Perlu dibedakan antara Sunnah yang dimaksud ucapan dan perilaku Rasulullah SAW dengan Sunnah sebagai nama hukum dalam syari’at Islam yaitu apabila dikerjakan mendapat pahala dan bila tidak dikerjakan maka tidak berdosa. Terkadang diantara kita umat Islam, tidak membedakannya dari pengertian keduanya. Itu mungkin masih wajar karena istilahnya sama, meski maksudnya berbeda beda.
Dalam tulisan singkat ini ingin mengurai maksud Sunnah sebagai sumber hukum Islam, atau dasar kedua ajaran Islam setelah al-Quran. Tidak membahas soal terminologi Sunnah yang dikaitkan dengan ketentuan hukum, yang kemudian disebut sebagai mahkum bih ( محكوم به ).
Pengertian Sunnah
Saya mengutip beberapa pengertian Sunnah sebagai sumber hukum Islam, atau dasar kedua dalam agama Islam. Dalam kitab al-Ta’rifat, Syaikh Syarif Ali al-Jurjani menjelaskan arti Sunnah.
السنة لغة العادة و شريعة مشترك بين ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير
Artinya: Sunnah menurut bahasa adalah adat kebiasaan, dan menurut syariat dimaksud adalah sesuatu yang timbul dari Nabi SAW baik ucapan, perilaku dan sikapnya.
Berdasarkan penjelasan Syaikh Zakaria al-Anshari al-Syafii, di dalam kitabnya Ghoyatu al-Wushuli, tentang pengertian Sunnah, yaitu.
السنة هي اقوال النبي و أفعاله ومنها تقريره
Artinya: Sunnah adalah sabda Nabi, sikap atau perbuatannya, dan diantara sikap tersebut adalah taqrirnya.
Ulama Ushul Fiqih telah sepakat mengartikan Sunnah adalah sumber hukum Islam utama setelah Al-Qur’an. Sunnah tertuang dan didokumentasikan dalam kumpulan hadis Rasulullah SAW kedudukan Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Jelasnya Sunnah itu ya perihidup Nabi Muhammad SAW itu sendiri.
Kita bisa dapat penegasan arti Sunnah dari Syaikh Abdussalam bin Salim as-Suhaimi, bahwa Sunnah adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan beliau maupun ucapan dan perbuatan sahabat yang tidak diingkari oleh beliau shallallahu alaihi wa sallam (taqriir), atau sifat, baik sifat fisik maupun akhlak (karakter, perangai) atau perjalanan hidup beliau, baik sebelum menjadi Nabi atau setelah menjadi Nabi (Qawa’id At-Tahdiits, Al-Qaasimiy).
Ibnu Rajab juga telah mendefinisikan Sunnah yaitu.
السَّنَةُ هِيَ الطَّرِيقُ المَسْلُوْكُ فَيَشْمُلُ ذَلِكَ التَّمَسُّكَ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخُلَفَاؤُهُ الرَّاشِدُونَ مِنْ الاِعْتِقَادَاتِ وَالأَعْمَالِ وَالأَقْوَالِ.
Artinya: Sunnah adalah jalan yang ditempuh, yang mencakup berpegang teguh dengan ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafa Ar-Rasyidin, baik berupa akidah, perbuatan maupun ucapan (Jaami’ul Uluum Wal Hikam hal.: 262).
Sunnah itu Dalil
Kedudukan Sunnah sebagai dalil atau hujjah dalam syari’at Islam, telah dikuatkan oleh firman Allah SWT, yaitu.
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya (QS. Al-Hasyr: 7).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. An-Nisa’: 59).
Dalam ayat yang lainnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْأَاخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah (QS. Al-Ahzab: 21).
Pembagian Sunnah
Diawal kita sudah tengahkan pengertian Sunnah, yaitu qouliyah (hadits), fi’liyah (perilaku) dan taqrir (sikap) dari Rasulillah SAW. Semua ini diklasifikasi dalam mutu Sunnah itu sendiri, apakah termasuk mutawatir, atau masyhuroh dan atau Ahad.
Mutawatir, adalah Sunnah yang derajat kesahihannya tidak diragukan lagi, betul-betul jelas, lengkap dan asli itu dari Nabi. Kemudian hingga ke kita melewati dari proses sanad dan rawi yang ketat. Lalu mutawatir inilah yang kemudian kita kenal sebagai yang soheh, yakni tingkatan kepercayaan yang tinggi atas Sunnah tersebut, Sunnah yang soheh menjadi dalil dalam beragamanya kita.
Derajat kesahihan Sunnah itu dikatakan masyhur karena perawinya banyak yang meriwayatkan, ini artinya sebagai hujjah atau dalil dalam pelaksanaan hukum Islam atau syari’at Islam. Disamping masyhur ada derajat Sunnah yang disebut Ahad, dan umumnya kita mengenal dengan hadits Ahad. Disebut Ahad karena perawinya terbatas hanya satu secara berkesinambungan dari Rasulillah hingga diterimanya oleh para imam Hadits.
Sedangkan, pada tingkatan kepercayaan atas Sunnah tersebut yang tertinggi adalah soheh, ini karena perawinya banyak, dipercaya, amanah, jujur, adil dan dlobit (kuat ingatan). Sementara Sunnah yang kategori Hasan, adalah keterpercayaan kedua setelah soheh, hanya karena kondisi dlobit tidak dipunyai perawinya.
Dari keduanya ini yang paling rendah tingkat kepercayaanya adalah Sunnah yang dloif atau lemah, karena perawinya tidak bisa dipercaya, tidak pula jujur, tidak adil, culas dan lebih-lebih tidak dlobit. Sunnah atau hadits yang terkategorikan dloif tidak bisa jadi hujjah, tetapi sekedar sumber rujukan untuk keutamaan amal (fadhailul amal) bisa digunakan, tetapi untuk hujjah dari masailul dinniyah tentu yang dipakai adalah soheh atau dibawahnya yaitu hasan.
Penutup
Sunnah dalam kaitan dalil beragama itu tidak sama dengan nama hukum seperti hukum wajib, hukum sunnah, hukum haram, hukum makruh atau hukum mubah. Dengan demikian, paham atas Sunnah Rasulillah SAW adalah ucapan, perilaku dan sikapnya Rasul Muhammad. Maka jangan dikait-kaitkan itu Sunnah Rasul hanya karena untuk endorse marketing produk. Kita sebut perbuatan tersebut jahat dan sesat.
Oleh: Hamdan Suhaemi
Serang 28 Maret 2023
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Idaroh Wustho Jatman Banten
Sekretaris Komisi HAUB MUI Banten
RESIKO PERNIKAHAN SEDARAH DARI KLAN HABIB BA’ALWI DITINJAU DARI SISI GENETIKA
"Saya seorang Muslim dan agama saya membuat saya menentang segala bentuk rasisme. Itu membuat saya tidak menilai pria mana pun...
Read more