Pasca wukuf, aku bermeditasi diri di tanah Muzdalifah pada malam hari sampai batas waktu yang ditentukan sambil mengumpulkan sejumlah batu kerikil kecil di hamparan tanah. Setelah melewati tengah malam pukul 00.00 waktu Saudi tanda memasuki tanggal 10 Dzulhijjah, aku berangkat menuju Mina untuk melempar 7 butir batu di Jumrah Aqabah, setelah itu aku melakukan tahallul awal dengan memotong beberapa helai rambut sebagai tanda dibolehkan untuk melakukan pantangan ritual haji. Kemudian aku istrirahat di kemah Mina dan bermalam dua atau tiga malam (nafar awal, tanggal 11 & 12 Dzulhijjah atau nafar tsani, tanggal 11, 12 & 13 Dzulhijjah) dan melemparkan batu-batu di tiga titik jamarat (ula, wustha dan aqabah) pada siang harinya. Ritual itu dilakukan untuk memeditasikan diri sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakseimbangan medan naluri yang sering kali melewati batas ukurannya di saat mengalami peristiwa yang secara adat cukup memilukan. Inilah yang disebut aku melawan setan yang menyusup disela-sela ototku.
Aku membaca beberapa buku sejarah terkait ritual lempar jamarat bahwa ritual ini bermula dari kisah Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan putranya, Ismail. Tuhan menguji sang ayah dengan memerintahkannya untuk menyembelih sang putra. Kemudian setan menyusupi rongga dada (medan naluri) sang ayah untuk mempengaruhinya agar ia mengabaikan perintah penyembelihan sang anak. Namun sang Khalilullah tak tergoda sedikitpun, ia tidak memperdulikan segala bisikan buruk di dalam batinnya. Di saat setan menampakkan wujud aslinya, dan berdiri di hadapannya untuk mempengaruhinya secara langsung, Nabi Ibrahim pun langsung mengusir jelmaan itu dengan mengambil beberapa batu kecil dan melemparkan kepadanya. Inilah yang disebut Jumrah Ula.
Tidak mampu mempengaruhi Ibrahim AS, Iblis datang untuk memanipulasi Siti Hajar. Iblis memperhitungkan seorang ibu tidak akan tega membiarkan putranya disembelih. Namun Hajar menolak dan melempari setan dengan kerikil. Lokasi pelemparan Siti Hajar kemudian dijadikan sebagai lokasi pelemparan Jamrah Wusta.
Semangat Iblis tidak berhenti di situ. Ia menoleh kepada Ismail AS. Ia berpraduga sang anak memiliki keimanan dan ketakwaan yang lemah. Ternyata anggapannya sangat tidak tepat. Ismail memegang teguh imannya dan sepenuh hati percaya pada perintah Allah SWT. Kemudian Ibrahim, Siti Hajar dan Ismail secara bersama-sama melempari setan dengan batu kerikil. Lokasi pelemparan dikenal dengan Jamrah Aqabah.
Melontar jumroh merupakan simbol perlawanan sepanjang umur manusia terhadap godaan setan sebagai bentuk kutukan kepada unsur kejahatan yang muncul dari medan naluri yang tidak stabil dan sering kali membinasakan manusia.
Sungguh aku mendapat banyak pelajaran dari sejarah ritual ini. Bahwa aku harus bermujahadah agar aku tidak terkuasai oleh naluri syaithaniku dan aku tetap netral bersama informasi ke-Tuhan-an. Aku harus selalu hening untuk mengusir godaan setan yang menjelma di kegenitan sentra pikiranku, dan medan naluriku sehingga aku menyadari tentang siapa sejatinya aku, dan semesta adalah keluargaku. Inilah modal awal bagiku yang mengenali Allah sebagai Tuhanku.
Oleh: Dr. KH. Mohamad Mahrusillah, MA
Ketua RMI PCNU Kab. Tangerang dan Rais Syuriyah MWC NU Kec. Teluknaga
Editor: Kang Diens
Download PDF Buku Kronik Perjalanan Ilmiyah KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani Dalam Mengungkap Nasab Palsu Ba’alwi cetakan ke-3
Download PDF Buku Kronik Perjalanan Ilmiyah K.H. Imaduddin Utsman Al-Bantani Dalam Mengungkap Nasab Palsu Ba’alwi cetakan ke-3 Buku ini menarik...
Read more