Oleh: Kyai M. Hamdan Suhaemi
Kitab kuning bagi pandangan santri adalah lembaran-lembaran tulisan ulama dalam Bahasa Arab yang dominan kertasnya berwarna kuning. Pada tulisan Arab tersebut tidak tedapat harkat atau i’rab. Lembaran tersebut sengaja tidak terjilid sehingga mudah untuk mengambil bagian-bagian lembaran yang diperlukan, meski demikian ada pula lembaran tulisan Arab tersebut ada yang terjilid bahkan berjilid-jilid dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam yang luas dan komprehensif (al-Kulliyat).
Azyumardi Azra mendefinisikan kitab kuning adalah kitab keagamaan yang berbahasa Arab, Melayu atau Jawa dan atau bahasa-bahasa lokal lain di seantero Indonesia dengan menggunakan aksara Arab yang ditulis oleh ulama Timur Tengah dan ditulis pula oleh ulama asli Indonesia. Berbeda dengan pandangan Azra, Ali Yafie (Rois ‘Aam PBNU 1991-1992) menilai bahwa kitab kuning yang diartikan sebagai kitab rujukan mengaji bagi santri dengan penyebutan hanya kuning seakan bersifat negatif, pesantren seolah tertutup hanya di kajian kitab kuning semata padahal pesantren kini sudaah membuka diri pada kitab-kitab yang ditulis ulama dengan aksara Arab atau latin dengan kertas yang warnanya putih.
Umumnya pesantren masih berkutat pada kajian-kajian keislaman dengan mempelajari ilmu-ilmu Islam semata seperti ilmu fiqih, ushul fiqh, tafsir dan hadits, tauhid, tasawwuf serta sastra Arab (prangkat ilmu yang utama dalam mengurai kajian keislaman). Itu pun kita lihat di banyak pesantren salafi (tradisional). Namun berbeda halnya jika kita temukan di berbagai pesantren modern, di dalamnya banyak suguhan kurikulum yang tidak lagi berkutat pada kajian kitab kuning namun lebih pada penguatan linguistik, kajian tematik ilmu-ilmu Islam, serta penguatan bidang ekstra kurikuler (termasuk kurikulum) lainnya.
Pada tulisan ini ada keinginan untuk menyambungkan dengan tema politik, satu tema besar yang kini kita sebut sebagai yang tengah trending di Indonesia, banyaka kalangan tak terkecuali orang-orang biasa yang belum masuk politik praktis pun terkadang bicara politik. Trend-nya naik disebabkan karena situasi politik jelang pileg dan pilpres. Politik sekali lagi telah menjadi tema sentral kita sekarang. Sementara bagi kalangan santri yang kini masih berkutat dengan kitab kuning sebagai basis (maudlu’) utama mendalami ilmu-ilmu Islam tentunya masih dimungkinkan menghindari kajian politik (al-Siyasah).
Politik, bagi kalangan santri secara umum tidak begitu tertarik disamping kajian politik yang tertulis di kitab kuning masih sangat jarang, meski kita bisa temukan di karyanya Imam Mawardi yaitu kitab Ahkamu al-Sulthoniyah, tapi jarang untuk dikaji. Kalangan kiai dan para santri lebih memilih untuk concern bidang kajian ilmu-ilmu Islam dengan menggeluti dan mempelajari teks-teks tertulis dari kitab kuning. Padahal santri dan kehidupannya di pesantren tidak salah juga untuk diberikan materi pelajaran ilmu-ilmu politik dengan maksud bahwa kajian politik dalam perspektif ajaran Islam harus sudah dikenalkan di dunia pesantren.
Ini sebagai pintu masuk untuk menciptakan generasi-generasi santri yang melek politik, paham tata negara, menguasai komunikasi politik serta mampu membaca geo-politik, maka tidak menutupi kemungkinan jika di kemudian hari dari pesantren lah politik Indonesia dimulai sebagai gelombang baru dan wajah baru politik Indonesia dengan basis akhlaq al-karimah, sosio-religius yang konservatif, dan kuatnya prinsip anti-korupsi.
Berangkat dari tradisi baru yang dibangun yaitu masuknya ilmu politik dalam kurikulum di pesantren-pesantren, baik sebagai pengantar maupun sebagai bidang kajian tersendiri untuk seterusnya menjadi “kanal“ dalam mewujudkan teologi kebangsaan dengan dasar Islam yang bermadzhab Ahlu Sunnah Wal Jamaah an-Nahdliyah. Kelak tahun 2024 Indonesia sudah selesai dari persoalan aliran dan pemikiran keagamaan yang telah disusupi dan dimanfaatkan oleh kelompok kelompok keagamaan trans-nasional.
Teologi kebangsaan dengan tidak bertentangan dengan ideologi negara adalah juga spirit baru dalam menata kebangsaan kita. Dan kita kenali bahwa teologi kebangsaan itu merupakan yang tunggal dalam menguatkan simpul-simpul kebangsaan yang disatukan oleh ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Prinsipnya teologi kebangsaan tidak dalam pengertian sebagai landasan teokratis untuk kemudian merubah tatanan yang sudah ada, melainkan teolog kebangsaan menjadi simpul penguat dari keberagaman paham keagamaan bagi warga negara yang sudah selesai memahami negara bangsa sebagai tujuan dari tegaknya NKRI.
Umat Islam, tentunya harus mampu membedakan antara keharusan menjadi prinsip bernegara dengan gerakan (al-Harakat) perjuangan keagamaannya, dan pada kontek ini teologi kebangsaan menjadi suluh dalam merekatkan keperbedaan yang dimiliki oleh umat Islam sehingga di kemudian hari tidak lagi mengungkit-ungkit cita-cita menegakkan agama Islam sebagai yang tunggal dalam berbangsa dan bernegara. Meski teologi kebangsaan ini prinsipnya Islam namun tidak berarti dikatakan sebagai dasar negara, tapi menguatkan tali kebangsaan, tali persaudaraan sesama bangsa Indonesia.
Sebagai penutup saya kutip syair yang diambil dari kitab Ihya Ulumddin karya Imam Abu Hamid al- Ghozali :
# الطریق شتي و طریق الحق مفردة
والسالكون طريق الحق افراد
Artinya: “Jalan itu bermacam-macam sedangkan jalan kebenaran itu tersendiri dan orang orang yang menempuh jalan kebenaran itu hanya beberapa orang saja”.