordinator Nahdlatutturats. Kami dulu bersama Lora Utsman Khalil dan teman-teman NU lainnya, mendampingi K.H. Zulva Mustofa dan Dr. ginanjar Sya’ban menjadi bagian panitia Pameran Turots Ulama Indonesia, serta Peluncuran Kompilasi 11 Kitab Ulama Nusantara, dan Pekan Memorial Syekh Nawawi Al Bantani di Jakarta. Lora Utsman pernah mengunjungi penulis di pesantren penulis, dan penulispun pernah mengunjunginya di Bangkalan. Ia memberi hadiah beberapa kitab karya Mbah Khalil, termasuk naskah silsilah Mbah Khalil dari Syekh Salim bin Jindan yang problematis itu.
Kiai Khalili menggugat Al Syuhrah wa al-Istifadlah dari nasab Ba’alwi berdasar literatur kitab-kitab referensi Ba’alwi sendiri. Sebelumnya, Lora Ismail berdalil bahwa nasab Ba’alwi sudah masuk dalam kategori Al-Syuhrah wa al-Istifadlah. Bagi Lora Ismail, sebuah nasab sah hanya dengan teori Al-Syuhrah wa al-Istifadlah walaupun tidak dapat dikonfirmasi kitab-kitab sezaman atau yang mendekatinya.
Menurut Kiai Khalili, nasab Ba’alwi tidak Syuhrah dan tidak istifadlah. Ada ketidakkonsistenan literasi Ba’alwi tentang historiografi nasab mereka. Misalnya tentang hijrahnya Ahmad bin Isa bersama leluhur Bani Ahdal yang diklaim terjadi pada tahun 317 H. Sementara, dalam literasi Bani Ahdal hijrah itu terjadi tahun 540 H. Kiai Kholili berargumen, kalau soal tahun saja sudah tidak konsisten dan perbedaan tahun sangat siginfikan, bagaimana kejadian faktualnya bisa dipercaya?
Ia juga menyatakan bahwa keraguan penduduk Hadramaut terhadap kesyarifan keluarga Ba’alwi terjadi turun temurun. Ali bin Jadid (w. 620 H.) yang dalam versi Ba’alwi adalah keturunan kedelapan dari Ahmad bin Isa masih diragukan kesayrifannya, sehingga ia diutus keluarga Ba’alwi ke Basrah untuk meminta pengesahan dari seorang qadi di sana. Bahkan, menurut Kiai Khalili, pada abad 11 H. nasab Ba’alwi masih diragukan. Ia mengutip kitab Al-Masyra’ al Rawi karya Al-Syili Ba’alwi (w. 1093 H), di mana Al-Syili meriwayatkan bahwa di masanya masih ada orang yang tidak percaya mereka keturunan Nabi Muhammad SAW. Menurut sebagaian orang, katanya, mereka adalah keturunan Sayyidina Ali dari selain Hasan dan Husen. Jadi, setelah 748 tahun sejak wafatnya Ahmad bin Isa, keluarga Ba’alwi masih diragukan sebagai keturunan Nabi. Dalam bahasa Kiai Kholili, nasab Ba’alwi tidak pernah disepakati sejak kedatangan Ahmad bin Isa.
