Oleh : Hamdan Suhaemi
Sebagai muslim tentu sudah biasa dengan dzikiran, baik setelah sholat fardhu maupun di saat tertentu. Dzikir itu intinya mengingat Gusti Allah SWT agar jiwa dan hati merasakan tenang dan damai. Arti tenang bukan tenang tidak ada gaduh, tidak ada keributan. Tetapi jiwa dan hati bisa tenang (khusyu’) menyebutnya, mengingatnya, sekaligus untuk mendekatinya, meski dunia begitu gaduh.
Dzikir, itu lafal yang dianugerahi Tuhan untuk menguatkan dimensi lahir dan batin hambanya. Melalui Rasulullah SAW dzikir itu kemudian disampaikan ke para sahabat, sebagai bagian dari tambahan dari ibadah mahdlah yang sudah disyariatkan. Rasulullah SAW sudah menjamin bagi umatnya, siapa yang membiasakan dzikiran tahlil (laa Ilaha Illa Allah) maka baginya mendapatkan syafa’at (lihat kitab al-Sunan, bab al-harshu ‘ala al-haditsi). Tentu tahlil bukan satu-satunya dzikiran, namun yang utama adalah tahlil, ini dikabarkan bahwa hadits tentang keutamaan zikir laa ilaha Illa Allah itu diriwayatkan hampir semua imam hadits, seperti dalam Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan al-Tarmidzi). Sungguh ini hadits yang masyhur, dan sudah qothi’ dilalah (ketetapan yang jadi dalil). Artinya kita tidak bisa menolaknya, karena bukan hadits maqthu’ atau hadits dhaif.
Jika dzikir itu diartikan ingat kepada Allah, tentunya yang harus adalah bagaimana adab dan tata krama ketika zikir tersebut, karena sama halnya sholat, dzikiran juga intinya menghadap Allah, mengingatnya. Jumlahnya banyak sesuai apa yang diajarkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya melalui al-atsar-nya. Menurut Imam al-Qusyairi (Sufi Agung abad 5 Hijriah) dalam kitabnya Risalah al-Qusyairi bahwa “siapa yang biasa zikir ‘laa ilaha Illa Allah” sebanyak seribu kali dalam keadaan suci dari hadats di waktu subuh maka baginya Allah mudahkan rizkinya. Bahkan menurut Syaikh Abi Abbas Ahmad al-Buni dalam kitabnya Ruhul Bayan (juz : 4 hlm, 372) bahwa siapa yang zikir “laa ilaha Illa Allah” dengan maksud orientasi hidup menuju tingginya derajat maka baginya mendapatkan kemampuan tersingkapnya hal-hal yang gaib dan atau yang tak nampak.
Kita, dapat pelajaran dari Syaikh Muhammad Idrus Qoimuddin dalam kitabnya Muannasat al-Qulubi (hlm:24) bahwa sebelum dzikir yang patut dilakukan adalah pertama itu taubat (memohon ampunan kepada Allah), kedua suci dari hadats (hadats kecil dan hadats besar), ketiga sikap tenang (anteng), keempat memperoleh dzikiran dengan niatan hatinya sesuai arahan tujuan Syaikh (Mursyid Tarekat), kelima melihat keterkaitan tujuan syaikh dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
Sementara, adab ketika zikir adalah duduk di tempat yang suci, meletakan kedua tangan di atas pahanya, mewangikan majlis zikir, memakai pakaian bersih dan wangi, memilih ruang yang digelapkan, memejamkan kedua matanya, membayangkan kehadiran gurunya (mursyid), lalu bersikap dan bertutur jujur, ikhlas, kekuatan yang sempurna, menghadirkan makna zikir di dalam hati, meniadakan sesuatu selain Gusti Allah.
Memperbanyak zikir di siang hari atau malam hari, bahkan dalam khalwat itu kemudian akan merasakan fadilah (keutamaan), keberkahan yang memayungi hidup, dan tentunya jiwa yang tenang (nafsun muthmainnatun). Jiwa yang tenang adalah jiwa yang dicita-citakan oleh semua manusia. Menjadi keniscayaan kita (muslim) untuk istiqamah berzikir selama hembusan nafas masih ada.
Curug, 7-6-2022
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten