Penulis: Imaduddin Utsman Al Bantani
Salah seorang yang menyebut nasab Ba Alawi adalah Syaikh Yusuf al-Nabhani (w. 1350 H). ia bukan keluarga Ba Alawi. penyebutan oleh An-Nabhani ini, banyak dinukil oleh pembela nasab Ba Alawi sebagai salah satu hujjah ketersambungan nasab Ba Alawi. Apakah benar pernyataan Syekh Yusuf al nabhani ini bisa menjadi hujjah?
Sebelumnya mari kita berkenalan dengan Syekh Yusuf al Nabhani. Nama lengkapnya adala Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Ismail bin Hasan bin Muhammad al Nabhani. Ia lahir tahun 1846 H. di Palestina. Ia belajar di Universitas Al Azhar Mesir. Setelah ia keluar dari Al Azhar, ia bekerja sebagai redaktur di Koran “Al Jawa’ib” di kota Al Astanah Kajakstan. Ia wafat tahun 1932 M di Beirut (Riyadul Jannah h. 15). Dilihat dari tahun wafatnya Ia jauh lebih yunior dari Syekh Nawawi al Bantani yang tercatat wafat tahun 1897 M.
Dalam kitabnya, Riyadul jannah fi Adzkaril Kitab wassunnah, ia memuji nasab Ba Alawi. Mari kita perhatikan bagaimana kalimat Syaikh Yusuf al Nabhani ketika ia memuji Ba’alwi sebagai berikut:
«إن سادتنا آل باعلوي، قد أجمعت الأمة المحمدية في سائر الأعصار و الأقطارِ، على أنهم من أصح أهل بيتِ النبوة نسباً، وأثبتهم حسباً، و أكثرهم علماً و عملاً و فضلاً و أدباً. وهم كلهم من أهل السنة والجماعة، على مذهب إمامنا الشافعي رضي الله عنه
“Sesungguhnya para sadat kita Ba’alwi telah berijma’ umat Nabi Muhammad SAW di seluruh masa dan daerah bahwa sesungguhnya mereka termasuk dari paling sahihnya nasab ahli bait Nabi, dan paling tetap pangkatnya, dan paling banyak ilmu, amal, keutamaan, dan akhlaknya. Dan mereka semuanya dari ahlisunnah waljama’ah madzhab Imam Sayfi’i” (Riyadul Jannah h. 23).
Bagi orang bodoh, suatu ungkapan dari orang lain akan ditakar oleh subjektifitas: “siapa yang mengatakan”. Sedangkan bagi orang cerdas, suatu ungkapan akan ditakar oleh objektifitas: “apa yang dikatakan”. Orang bodoh ketika menilai sesuatu mengandalkan perasaannya. Perasaan suka atau tidak suka; dekat atau tidak dekat. Lalu perasaan ini dikedepankan dengan mengabaikan nalar kritisnya. Dengan itu sepanjang masa, orang-orang bodoh selalu dimanfaatkan orang-orang yang punya tujuan untuk mendapatkan kepentingannya walau harus mengorbankan orang-orang bodoh tersebut. Orang-orang cerdas ketika mendapatkan suatu narasi ia tidak akan menerimanya begitu saja, ia bawa narasi itu ke hadapan realitas: sesuai atau tidak; benar atau salah, baru ia akan menerima atau menolak.
Makanya di dalam Islam, jihad yang diajak oleh Nabi dengan resiko hilangnya nyawa itu, tidak hanya dijanjikan surga tetapi juga harta ghanimah. Jika ia mati mendapatkan surga; jika ia hidup mendapatkan harta. Itu semua karena Islam menghargai hak-hak kemanusiaan yang dimiliki setiap individu untuk hidup sejahtera.
Berbeda dengan para pimpinan ormas Islam yang mendoktrin pengikutnya yang bodoh untuk berbuat sesuatu atas nama agama, namun, hak-hak kemanusiaannya diabaikan. Dengan doktrin agama, ia menuntut pengikutnya untuk setia kepadanya, tetapi sama sekali pengikutnya itu tidak akan mendapatkan apapun dari kesetiaannya selain kerugian. Ia ajak pengikutnya berdemo dengan biaya sendiri dengan dalih perjuangan dan keikhlasan, sementara sebenarnya ia sedang menjaring para “dalang tajir” untuk kekayaannya. Jika ada pengikutnya yang absen tidak mengikuti suatu kegiatan yang ia agendakan, maka ia akan mengecapnya sebagai orang yang tidak istiqomah dalam berjuang dan tidak mempunyai keikhlasan.