Dari sana, Kiai Kholili menyatakan, bahwa klaim nasab Ba’alwi sudah masyhur atau Al Syuhrah wa al-Istifadlah itu adalah suatu kebohongan. Ia mengutip pendapat dari kitab Al Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami tentang Al Syuhrah wa al-Istifadlah sebagai berikut:
وحد الشهرة والاستفاضة انتشار الامر وظهوره حتى لا ينكر
“Definisi Al-Syuhrah dan al-Istifadlah adalah menyebar dan terang-benderangnya sesuatu sehingga tidak bisa diingkari.” (Al-Mawsu’ah, vol. vii, h. 174)
Kiai Khalili Khalil berusaha meruntuhkan Al-Syuhrah wa al-Istifadlah berdasar literasi Ba’alwi sendiri. Menurut penulis, itu usaha yang signifikan, tetapi bertele-tele. Kenapa? Karena informasi-informasi yang terdapat dalam literasi-literasi itu telah terdeteksi tidak valid. Kisah-kisah perpindahan Ahmad bin Isa ke Yaman yang bertaburan mulai abad sembilan dalam ratusan kitab sampai hari ini itu, semuanya hanya berakhir dari satu referensi, Al-Burqah al Musyiqah. Dalam ilmu teori para ahli nasab, banyaknya kitab, walau sampai 140 kitab, seperti yang dikatakan Hanif Alatas, jika semuanya bermuara kepada satu sumber, maka 140 kitab itu dinilai sebagai satu sumber saja. Jangankan hanya 140 kitab, jikapun nanti dikarang 5000 kitab tentang nasab Ba’alwi, maka tidak berpengaruh apapun terhadap batalnya nasab Ba’alwi, karena telah terkuaknya bahwa nasab itu diciptakan baru pada abad ke-9 Hijriah. Sementara pada abad ke-8 sampai abad ke-4, tidak ada kitab nasab yang menyebut nama Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
Kisah perginya Ali bin Jadid ke Basrah pada abad ke-7 H., itu tidak pernah terjadi. Ia diciptakan sebagai jawaban dari masivnya ulama yang tidak mengakui nasab mereka sebagai keturunan Nabi pada abad ke-9,10 dan 11 Hijriah. Bahkan, sebelumnya, dalam kitab Tasbit al Fu’ad disebutkan bahwa, yang pergi ke Basrah itu bukan Ali bin Jadid, tetapi Ubed. Hakikatnya, baik Ubed maupun Ali bin Jadid tidak pernah pergi ke Basrah untuk isbat nasab. TIDAK ADA. Jadid sendiri tidak ada kaitan keluarga dengan Ubaid. Ia adalah ulama hadits yang diaku-aku sebagai keluarga Abdurrahman Assegaf pada abad ke-9 H.
Kiai Khalili telah mampu menyuguhkan kepada Lora Ismail sebuah “pepesan kosong.” Yaitu, sejarah rekaan yang diletakan dalam kitab-kitab yang antara satu dan yang lainnya saling kontradiksi. Al-Syuhrah wa al-Istafadlah sebagai peluru Lora Ismail membela nasab Ba’alwi kini hancur berkeping ketika Kiai Khalili membeberkan kemasyhuran penolakan setiap masa para ulama kepada nasab Ba’alwi berdasar literasi Ba’alwi sendiri.
Lora Ismail, ketika bersikukuh bahwa metode kitab nasab yang sezaman atau yang mendekati itu bukan sarat mutlak, menuduh penulis tidak memahami perbedaan antara “turaq” (metode-metode) penetapan nasab dan sarat-sarat. Kata Lora ismail:
“…Kitab nasab adalah salah satu cara (turaq) dalam mengkonfirmasi sebuah nasab (catat ya “thuraq/طرق bukan “syurut”/شروط, jadi andaikan satu cara itu tidak bisa digunakan, masih ada banyak cara itsbat lain yang para ulama sebutkan termasuk Asyuhrah wal Istifadhoh, Syahadah, pengakuan suatu kabilah dan cara lainnya”.
Sebenarnya, capek menjelaskan berulang-ulang tentang masalah elementer ini. Penulis pernah menjelaskan proposisi itu untuk Pak fahrur dan Gus Najih, tetapi baiklah, mudah-mudahan saja Lora Ismail kali ini faham.
Betul metode menetapkan nasab itu banyak, tetapi tidak semua metode itu bisa digunakan dalam menetapkan nasab orang yang sudah seribu tahun lebih seperti Ubed. Di sana ada metode ada juga syarat. Setiap metode memiliki sarat masing-masing. Mari kita terangkan satu-satu dengan contoh masing-masing, biar faham ya. Kadang sebuah teori yang tidak diberi contoh itu akan sulit difahami. Kata Lora, metode menetapkan nasab itu, selain kitab nasab, ada banyak: ada Syuhrah wa al Istifadloh, ada Syahadah, ada iqrar dan lain-lain.
