Ada sebuah kitab yang menjawab kitab penulis : “Kasyf al fadihat al ‘Ilmiyyah li Tarikhi wa Nasab Ba’alwi”. kitab itu bernama:
اظهارحقيقة مدعي كشف الفضيحة العلمية لتاريخ ونسب السادات باعلوي
“Idzhar al Haqiqat li Mudda’I Kasfi al Fadihat al ‘Ilmiyyah li Tarikh wa Nasab al Sadat Ba’alwi” (selanjutnya kita sebut Al-Idzhar).
Kitab tersebut ditulis oleh seorang yang bernama Ahmad bin ‘Aud bin ‘Alwi al Ibrahim dari Kesultanan Oman. Kitab itu diselesaikan pada 12 Juli 2024 M. kitab setebal 125 halaman itu berusaha menjawab berbagai tesis penulis tentang pembongkaran skandal ilmiyah tentang sejarah dan nasab klan Ba’alwi.
Al-idzhar berusaha menampilkan berbagai narasi tentang bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut. Seperti juga ia berusaha mengisi kesunyian sumber nasab Ba’alwi selama 550 tahun, terhitung sejak wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H. sampai tahun di mana Ali al Sakran membangun nasab dan kesejarahan itu pada tahun 895 H.
Kita akan menyaksikan betapa skandal satu akan berusaha ditutupi oleh skandal yang lain, skandal yang lain akan ditutupi oleh skandal yang lain lagi. Benar apa yang dikatakan para pujangga: “kebohongan kecil hanya bisa ditutupi oleh kebohongan yang besar; kebohongan yang besar hanya akan bisa ditutupi oleh kebohongan yang lebih besar, begitu sterusnya sampai kebohongan itu akan bercerita sendiri tentang kebohongannya”.
Al-idzhar berusaha menyulam apa yang tidak bisa disulam oleh para pembela nasab Ba’alwi terhadap helai demi helai sejarahnya. Namun, akhirnya ia akan tertelungkup pasrah, kain sutra mahal dari sejarah Ahmad bin Isa yang indah, tidak bisa disambung dengan kain hayalan nasab dan sejarah Ba’alwi yang hanya fatamorgana semata.
Di bawah ini, penulis akan sampaikan proposisi-proposisi signifikan dari Al-Idzhar untuk menyambungkan nasab dan sejarah Ba’alwi. sementara proposisi lain yang tidak langsung menyentuh keterputusan nasab Ba’alwi, penulis kesampingkan terlebih dahulu. Mungkin dalam kesempatan lain, meminjam istilah Doktor Sugeng, akan penulis “rujak” juga. Proposisi-proposisi yang signifikan itu sebagai berikut:
1. Al-idzhar mengatakan: jika penulis menyatakan Ahmad bin Isa tidak dimakamkan di Hadramaut lalu di mana kuburnya? (h.8)
(Jawab: Ahmad bin Isa bin Muhmamad al Naqib tahun 234 H ada di Madinah ( lihat al Gaibah h. 199), tetapi kemudian sejarawan tidak ada yang mereportase ia ke mana atau wafat di mana. Tidak mesti diketahui di mana makam seseorang yang hidup di masa lalu. Milyaran orang yang hidup di masa lalu sekarang tidak diketahui di mana makamnya. Adapun makam Ahmad bin Isa yang ada di Hadramaut itu jelas makam palsu, karena tidak ada berita hijrah Ahmad bin Isa bin Muhammad al Naqib ke sana. Berita hijrahnya di tahun 317 itu jelas mengada-ada, Karena berarti ia hijrah pada umur 103 tahun. Dan berita wafat Ahmad bin Isa versi Ba’alwi tahun 345 H itu juga kurang masuk akal, karena berarti ia hidup sampai umur 131 tahun.)
2. Hijrahnya ahmad bin isa telah disebut oleh Yahya bin Abdul Adzim al hatimi al tarimi. Katanya, ia wafat setelah tahun 512 H. katanya pula, ia mempunyai qasidah yang memuji Alwi bin Muhamad bin alwi bin Ubed. Qasidah ini, katanya pula, ada dalam kitab al Gurar karya Ali Khirid Ba’alwi (h. 8).