Jika ada pimpinanya diundang berceramah di suatu provinsi, maka pengikutnya yang ada di provinsi itu harus hadir di titik-titik tempat pimpinannya itu berceramah, walaupun jarak rumah pengikutnya itu ratusan kilometer. Tentu untuk dapat hadir ke acara yang jauh itu harus membutuhkan biaya, dan ia pun harus meninggalkan kegiatan rutinnya yang berharga. Kadangkala di bulan-bulan tertentu acara pimpinannya itu bisa 20 titik di suatu provinsi, dan ia harus selalu datang ke seluruh acara itu, kalau tidak ia akan di cap sebagai pengikut yang tidak setia, tidak ikhlas dan pengecut. Padahal kedatangannya hanya sebagai jama’ah untuk membuat kesan bahwa pimpinannya itu banyak pengikutnya. Ormas semacam ini harus ditinggalkan karena hanya akan merugikan, baik dunia maupun akhirat.
Dalam ungkapan Syekh Yusuf al Nabhani tersebut, ia melakukan apa yang disebut “da’watul ijma’” (mengklaim adanya ijma’ ulama) tentang beberapa hal, yaitu: pertama, ijma’ ulama bahwa nasab Ba’alwi adalah nasab yang paling sahih; kedua, ijma’ ulama bahwa Ba’alwi paling tetap kedudukannya; ketiga, bahwa Ba’alwi paling banyak ilmunya, amalnya, keutamaannya dan akhlaknya; keempat, bahwa Ba’alwi semuanya Ahlussunnah wal jama’ah bermadzhab Syafi’i. Benarkah semua klaim itu? mari kita bongkar satu persatu.
Klaim adanya ijma’ dari Syekh Yusuf al Nabhani bahwa nasab paling sahih itu jelas tidak sesuai kenyataan. Klaim ijma nasab Ba’alwi paling sahih itu tertolak. Karena, mensahihkan nasab Ba’alwi berarti mensahihkan bahwa Ubaid adalah anak Ahmad bin Isa. sementara, nasab Ubed tertolak sebagai anak Ahmad berdasarkan kitab nasab Abad ke-5-9 Hijriah. Jadi ungkapan Syekh Yusuf al Nabhani bahwa “telah terjadi ijma’ ulama tentang bahwa nasab Ba’alwi adalah nasab paling sahih” itu seluruhnya tidak dapat dibenarkan. Pertama klaim adanya ijma, itu jelas tidak terbukti. Bagaimana adanya ijma’, keberadaan sosok Ubed saja tidak terbukti; kedua, klaim paling sahih, jelas tertolak. Jangankan disebut bahwa nasab Ba’alwi paling sahih, dikatakan nasab sahih saja tertolak. Nasab Ba’alwi adalah nasab yang batil, munqoti’un, maudhu’un (nasab batal, terputus dan palsu).
Syekh Yusuf al Nabhani tidak membawakan satupun dalil bahwa benar Ubaid adalah anak Ahmad bin Isa. Ia hanya bernarasi lepas tanpa data. Sementara data menyebutkan tidak ada satupun kitab nasab yang menyebut nama Ubed sebagai anak Ahmad bin Isa sampai Ba’alwi mengakuinya sepihak di abad sembilan tanpa adanya satupun sumber dari kitab nasab yang menjadi referensinya. kitab Syajarah Mubarakah abad ke-6 menyebutkan anak Ahmad bin Isa hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada Ubed. Dari sini “da’watul ijma’” (pengakuan adanya ijma’) tentang sahihnya nasab Ba’alwi yang disebutkan oleh Syekh Yusuf itu adalah hoak belaka. Nasab Ba’alwi itu “maudu’” (diciptakan) baru abad sembilan Hijriah, sebelumnya “zero”. Keberadaanya pun tertolak secara permanen oleh kitab Al Syajarah al Mubarakah.
Begitupula klaim adanya ijma’ bahwa nasab Ba’alwi paling teritsbat kedudukannya. Itu tidak terbukti. Bahkan paling tertolak. Begitupula klaim adanya ijma’ bahwa Ba’alwi paling banyak ilmunya, amalnya, keutamaannya dan akhlaknya. Semua itu tidak terbukti. Khusunya di Indonesia hari ini. para Ba’alwi dari sisi ilmu, ceramah-ceramah mereka di media sosial lebih menjual khurafat daripada ilmu; dari sisi amal, kebanyakan mereka suka berjoged; dari sisi akhlak, penceramah mereka suka mencaci maki dan berkata kotor. Lalu klaim adanya ijma’ tentang ilmu, amal dan akhlak itu dilihat dari mana?
Lalu klaim Syekh Yusuf al Nabhani bahwa telah terjadi ijma’ ulama, bahwa Ba’alwi semuanya Ahlussunnah wal jama’ah bermadzhab Syafi’i itu hoak juga. Buktinya di Indonesia ini para Ba’alwi banyak yang bermadzhab Syi’ah. Contohnya Husen al Habsyi Bangil, itu Syi’ah. Begitu juga Haidar Bagir al Habsyi, Umar al Seggaf Solo, Husin Abdullah Solo, dll, semuanya Syi’ah. Jadi klaim adanya ijma’ bahwa seluruh Ba’alwi adalah ahlussunnah dan bermadzhab Syafi’i itu jelas tertolak.
Setelah penulis telaah, ternyata Syekh Yusuf al Nabhani memuji nasab Ba Alawi, bukan karena ia telah meneliti nasab tersebut, tetapi karena ia adalah murid dari dua orang yang berasal dari klan Ba’alwi. Syekh Yusuf al Nabhani tercatat sebagai murid dari Ahmad bin Hasan al Athas (w. 1334 H.) dan Hasan bin Muhammad al Habsyi (lihat Wikipedia). Iapun banyak bergaul dengan para Ba’alwi. Selain itu, ia saling berkirim surat dengan kaum Ba’alwi. Dapat ditambahkan pula, bahwa ia mendapatkan banyak referensi untuk kitab yang ditulisnya tersebut, dari koleganya yang seorang ulama Ba Alawi, ia bernama Zainal Abdidin Jamalullail. Sosok tersebut meminjamkan dua buah kitab karya kakeknya yang berjudul “Rahatul Arwah bi Dzikril Fattah” dan hasyiyahnya (lihat kitab Riyadul Jannah h. 23) .
Maka penulis berkesimpulan, yang dinyatakan oleh Syekh Yusuf an-Nabhani tentang adanya ijma bahwa nasab Ba Alawi adalah nasab yang paling sahih, sama sekali tidak sesuai dengan realitas kebenaran yang instrumen pengukurannya telah tersedia. ia mengitsbat Ba’alwi tanpa dalil dan data apapun. Itu semua terdorong oleh semangat subjektifitas karena ia murid dari dua orang yang berasal dari klan Ba’alwi. hal yang sama terjadi di Indonesia, para pembela nasab Ba’alwi yang telah terbukti tidak tersambung kepada Rasulullah itu kebanyakan adalah sisa-sisa anggota FPI, karena pemimpinnya berasal dari klan Ba’alwi. Atau sedikit anak-anak NU yang belajar di Darul Mustafa Yaman atau lembaga milik Ba’alwi lainnya. Begitu juga ia yang masih membela itu, disebabkan karena sudah terlanjur mempunyai menantu atau besan dari klan Ba’alwi, atau alasan-alasan subjektifitas lainnya.
Klan Ba’alwi yang ingin dipanggil habib itu, sudah terbukti bukan keturunan Nabi Muhammad SAW. dari sisi ilmu nasab terputus, dari sisi ilmu sejarah tidak terkonfirmasi, dari hasil tes DNA mustahil sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. lalu, berdasar apa anda masih membelanya? Apakah surga dan isinya yang indah, dengan bunga-bunga berwarna warni, dengan kemewahan tiada tara, dengan bidadari cantik yang menghiasinya, tidak membuat anda tertarik memasukinya, hanya karena ingin membela orang yang mengaku cucu Nabi padahal DNA nya terbukti melenceng ke mana-mana?