Oleh: Akhmad Basuni, M.A.
Era Nabi tha’un ada, pun wabah, agama memberikan formula batiniah berupa do’a disamping ikhtiar menghindari daerah wabah.
Sains merupakan ikhtiar manusia total dalam menghadapi wabah. Dari fenomena korban berjatuhan bersifat massal, membuat kepiluan sekaligus mencekam seakan seluruh penghuni jagat semesta akan dimusnahkan. Kerja sains dalam riset, melalui observasi, didirikan laboratorium, klinik dan pada akhirnya ikhtiar itu membuahkan hasil berupa obat dan vaksin.
Dari musibah membuka cakrawala baru dalam dunia kedokteran. Klenik dan takhayul terkikis bahkan ditinggalkan. Babak baru rasionalitas memahami penomena alam dan tak luput pula cara beragama.
Sarjana-sarjana muslim mulai melakukan riset dari penomena alam. Bagi muslim yang berpikir penomena alam adalah ayat tanda-tanda kebesaran rabb. Dari tanda kebesaran Rabb dengan intens menelitinya jadilah disiplin ilmu.
Dari penomena wabah virus (cacar dan campak) Abu Bakar al-Razi menulis buku yang terkenal “al- Jadari wa al-hasibah”. Tidak hanya itu, Ibnu Sina dan Ibn Al-Nafis juga menulis buku pentingnya menjaga kesehatan. Di samping itu Ibn al- Nafis mempelajari jantung dan disebut-sebut sebagai penemu pembuluh darah kapiler (lihat Mulyadi Kartanegara, 2020 “Mengarungi lautan Ilmu”, jilid 4, p.188).
Bagi muslim sejati apapun kejadian alam adalah ayat dari Rabb yang perlu ditafakuri, dan dari tafakur ini melahirkan disiplin keilmuan. Semangat ini sesungguhnya yang diambil oleh tokoh sains modern barat, yaitu semangat mentafakuri penomena alam. Sains dan agama sesungguhnya berkelidan saling menguatkan dalam Islam.
Pertengkaran timbul manakala sains dalam menemukan kebenaran sebatas empiris, pengamatan inderawi. Sehingga hal-hal metafisik menyangkut dimensi lain dianggap tak ada. Dan karena menapikan hal metafisik ini sains moderen mengalami krisis spiritual. Jadilah kata kelompok ini Tuhan hanya ilusi, agama hanya orientasi libido semata.
Kita orang beragama tidak menolak sains, karena sains sesungguhnya anugerah terbesar dari daya pikir insan. Pikiran atau menurut sains bermuara pada syaraf otak itu sesungguhnya hidayah agung dari Sang Maha segalanya.
Berbeda dengan ilmuwan muslim muara kecerdasan insan sesungguhnya tak melulu terletak pada otak melainkan Qalbu. Karena jika hanya kecerdasan otak kadang abai pada nilai rasa “kebijaksanaan” sedih dan gembira.
Walaupun kini lompatan sains begitu luar biasa telah mampu menciptakan intelegesi artifisial atau kecerdasan buatan, tetap saja belum mampu membuat kecerdasan intusi menyangkut perasaan batiniah.
Semoga dengan wabah kini yang melanda dunia, ada hikmah yang luar biasa bagi masa depan manusia sains juga agama.