Penulis: Kgm. Rifky Zulkarnaen
Gerakan anti pengakuan nasab palsu Klan Baalawi yang dilakukan ksatria-ksatria Nusantara dua tahun ini betul-betul menarik perhatian semua lapisan masyarakat, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Di Nusantara, ia menyentuh lorong-lorong kota dan berjalan jauh ke peloksok-pelosok desa. Dari mulai pengacara sampai bromocorah; dari mulai menteri sampai para santri; dari mulai kyai sampai para priyayi; dari mulai wanita-wanita sosialita sampai emak-emak solihah, semua mengikuti viralitas tesis bahwa ternyata kabib-kabib Baalawi itu bukan keturunan Nabi Muhammad SAW.
Semakin hari, semakin banyak masyarakat yang sadar bahwa kabib-kabib Imigran Yaman itu bukan keturunan Nabi. Sebagian mereka mengekspresikan kesadaran itu dengan bergabung dengan Perkumpulan PWI-LS dan semacamnya, sebagiannya lagi ikut berjuang dengan membuka channel-channel Youtube dan Tiktok dan menyebarkan berita bahagia terbongkarnya kepalsuan nasab kabib itu ke hadapan masyarakat luas. Sebagiannya lagi dengan membuat akun Facebook dan Twitter, sebagian lagi ada yang berjuang dengan menshare konten-konten kepalsuan nasab Baalawi di group-group Whatsapp.
Para akademisi berjuang dengan membuat jurnal-jurnal ilmiah; para mahasiswa mengangkat kepalsuan nasab ke tugas akhir kuliah mereka, sebagiannya membuat skripsi sebagiannya lagi membuat tesis. Para kyai-kyai Pondok-Pesantren satu per satu menyadari bahwa Baalawi bukan keturunan Nabi Muhammad SAW, sebagian mereka meneliti, sebagian lagi beristikharah memohon petunjuk ilahi. Lalu waridat-waridat ilahiyah turun dalam bentuk keyakinan yang kokoh yang tidak bisa digoyahkan lagi.
Kini masyarakat Indonesia berjalan pasti menuju pencerahan spiritual keislaman yang hakiki. Ajaran Islam yang suci yang selama ini diselimuti kepalsuan pengakuan sebagai keturunan Nabi kini telah tersibak. Cahaya Rabbani yang berkemilau indah memancar ke relung-relung sanubari, lalu tersebar menyinari nurani, kemudian masuk menembus rongga-rongga jiwa, semakin jauh berteduh di bawah naungan sukma kemudian menjelma menjadi keteguhan akan kebenaran yang tiada tara.
Dalam setiap perubahan tentu akan ada yang tertinggal, kapal tidak bisa mengangkut sekali jalan semua calon penumpang. Namun, bukan berarti mereka benar-benar akan tertinggal. Hanya menunggu waktu dan kuota hidayah saja. Kapal akan berbalik arah lagi lalu akan memuat semuanya.
Kibin-kibin yang hari ini masih bersama masa lalunya, suatu saat akan berteriak lebih lantang dari para pejuang yang sekarang telah bersuara, karena semakin lama mereka belum tersadarkan, semakin banyak pengalaman yang mereka simpan, tentu akan semakin dalam keyakinan kepalsuan itu setelah mereka tersadarkan. Hanya butuh sedikit kecewa mereka akan meninggalkan para kabib dan terbebas dari selimut kegelapan.
Kabib-kabib tentu kini akan berusaha mengubah perilaku, agar segala tuduhan yang selama ini dialamatkan akan jejak digital masa lalu, tidak begitu saja bisa menjadi dakwaan fardu. Lidah mereka tidak akan lagi tajam kepada kyai-kyai NU; tidak akan lagi mencaci maki para pejabat; tidak akan lagi menyombongkan nasab mereka. Klaim-klaim sejarah yang penting buat eksistensi mereka mungkin akan di-moratorium terlebih dahulu. Walau mereka tahu masih ada kibin yang sekulit bawang husnuzon kepada nasab mereka, tetapi mereka juga tahu kebanyakan masyarakat sudah tidak percaya lagi mereka keturunan Nabi. Mereka akan berupaya minimal suara-suara itu tidak lantang lagi, sehingga para kibin yang kepercayaanya setebal kulit bawang itu tidak terpengaruh dan menjauhi mereka. Karena jika itu terjadi sungguh muka bumi ini akan semakin sempit untuk mereka. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan dapat bertahan dengan perilaku yang semu itu: berpura-pura santun, berpura-pura tidak menyombongkan diri dan menata malu? Syukur-syukur mereka akan mampu menjaga sikap rendah diri selamanya di depan kemuliaan ilmu dan nasab masyarakat Nusantara.
Upaya-upaya itu telah mereka lakukan, misalnya dengan berupaya menyatukan Rizieq Syihab dengan Kyai Syukran Makmun, juga dengan Kyai Makruf Amin, di atas panggung Rizieq mencium tangan Kyai Makruf Amin yang tahun 2018 di sebut “binatang” oleh seorang kabib itu. Lalu Nabil Musawa datang ke PBNU ikut acara LDNU duduk dengan tokoh-tokoh NU. Nabil Musawa juga sengaja mengadakan acara di Istiqlal dengan mengundang Gus Baha, agar nampak mereka duduk bersama kyai-kyai Nusantara. Mampukah hal-hal semu itu menghapus memori masa lalu? Sampai kapan mereka mampu menjaga adab dan kesopanan seperti itu? Saya kira tidak akan mampu bertahan lama, karena itu bukan tabiat mereka. Walau demikian harapan tentu perlu kita hadirkan. Masyarakat Nusantara adalah manusia-manusia berakhlak mulia yang mereka warisi dari leluhur yang mulia, yang bernasab mulia dan berperadaban mulia. Kemegahan peradaban Nusantara ribuan tahun yang silam yang hari ini keagungannya masih dapat dinikmati, membuktikan mereka sebagai manusia-manusia luhur budi yang bergenetik para ksatria bijaksana tentu akan memaafkan siapa saja yang telah menyakiti yang berniat untuk benar-benar memperbaiki diri.
Tetapi ketika tabiat lama para kabib itu hadir kembali, maka akan merata-rayalah tanpa tersisa keyakinan di semesta Nusantara bahwa mereka bukan keturunan Nabi Muhammad SAW, dan ketika itu terjadi, keluhuran budi Nusantara mungkin tidak akan digunakan lagi.