Baik, pertama syuhrah, kan. Syuhrah itu memang salah satu cara menetapkan nasab, baik nasab jauh maupun nasab dekat, tetapi ia memiliki sarat utama yaitu “adamul mu’arid” tidak ada dalil yang menentang. Itu ucapan Imam Syafi’I, loh. Kalau ada “mu’arid” maka Al Syhurah wa al Istifadlah batal. Sudah faham belum? Baik. Agar faham, penulis kasih contoh: Si Fulan mengangkat anak dari Rumah Sakit, lalu ketika pulang kampung ia mengaku anak itu anak kandungnya. Maka Syuhrahlah anak itu sebagai “bin si fulan itu”. Jika ada orang kampung itu bersumpah mengitsbat atas nama Allah bahwa anak itu adalah “bin si Fulan,” maka ia tidak dianggap berdosa. Tetapi ketika datang bukti dari Rumah Sakit bahwa si anak itu bukan anak si Fulan, tetapi hanya anak angkat, maka itsbat tadi batal. Kenapa batal Lora? Karena ada “mu’arid”, dalil yang membatalkan. Dan selanjutnya orang lain tidak boleh bersumpah mengitsbat anak itu sebagai “bin si Fulan” lagi, kalau dia masih berani mengitsbat maka hukumnya ia berdusta dan berdosa. Begitu, Lora. Sudah faham, kan.
Ubed sudah Syuhrah hari ini sebagai anak Ahmad bin Isa, itu betul. Minamal sebelum adanya tesis penulis. Tetapi kemudian datang “mu’arid” yaitu kitab Al Syajarah al Mubarakah dari abad ke-6 Hijriah, yang mengatakan bahwa Ahmad bin Isa hanya punya anak tiga: Muhammad, Ali dan Husain, maka syuhrah hari ini otomatis batal, tidak bisa dipakai lagi. Gitu, Lora. Apalagi, sesuai penjelasan dari saudara Lora, Kiai Khalili, bahwa nasab Ba’alwi sama sekali tidak pernah Syuhrah dan Istifadah di masa lalu, karena setiap masa ada yang mengingkari.
Metode kedua syahadah, yaitu kesaksian dua orang saksi. Metode ini, Lora, untuk orang yang hari ini ada, bukan untuk nasab yang sudah 1000 tahun lebih seperti Ubed. Silahkan Lora buka kitab Al Muqaddimat halaman 62:
2-أن تقوم لديه البينة الشرعية: وهي شهادة رجلين مسلمين حرين بالغين يعرف عدالتهما بخبرة أو تزكية فحينئذ يجب العمل بقولهما.
أقول:إن هذا الأمر ليس في ثبوت نسب القبائل بل يعمل به في إلحاق نسب طفل بأبيه…
“2-(metode menetapkan nasab) adalah dengan cara adanya dua bukti syar’I, yaitu kesaksian dua laki-laki muslim yang merdeka, balig, yang diketahui keadilannya dengan berdasarkan pengalaman atau rekomendasi. Maka wajib menggunakan pendapat keduanya. Aku berkata: sesungguhnya metode ini bukan untuk menetapkan nasab kabilah, tetapi digunakan untuk menetapkan nasab anak kepada bapaknya…”
Jelas, kan, Lora? Syahadat tidak bisa digunakan untuk nasab Ubed.
Masa, dua saksi hari ini bersaksi bahwa “Demi Allah saya bersaksi bahwa Ubed adalah anak Ahmad”, ini bisa diguyu pitik, Lora. Yang bersaksi bahwa Ubed adalah benar anak Ahmad ya harus orang yang hidup di hari di mana mereka berdua hidup, atau yang mendekatinya. Tapi semi mustahil, kan, hari ini ada orang yang masih hidup dari zaman Ahmad. Maka dari itu, harus pakai kitab, Lora. Lalu, Karena tidak ada kitab yang bersaksi di abad ke-4 dan lima tentang seluruh anak Ahmad bin Isa, maka kita menggunakan kitab abad ke-6 sebagai hujjah. Begitu Lora.