(Jawab: berita ini bukan berita yang ditulis abad 6 H, tetapi berita dari abad 10 H tentang cerita abad ke 6 H. Kita tidak pernah tahu apakah berita itu benar atau tidak; Darimana Ali khirid mendapatkan berita ini; siapa perawinya; apakah Ali Khirid jujur dalam masalah ini, atau ia berdusta . kita tidak pernah tahu. banyak kitab, qasidah, syair dan puisi yang ditulis di masa kini lalu ia diatribusikan ulama di masa lalu. Itulah yang disebut “skandal” ).
3. Hijrahnya Ahmad bin Isa telah disebutkan oleh kitab “Al Yaqut al Samin”, pengarangnya, katanya, orang Tarim abad ke 7, seperti yang disebut kitab al Ghurar (h.8)
(Jawab: sama seperti sebelumnya, berita ini bukan berita yang ditulis abad 7, tetapi berita dari abad ke-10 H tentang peristiwa abad ke-7 H. karena kita tidak tahu darimana Ali khirid mendapatkan berita ini apakah Ali Khirid berdusta atau tidak?)
4. Hijrahnya Ahmad bin Isa telah disebut dalam kitab “Tarikh Ahmad bin Muhammad Ba Isa”, katanya wafat tahun 628 H. juga disebut dalam kitab “Talkhis al ‘Awaji” karya Abul Qasim al ‘Awaji (h. 8).
(Jawab: mana kitabnya? Halaman berapa? kedua kitab tersebut tidak ada. Jangan bohong)
5. Khirid Ba’alwi mengatakan kitab “Tarikh Ahmad bin Isa” itu ia kenal berdasarkan mudzakarah dengan gurunya yang bernama Abdurrahman bin Ali al Sakran. Dan berdasar “cerita” dari jamaluddin Muhammad bin Abubakar bin Umar Abad al Syibami, Muhammad bin Hakam Ba Qusyair, Fadol bin Muhammad bin Ahmad Ba Fadol, dan Fadol bin Abdullah bin Abi Fadol (h.9)
(Jawab: tuh, kan. Bukan karena kitab itu ada, Khirid mendapatkan nama kitab itu dari hasil “ngobrol” dengan orang-orang yang disebutkan tanpa menjelaskan kitab itu sebenarnya ada atau tidak. Cara-cara “tidak berintegritas” seperti ini hampir merata menjadi metode kitab-kitab Ba’alwi ketika bicara nasab).
6. Kitab “Tarikh Ba Isa” dan “Talkhis Awaji” juga telah disebut oleh Al Khatib dalam kitab “Al jauhar al Syafaf”, Abdullah bin Abdurrahman Bawazir dan Ali dalam “Al Tuhfah al Nuraniyah”, dan Al Sakran dalam “Al Burqoh” (h.9)
(Jawab: kitab “Al Jauhar al Syafaf” pengarangnya tidak dikenal. ketika kitab itu menyatakan tentang suatuhal apapun yang berkaitan dengan hujjah Ba’alwi tidak dapat dipercaya; bagaimana kita berhujjah dengan suatu kitab yang tahun eksisitensi dari ulama pengarang kitab itu sendiri tidak dapat ditentukan dengan benar. sedangkan Abdurrahman Bawazir adalah murid Ba’alwi, penisbatan kitab ini kepada Abdurrahman Bawazir pula disangsikan. Kitab Al Burqoh adalah kitab Ba’alwi pertama yang telah nyata dan pantas disematkan gelar sebagai kitab pertama yang menyebut Ba’alwi sebagai keturunan Nabi).
7. Al-Idzhar mengatakan: Kitab-kitab tarikh dan sanad-sanad banyak yang menyebut nasab Ba’alwi. aku akan menyebutkannya nanti (h.9)
(Jawab: mana?)
8. Abul Hasan Ali bin Mas’ud bin Ali al Siba’I mengambil ijajah Sahih Bukhari dari Syarif Ibnu Jadid (h.9).
(Jawab: hubungannya ijajah al Siba’I dengan nasab Ba’alwi apa? Wong Syarif Abul Jadid bukan siapa-siapanya Ba’alwi. Ba’alwi mengaku Jadid kakaknya Alwi. dari mana dalilnya? Sebutkan kitab abad ke lima atau ke enam yang menyebut Jadid kakanya alwi. Nggak ada. itu ngaku-ngaku tanpa bukti. Keteranagan ijajah itu, terdapat dalam kitab “Tuhfatuzzaman” karya Al Ahdal. Tetapi lihat dalam kitab itu, ketika Al Ahdal menjelaskan Syarif Abul Jadid, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa Jadid ini sebagai kakak dari Alwi, padahal ia menjelaskan bahwa keluarganya dan Ba’alwi kakeknya masih saudara sepupu, sama-sama satu kakek, dan sama sama hijrah dari Irak. Tetapi kenapa ketika menjelaskan biografi Syarif Abil Jadid, ia sama sekali tidak menjelaskan kekerabatannya dengan Abul Jadid, atau menyebut Abul Jadid sebagai keluarga Ba’alwi? jawabannya, karena Syrif Abul Jadid itu orang lain, bukan kakak alwi bukan pula keluarga Al ahdal.)
9. Ba’dzib mengatakan ada ijajah Muhammad bin ‘Amr al Tiba’I dari Sulaiman al Jaesyi dari bin Jadid. Dengan itu berarti nasab Ba’alwi sudah dikenal sejak abad ke 7 H. (h.10).
(Jawab: pertama: itukan ijajah dari Jadid, bukan Ba’alwi. Jadid itu bukan kakak dari Alwi, tidak ada kitab abad ke 4-8 yang menyatakan Jadid punya adik nama Alwi. Dia orang lain. Bukan keluarga Ba’alwi (Abdurrahman Segaf). Abul jadid itu juga bukan Syarif keturunan Nabi. Tidak tercatat dalam kitab-kitab nasab sezaman dia sebgai keturunan Nabi. Dalam kitab “ Al Suluk” dia dicatat sebagai keturunan Ahmad dari anaknya Abdullah. Sedangkan nama Abdullah itu hanya tercatat dalam salah satu manuskrip kitab “Al Suluk” abad 9, sementara manuskrip yang lebih tua tidak mencatat nama Abdullah. Jadi nasab Abul Jadid sendiri sebenarnya ditulis “Al Suluk” tidak sebagai anak Abdullah, tetapi anak Ahmad bin Isa langsung. Nama Abdullah tidak ada. Lalu ketika Ba’alwi mengaku ia tersambung kepada Ahmad bin Isa dari Abdullah yang fiktif itu, maka otomatis cangkokan Ba’alwi ini pun batal. Mencangkok dari cangkokan yang fiktif.)
10. Dalam kitab Al Gurar, Ali Khirid Ba’alwi mengatakan Ada ijajah dari Muhammad bin Ali al Qol’I kepada Syarif Abdullah bin Muhammad Sohib Mirbat tahun 575 H. (h.11).
(Jawab: tidak percaya. Gak mungkin ada ijajah kepada Abdullah bin Sohib Mirbat, kenapa? Muhammad Sahib Mirbat itu fiktif. Ia tidak dikenal ulama di Mirbat dan tidak punya anak yang belajar kepada Muhammad al Qol’i. lihat di Al Gurar halaman 176, di sana Khirid mengatakan bahwa ada ijajah dari Al Qol’I kepada seseorang yang bergelar Al Syarif. Tidak disebutkan namanya siapa, hanya disebut Al Syarif saja. Lalu Khirid mengasumsikan Al Syarif itu adalah Abdullah bin Sohib Mirbat. Hanya asumsi belaka. Ia pun menggunakan kalimat “wallahu a’lam” ketika mengasumsikan Al Syarif sebagai Abdullah. Itu artinya ia saja tidak yakin.)
11. Ada manuskrip ijajah kitab Turmudzi dari Abul Jadid. terdapat di perpustakaan “Raisul kitab” di Turki No. 154. Ijajah itu diberikan kepada Al ‘Ammaqi (w. 638 H.) (h.11).
(Jawab: sama saja, setiap ijajah keluarga Jadid itu, tidak membantu apa-apa kepada nasab Ba’alwi (Abdurrahman Assegaf). karena jadid itu bukan keluarga Ba’alwi (Abdurrahman Assegaf). Ia bukan kakak Alwi. ia hanya diaku-aku oleh Ali al Sakran sebagai kakak dari Alwi. sejatinya tidak ada bukti kitab apapun di abad ke 4-8 yang menyebut jadid ini sebagai kakak Alwi. Tidak ada. ayo tunjukan kitab apa di abad ke 4 sampai 8 H yang menyebut Jadid sebagai kakak Alwi. tidak ada. manuskrip ijajah itu juga membuktikan bahwa Jadid benar-benar bukan keluarga Jadid. Kenapa? Karena sanad kitab Turmudzi Ali bin Jadid sampai Imam Turmudzi tidak ada nama-nama keluarga Ba’alwi Abdurrahman Assegaf, padahal kitab-kitab Ba’alwi mengatakan bahwa Ubaidillah sebagai seorang muhaddits, kenapa sanadnya tidak ke ubaidillah atau Alwi atau Muhammad bin Alwi yang katanya semua ulama? Jawabannya Karena Ubaidillah, Alwi dan Muhammad bin Alwi itu tokoh fiktif, dan Jadid bukan kakak Alwi.)
12. Ahmad bin Aod juga dalam kitab Idzhar nya itu menampilkan beberapa salinan manuskrip ijajah Abul Jadil dari Amr al Tiba’I, Ali bin Mansur al Siba’I. juga mansukrip kitab Turmudzi tahun 771 H. terdapat dalam maktabah Imam Zaid di Shan’a no 617. Ditampilkan juga manuskrip Tuhfatuzzaman karya Husen Al Ahdal (w. 855 H.) yang semuanya menulis silsilah Syarif Abul Jadid (h. 18).
(Jawab: Sekali lagi, Jadid tidak ada kaitannya dengan Ba’alw Abdurrahman, ia di cangkok oleh Ba’alwi Abdurrahman Asegaf.)
13. Kitab sejarah yang menyebut hijrahnya Ahmad bin Isa ke Yaman adalah kitab Al Baha karya Ibnu Hisan (w. 818 H.) (h.21)
(Jawab: itu hoak. Kitab itu ditahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi, diterbitkan oleh Darul Fatah tahun 2019. Kitab ini merupakan kronik sejarah Hadramut dari tahun 424 -926 Hijrah, menurut pengakuan pentahqiqnya, dicetak dari manuskrip yang tidak lengkap. Ada beberapa tahun yang hilang, lalu pentahqiq menambahinya dari kitab Tarikh Syanbal yang juga ditahqiq olehnya. Disebut oleh para peneliti bahwa Syekh Syanbal itu fiktif. Kendati ada pengakuan tambahan, dalam isi kitab versi cetak, tidak dibedakan, mana ibaroh asli dari manuskrip kitab al-Baha, dan mana ibaroh yang merupakan tambahan dari pentahqiq. Dalam kitab ini disebutkan wafatnya al-Fakih al-Muqoddam dan nama-nama keluarga Ba Alwi lainnya. Disebutkan pula hijrahnya Ahmad bin Isa. semua itu adalah tambahan pentahqiq Abdullah Muhammad Al Habsyi. Di manuskrip Ibnu Hisan tidak ada.)
14. Ibnu Hisan katanya membuat Qasidah untuk Faqih Muqoddam dan Maula Dawilah seperti yang dikutip kitab Al Jauhar al Syafaf (h. 21)
(Jawab: kitab Al Jauhar al Syafaf tidak dapat dipercaya. Pengarangnya, Abdurrahman Al Khatib, tidak dikenal para ulama. Naskah kitab itu baru ditulis kurang lebih 50 tahun yang lalu. Ia sebuah qasidah baru yang diasosiasikan ulama masa lalu.)
15. Abu Syukail menulis bahwa Ba’alwi Abdurrahman Asegaf tersambung kepada Ahmad bin Isa (h.21)
(Jawab: mana kitab Abu Syukail yang menyebut itu? tidak ada. paling-paling nanti jawab seperti yang disebut “Al Jauhar al Syafaf”. Semua skandal riwayat nasab dan sejarah Ba’alwi Abdurrahman akan kembali kepada dua kitab:” Al Jauhar al Syafaf” karya Al Khatib dan “Al Burqot al Musyiqoh” karya Ali Al Sakran. Di tambah manuskrip “Al Tuhfat al Nuraniyah” yang katanya karya Abdullah Bawazir, kitab terakhir ini, seperti Al Jauhar al Syafaf, penisbatan kepada pengarangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan).
