Suatu hari di tahun 2017, Ayah saya almarhum KH. Suhaemi menjelaskan soal madzhab, ketika beliau ditanya oleh yang anti madzhab (mungkin pengikut JI) bahkan menanyakan soal ketaghutan Pancasila karena jadi dasar negara, bukan al-Quran dan Hadits. Beliau menjelaskan secara simbolik terkait sikap beragama mengikuti madzhab, bahwa mengenali Islam langsung dari al-Quran seperti butuh nasi langsung ke sawah atau ke tanaman padinya. Sedangkan mengenali Islam langsung ke hadits seperti memakan beras yang sudah digiling, sementara mengenali Islam melalui madzhab ibarat dihidangkan nasi yang sudah matang, dan tinggal dimakan.
Kita mengenal madzhab itu dilatari oleh situasi kehidupan umat yang terus dinamis yang dipengaruhi sosial ekonomi, karena perubahan zaman tentunya. Sementara ulama dan para imam kita sadar melihat itu sebagai masail al-diniyah ketika menyangkut soal hukum Islam. Maka di abad 3 Hijriyah bermunculan ulama madzhab sebagai klimaks dari stagnasi jawaban atas persoalan tersebut yang sejak ditinggalkan sahabat kanjeng Nabi cenderung masih kuat memegang qoul sahabat dan belum dirumuskan secara madzhabi.
Munculnya imam Hanafi sebagai nashiru al-sunnah kemudian dilanjutkan oleh muridnya, yaitu imam Malik terus pula dilanjutkan oleh imam Syafi’i, lalu muncul imam Ahmad bin Hanbal sebagai penerusnya adalah penanda kuatnya hujjah umat Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah. Pada masing-masing imam itu secara ijtihadi mampu merumuskan ajaran Islam secara detil dan mudah dimengerti, karena dalam madzhab cara memahami Islam tidak keliru. Kekuatan madzhab itu terletak pada konsistensi atas sanad, artinya menerima ajaran Islam itu dimulai dari Rasulullah SAW, dilanjutkan oleh Sahabat-sahabatnya, dari sahabat disampaikan ke tabiin, dan dari tabiin disampaikan ke tabi’ tabiin. Pada era tabi’ tabiin inilah bermunculan madzhab-madzhab yang mu’tamad, diakui kesahihannya, diakui kedabithanya, juga diakui kreterium mujtahidnya. Semua imam-imam madzhab hafal Al-Qur’an dan ribuan hadits shahih.
Lalu, kita menempuh beragama kita melalui madzhab. Mungkin jika ditanya dalil, mana dalilnya. Bukannya ketaatan itu pada Rasulullah SAW, atau pertanyaan mau ikut Nabi atau ikut ulama. Ini pertanyaan konyol dibuat oleh orang bodoh bin tolol. Katanya ikut Nabi atau Ulama?. Muslim awam pasti memilih Kanjeng Nabi, bukan ulama. Sebab Nabi itu ma’sum (terjaga dari berbuat dosa) sementara ulama itu manusia biasa yang memilki kesalahan, dosa dan kekeliruan, ulama tidak ma’sum. Tapi ini harus dijelaskan, bahwa ikut ulama itu sama halnya mengikuti Nabi, posisi ketaatan muslim itu pertama kepada Allah SWT kemudian kepada Rasulullah, lalu Ulil Amri. Pertanyaannya Ulil Amri itu siapa?
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلً
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Tafsir pada ayat Ulil Amri ( اولى الأمر ) menurut Ibnu Abbas RA dalam kitabnya Tafsir Tanwirul Miqbas (hlm : 59) adalah الامراء السرايا dan juga ditafsiri dengan ulama, dalam penjelasannya يقال العلماء (dikatakan ulama).
Dalam kitab Ghayatul Wushul (hlm. 152) Syaikh Zakaria Anshari menjelaskan secara bernas dan tegas bahwa umat Islam harus bermadzhab.
و الاصح انه يلزم المقلد عاميا كان او غيره التزام مذهب معين من مذاهب المجتهدين و يعتقده ارجح من غيره او مساويا له
Artinya: “Pandangan yang lebih kuat bahwa sesungguhnya wajib seorang yang taqlid umum atau selain umum menetapkan madzhab yang jelas sebagai dari madzhab mujtahidin”.
Dalam kitab al-Ijtihad wa al-Taqlid, Syaikh Hasan bin Syaikh ‘Urqub, telah menjelaskan bahwa.
يجب على غير المجتهد: عامياً كان أو عالماً لم يبلغ رتبة الاجتهاد المطلق أن يقلد مجتهداً؛ لقول الله تعالى: {فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ}
Artinya: “Wajib atas yang bukan Mujtahid, umum atau khusus dan tidak sampai pangkat Mujtahid Muthlaq untuk taqlid pada Mujtahid”.
Lebih lanjut Syaikh Hasan ‘Urqub, mengidentifikasi ulama yang Mujtahid, ini untuk tidak mudah menganggap seseorang sebagai Mujtahid secara serampangan. Akibat itu akan ada kebebasan mengatakan seseorang sebagai imam mujtahid. Padahal jauh dari kreteria, karenanya bukan pintu ijtihadnya yang sudah tertutup tetapi pintu itu rapat karena zaman kini belum ada orang yang sanggup membukanya.
يمكن تقسيم المجتهدين إلى عدة درجات، وقد جعلهم الإمام التاج السبكي في (جمع الجوامع) ثلاث درجات، وكذلك فعل شيخ الإسلام زكريا الأنصاري في (لب الأصول) وشرحه، وهم على حسب علوّ درجتهم: المجتهد المطلق، المجتهد في المذهب، والمجتهد في الفتيا.
Artinya: “Dimungkinkan ada pembagian Mujtahid menjadi beberapa pangkat, dan imam Tajudin al-Subki (kitabnya Jam’ul jawami’) telah menjadikan tiga pangkat dalam diri Mujtahid. Sementara Syaikh Zakaria Anshori (kitabnya Lubbil Ushul) dan penjelasannya bahwa mereka ada dalam hitungan derajat yang tinggi, yaitu mujtahid Muthlaq, Mujtahid madzhab, dan mujtahid fatwa”.
Kita telah mengenal dan masyhur bahwa madzhab dalam lapangan syari’at Islam (fiqih) itu ada 4, semuanya berpangkat mujtahid Muthlaq, atau mujtahid mustaqil. Yaitu madzhab Hanafi, dirumuskan oleh Imam Nu’man bin Tsabit. Madzhab Maliki, dirumuskan oleh Imam Malik bin Anas. Madzhab Syafi’i, dirumuskan oleh Imam Muhammad bin Idris al-Syafii, madzhab Hambali dirumuskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Jadi, ajaran Islam diterima kita yang taqlid ini dengan mudah itu karena kegigihan dan keuletan para imam Mujtahid Muthlaq, lalu untuk apa kita menggali ajaran agama langsung ke Al-Qur’an dan hadits dengan kebebasan pendapat kita sementara kita bukan seorang mujtahid?.
Jikapun ditanyakan bahwa untuk apa ada Al-Qur’an, untuk apa ada hadits bukankah itu adalah petunjuk kita dalam beragama ? Ini pun kita jelaskan bahwa adanya beberapa madzhab yang bebas memilihnya satu diantara empat itu dipastikan bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, jelas Al-Qur’an selalu diambil sebagai pondasi beragama. Kemudian untuk apa kita pusing mencari-cari dalil di Al-Qur’an sementara paham atas balagohnya ayat Al-Qur’an tidak dikuasai. Ibarat membaca surat cinta padahal maksudnya adalah putus cinta. Maka jelas rancu dan galau, tidak punya ketetapan beragama, akibat kegamangan mendalami Al-Qur’an yang bukan ahlinya.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawi al-Kubro ( hlm: 325/4) telah memberi petunjuk pada kita bahwa.
أن تقليد غير الأئمة الأربعة رضي الله تعالى عنهم لا يجوز في الإفتاء ولا في القضاء، وأما في عمل الإنسان لنفسه فيجوز تقليده لغير الأربعة ممن يجوز تقليده لا كالشيعة وبعض الظاهرية، ويشترط معرفته بمذهب المقلد بنقل العدل عن مثله وتفاصيل تلك المسألة أو المسائل المقلد فيها وما يتعلق بها على مذهب ذلك المقلَّد، وعدم التلفيق لو أراد أن يضم إليها أو إلى بعضها تقليد غير ذلك الإمام…. ولا يشترط موافقة اجتهاد ذلك المقلد لأحد المذاهب الأربعة، ولا نقل مذهبه تواترا كما أشرت إليه، ولا تدوين مذهبه على استقلاله، بل يكفي أخذه من كتب المخالفين الموثوق بها المعوّل عليها.
Ucapan Imam Ibnu Hajar al-Haitami ini menolak taklid pada selain empat imam madzhab, karena itu tidak boleh berfatwa, tidak boleh memghukumi. Dengan demikian apabila pribadi muslim ingin mengamalkan beragama tanpa taqlid pada empat imam madzhab, maka dipersilahkan untuk taqlid pada kelompok Syi’ah, al-Dhohiriyah.
Dengan begitu, beragama melaui madzhab bukan untuk berbuat bid’ah, tetapi meluruskan beragama ke jalan yang benar. Konsisten atas madzhab dari kepastian mukallaf hingga mati nanti adalah konsistensi atas kebenaran beragama. Islam agama yang sempurna, maka untuk mengenali kesempurnaannya harus dengan cara bermadzhab. Memahami sendiri dan menghukumi sendiri dari Al-Qur’an dan hadits, justeru disitulah keangkuhan dan kesombongannya akibat dari kebodohan yang tak tersadarkan. Semakin sadar bermadzhab semakin berhati-hati, jika beragama di jalan yang benar maka itu sebenarnya yang dikehendaki Rosulullah Saw, berarti sama artinya kita selalu ikut Rosulullah s.a.w.
Rangkasbitung, 10/02/22
Oleh: Hamdan Suhaemi
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Editor: Kang Diens