Sudah dua tuh: metode syhurah tertolak; metode syahadah tidak bisa digunakan. Apalagi tuh, Lora? Oh ya, satu lagi, Iqrar atau pengakuan. Baik pengakuan seorang ayah kepada anaknya, atau sebuah kabilah kepada seseorang. Iqrar ini pun, Lora, bukan untuk semacam nasab Ubed yang sudah 1000 tahun lebih, itu untuk orang yang ada sekarang. Lihat kitab Al Muqaddimat juga halaman 62:
3- ان يعترف اب بابن واقرار العاقل على نفسه جائزأقول: إن هذا الامر لا يخص نسب القبائل بل هو يخص النسب الفردي المشكوك في صحته فعندما يقر ويعترف الأب بأبوته لهذا الطفل أو الولد يلحق به وبنسبه
“3-( Metode menetapkan nasab) adalah seorang ayah mengakui anaknya. Dan ikrar orang berakal itu boleh. Aku berkata: sesungguhnya metode ini tidak dapat menentukan nasab kabilah, tetapi ia dapat menentukan nasab seseorang yang diragukan kesahihannya. Maka ketika berikrar atau ayah mengakui bahwa ia bapak dari anak itu maka anak itu disambungkan dengan ayahnya dan nasabnya.”
Jelas, kan, Lora. Metode Iqrar tidak bisa menetapkan nasab Ubed yang jauh. Karena yang harus berikrar bahwa Ubed adalah anak Ahmad, ya Ahmad sendiri, Ahmad-nya kan sudah wafat seribu tahun lalu. Maka dibutuhkan kitab sezaman dari tulisan Ahmad, jika ada, bahwa Ubed adalah anaknya. Jika tidak ada, maka tulisan orang lain juga boleh, kalau bisa yang semasa. Jika tulisan semasa tidak ada, tulisan yang paling dekat yang dapat ditemukan saja. Yang paling dekat ditemukan adalah kitab Al Syajarah al Mubarakah, ia sudah bersaksi bahwa anaknya hanya tiga, dan Ubed tidak disebut sebagai anak Ahmad.
Lora, kenapa penulis menganjurkan Lora untuk istikharah kepada Allah? Agar Lora diberi ketenangan. Penulis memahami suasana kebatinan Lora. Bukan berarti istikharah adalah salah satu cara mengitsbat nasab, Lora. Bukan. Istikharah tidak bisa dijadikan hujjah dalam penetapan nasab di hadapan orang. Tetapi ia bisa kita jadikan pedoman untuk pribadi kita sendiri. Maksud penulis, jika sudah beristikharah, apa yang akan kita lakukan bukan hanya berdasar kecendrungan jiwa kita secara subjektif ketika mengahadapi suatu persoalan tetapi ia bisa berdasar nurani yang berlandas ilham rabbani yang suci. Makanya para wali Allah ketika beristikharah tentang seorang wanita yang ia cintai, apakah harus dinikahi atau tidak, ia berdoa begini: Ya Allah, jika wanita yang aku cintai ini baik untukku menurut-Mu maka nikahkanlah aku dengannya; jika tidak baik menurut pandangan-Mu, walau aku sangat mencintainya maka pisahkanlah aku dengannya”. Berbeda dengan orang yang memaksa Allah mengabulkan kecendrungannya, ia akan berdo’a: “Ya Allah nikahkanlah aku dengan Markonah yang sangat aku cintai. Ya Allah, aku tak sanggup jika aku tak menikah dengan Markonah, ya Allah nikahkahlan aku dengan Markonah.”
Lora Ismail, penulis yakin, Insya Allah, Ia Yang Maha Kasih, akan memberi petunjuk jalan yang Ia ridoi untuk Lora dan kita semua. Amin.
Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani