Oleh: Hamdan Suhaemi
Teringat nasihat ibu saya “sira aja bangga karena keturunan bagus lan aja wewarah ning setiap uwong, bisa mah tutupi ngko gah sing wewarah iku ilmu lan akhlak sira” (kamu jangan bangga karena keturunan bagus dan jangan kasih tahu ke orang-orang, kalau bisa tutupi, nanti juga yang kasih tahu itu ilmu dan akhlak). Nasihat yang saya terima jauh sebelum ibu wafat pada 2021 lalu.
Itu dasar saya bersikap ketika ada kelompok atau golongan merasa istimewa karena darahnya dari darah Rosulullah S.a w sehingga menganggap rendah orang lain yang keturunan orang biasa, bahkan ingin semua muslim harus patuh dan tunduk karena mereka merasa representasi dari eksistensi Rosul, dari itu dibuat cerita-cerita karomah yang isinya banyak halu, khurafat, bohong dan megalomania, yang sebenarnya untuk memperkuat eksistensi” kepalsuan” mereka.
Namun seiring zaman umat sudah kritis dan bersikap rasional dalam segala hal, cerita-cerita macam itu secara responsif dicibir dan dianggap mengada-ada. Umat tidak lagi melihat siapa yang menyampaikan, tetapi apa yang disampaikan itu keterima akal atau tidak. Sekalipun doktrinnya kuat dengan cerita-cerita halu di seputarnya suatu ketika akal pikirannya menolak. Sebab itu yang perlu disampaikan adalah ajaran yang dilandasi ilmu, sehingga ilmu akan memberi garis mana yang sahih mana yang bathil, mana yang maslahat mana pula yang mafsadat. Agama itu ilmu.
Santri-santri di Nusantara ini banyak mengkaji agama dengan pendekatan ilmu agama, seperti untuk paham hadits mereka belajar ulumul hadits, untuk paham ayat mana yang ijmal dan mana yang tafshil, mana ayat muhkamat dan mana pula ayat tentang al-wa’du dan al-Wa’id maka belajar ulumul Qur’an, dan untuk tahu maksud ayat tersebut maka belajar ilmu tafsir, dan untuk paham cara bacanya dan seninya maka belajar qiroatnya. Ilmu-ilmu Islam itu luas.
Prinsip santri bukan “‘isy Kariman aw mut syahidan” tetapi “hina saat mencari tapi mulia saat dicari”. Dari prinsip sudah beda jauh, kelompok habaib lebih kepada orientasi kemuliaan hidup dengan merasa eksistensi mereka sebagai cucu Nabi sedangkan para santri lebih kepada bagaimana paham akan ilmu agama untuk kesempurnaan dan kebenaran beragama, sangat jauh memikirkan siapa ” Aku ” nya. Karena itu kalangan santri tampak tawadhu, meskipun sebenarnya diantara mereka ada yang sambung dengan leluhurnya yakni Wali Songo. Kalangan santri sudah tinggalkan ta’ashhub.
Dalam Lisanul Arab bahwa ‘ashabiyah dan ta’ashshub itu sikap fanatik terhadap suatu golongan dengan mengajak orang lain agar membela golongannya dan bergabung bersamanya dalam rangka memusuhi lawannya baik dalam kondisi terzalimi atau menzalimi.
Beda sikap ini tampak sekali, yang satu membangga-banggakan sebagai keturunan mulia Rosulullah ( secara ilmiah terkonfirmasi palsu ) hingga nalarnya tidak lagi ilmiah, hingga berakhir pada kondisi defisit intelektual. Satunya lagi memilih mengkaji, mendalami ilmu-ilmu agama Islam dengan penguatan dari dalil-dalil Naqli maupun Aqli, keduanya sejalan dan tidak bertabrakan, sehingga nalarnya hidup, mana yang benar mana yang salah.
Bagi kalangan santri di seluruh Nusantara jelas yang dibanggakan itu paham ilmu agama, bukan keturunan, karena keturunan tidak bisa menolongnya jika ada salah dan keliru, yang bisa menolong itu ilmunya. Lihat akhlak santri jauh dari arogansi, jauh dari sombong, jauh dari ucapan halu dan khurafat, karena yang bimbing itu ilmu dan akal sehat. Sebab agama Islam itu sesuai akal pikiran manusia.
Kesimpulannya, tidak ada yang patut dibanggakan kecuali sikap dan nilai taqwa kita pada Allah S.w.t, untuk taqwa kita harus dengan amal soleh, dan sempurnanya amal soleh harus dengan ilmu agama.
Tegal Kuwista, 14 Juli 2024