16. Muhammad Ba Qusyair (w.885 H.) katanya membuat syair untuk Abdullah al Idrus dan mengurut nasab sampai Ahmad bin Isa (h. 21)
(Jawab: mana kitab Ba Qusyairnya. Paling keterangan itu ada di Al Burqoh karya Ali al Sakran. Kenapa semua ulama besar yang katanya mengitsbat Ba’alwi Abdurrahman sebagai cucu Nabi di abad 8 dan 9 Hijriah, keterangan itu hanya ada di kitab-kitab Ba’alwi? jawabanya sangat mudah.: sebenarnya mereka semua tidak mengitsbat Ba’alwi.)
17. Kitab “Tobaqot al Khowas” karya Ahmad al Syarji (w. 893 H.) menyebut bahwa kakek-kakek dari Ba’alwi, Al Ahdal dan Al Qudaimi berhijrah bersama ke Yaman dari Irak (h.21).
(Jawab: kitab ini dikutip Al-Idzahar sebenarnya mementahkan hijrahnya Ahmad bin Isa dan mementahkan kedudukannya sebagai leluhur Ba’alwi, kenapa? Karena menurut keluarga Al Ahdal, leluhur mereka, Muhammad bin Sulaiman hijrah bersama leluhur Ba’alwi. ia wafat pada tahun 540 Hijriah. Sementara Ahmad bin Isa wafat tahun 345 H. masa ia orang yang wafatnya beda 195 tahun bisa hijrah bersama? Jelas yang hijrah bersama leluhur Al Ahdal itu bukan Ahmad bin Isa karena ia telah wafat pada tahun 345 H., lalu siapa? Ora weruh. Puyeng.)
18. Ulama yaman bernama Muhammad bin Umar Bahraq (w.930 H.) mengarang kitab “Mawahibul Quddus fi Manaqib Ibni al Idrus”. Di dalam kitab itu katanya ia menyebut Hijrahnya Ahmad bin Isa ke Hadramaut (h.22)
(Jawab: menurut ulama Yaman, Abdullah bin Shalih Abu Thal’ah al Syarafi dan sejarawan Yaman Salim faraj Muflih, kitab itu bukan kitab karya Muhammad bin Umar Bahraq. Kitab itu adalah salah satu kitab skandal penjajah untuk membelokan sejarah Hadramaut sebagai pembenaran untuk suatu tujuan. Kitab itu disebut Salim faraj Muflih sebagai “kutubun khurafiyyatun wahmiyyah” (kitab-kitab khurafat yang tidak benar). Lihat “Jinayat al Isti’mar al Britaniy ala Tarikh Hadramaut” h. 6. Lihat pula Al Tazwir wa Istilab a Hawiyyah karya Salim Faraj Muflih h. 121.)
Itulah beberapa poin yang signifikan untuk ditanggapi dari kitab Al-idzhar. Narasi lain walau menarik untuk ditanggapi, namun tidak berkaitan langsung dengan terputusnya nasab Ba’alwi. penulis mengapresiasi usaha dari Ahmad bin Aod bin Alwi Al Ibrahim Ba’alwi yang telah berusaha sekuat tenaga untuk menjawab kitab penulis. Walaupun belum bisa untuk menyambungkan nasab Ba’alwi yang terputus itu, namun, itu lebih beradab daripada beberapa saudara-saudaranya yang di Indonesia yang kebanyakan bernarasi primitive-pejoratif dan tidak ilmiiah.
Batalnya nasab Ba’alwi tidak bisa disahihkan dengan mengumpulkan masa; terputusnya nasab tidak bisa disambung dengan pidato berapi-api. Haplogroup G tidak bisa berubah menjadi J1 dengan berdzikir dan berziarah. Tetapi semua akan indah jika dihadapi dengan mulai bersifat qona’ah, taslim, dan rido dengan taqdir yang ditulis yang Maha Bijaksana. Luka hati akan semakin menganga; kesedihan akan semakin tiada tara; malu akan semakin tiada terkira, jika semua dihadapi dengan melawan ketentuan yang Kuasa. Mulai beradaptasi dan menjalani hidup apa adanya, adalah jalan keselamatan untuk hari ini dan masa yang akan datang. Untuk kita dan anak cucu kita ila yaumil qiyamah.
Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani