Oleh: Kyai Hamdan Suhaemi
A. Apologia
Kata ini saya pilih untuk menggambarkan posisi muslim yang menganut madzhab ahli sunnah wal jamaah yang tinggal hidup dan matinya di Indonesia. Diksi apologia saya runut dari asal usul kemunculannya dan ini kita lihat historisnya dari kata tersebut. Apologia dikenal pertama kalinya saat itu sebagai catatan pidato yang dibuat Socrates di persidangan ketika dia dituduh tidak mengakui dewa-dewa yang diakui negara, menciptakan dewa-dewa baru, dan merusak para pemuda Athena. Namun, ucapan Socrates sama sekali berbeda dengan permintaan maaf dalam pemahaman kita saat ini. Nama dialog berasal dari bahasa Yunani yang berarti pertahanan, atau pidato yang dibuat sebagai pembelaan. Dengan demikian, dalam Apologia, Socrates berusaha untuk membela diri dan perilakunya dan tentu saja tidak meminta maaf untuk itu.
Apologia itu a formal written defense of something you believe in strongly, atau dalam kamus besar diartikan sebagai pengakuan kesalahan atau pembelaan agama. Dalam karya Bernard Lewis The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror, terdapat Kata “apology”, diulas tidak panjang bahwa kata itu dalam istilah Inggris biasanya diartikan dengan “a statement expressing regret for a fault or ofence” atau “a formal justifcation or defence”. Istilah ini diambil dari bahasa Yunani “apologia” yang berarti “speech in defence”.
Dalam bahasa Latin, ada istilah “apologus” yang identik dengan makna “narrative” atau “fable”. Bahasa Latin menggunakan kata “excusatio ” untuk kata “apology” dalam bahasa Inggris, yang artinya identik dengan permintaan maaf atau penyesalan. Istilah “apologia” dalam bahasa Yunani tampaknya lebih tepat menggambarkan isi buku Bernard Lewis ini.
B. Tanah Air Dasar Apologis
Ulama di seluruh Nusantara sejak tahun 1914 sudah punya komitmen tinggi terhadap keutuhan bangsanya. Nasionalisme ini sudah lahir sejak negara ini hidup dalam penjajahan yang begitu panjang dan melelahkan yang mengakibatkan penderitaan rakyat di dalam negerinya sendiri.
Ulama NU di bawah kepemimpinan Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama NU yang lain menggerakkan dan membangkitkan sifat nasionalis pada seluruh elemen masyarakat yang dimulai dari para kiai dan santri. Salah satunya yang dilakukannya adalah saat menerima utusan presiden Soekarno berkaitan hukum membela dan mempertahankan bangsa dan negara bagi warga oleh penjajah. KH Hasyim Asy’ari pun mengatakan wajib ain tanpa pengecualian untuk mempertahankannya. Mulai saat itulah dia mengeluarkan fatwa jargon hubbul wathon minal iman ( cinta tanah air sebagian dari iman ).
Kenapa tanah air menjadi basis dari apologia kita, mengingat ada pengamatan dan penilaian atas fenomena belakangan seperti banyak angkatan muda kita tidak hafal Pancasila sebagai dasar sekaligus philosopische gronslag, tidak paham prinsip dan sikap kebangsaan, diperparah sikap yang lebih mencintai dan membela negara orang lain dari pada negerinya sendiri, terutama adat dan budayanya.
Tujuan apologis ini untuk mengingatkan bahwa kini kita bangsa Indonesia telah kehilangan kebanggaannya sebagai bangsa yang besar, bangsa yang punya harga diri, bangsa yang memiliki kekayaan yang tidak terbatas jumlahnya, kekayaan alam, kekayaan talent, kekayaan intelektual. Indonesia ini negeri besar yang memiliki kekhasan tersendiri, adalah keniscayaan bagi bangsa ini untuk membela dan mempertahankannya sekalipun sampai titik darah terakhir, dan kita teguhkan NKRI harga mati.
C. Tradisi Keagamaan
Muslim di Nusantara adalah mayoritas muslim yang menganut madzhab Ahli Sunnah Wal Jama’ah, dalam bidang aqidah ( Ushuluddin ) mengikuti ijtihad manhaji-nya Imam Abu Hasan Ali al-Asyari. Dalam bidang fiqih ( furu’iyah ) mengikuti ijtihad madzhabi-nya 4 Madzhab yang masyhur dan otentik seperti Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali, diantara 4 itu memilih salah satunya. Sedangkan dalam tasawuf ( adab dan hikmah ) mengikuti ijtihad sufistiknya Imam Junaid al-Baghdadi, Imam Juweni al-Haramain dan Hujjatul Islam Imam al-Ghazali.
Umat Islam yang mayoritas ini, adalah mereka yang dibawah pembinaan ulama NU, dan mereka ada dalam wadah Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan yang disahkan tahun 1928 sebagai organisasi berbadan hukum resmi dan tetap. Ini artinya menjadi tanggung jawab keumatan bagi NU untuk menjaga, membina, mengarahkan umat agar tetap di jalan yang benar sesuai syariat Islam, sekaligus tidak meninggalkan adat dan budaya yang tidak bertentangan dengan syariat.
Menjadi keadaan reaktif dan responsif ketika amaliah umat Islam di Indonesia ini, sudah terganggu oleh massifikasi gerakan dakwah golongan Wahabi, penggerak Ikhwanul Muslimin, dan agen-agen khilafah Islamiyyah yang tergabung dalam HTI yang secara terang-terangan menganulir prinsip-prinsip madzhabi yang sudah sejak abad 15 M ketika para penyebar Islam ( Wali Songo ) menanamkan Islam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah di masyarakat Nusantara. Mereka gemar membid’ahkan amaliah agama yang sudah benar sesuai syariat Islam, karena alasan yang bagi mereka adalah hal itu tidak terjadi di zaman Nabi S.A.W. alasan yang tidak benar namun berani membid’ahkan amaliah kita yang secara dalil sudah tafshili ( terinci dan detil ).
Sikap apologis ini, adalah ketegasan secara komprehensif ( dengan dalil dan harokah ) terhadap tindakan mereka yang kita anggap sebagai kedangkalan memahami Islam, dan ini pun apologia kita untuk mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan diperuntukkan sebagai rahmat bagi alam semesta.
D. Budaya Nusantara
Kebudayaan menurut antropolog Indonesia kenamaan, yakni Koentjaraningrat yang telah menjelaskan tentang kebudayaan sebagai sistem gagasan, rasa, tindakan dan karya yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan masyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Maka berdasarkan pengertian tersebut ini berarti bahwa ada pewarisan budaya-budaya leluhur lewat sebuah proses pendidikan.
Sedangkan pakar sosiologi Indonesia yang kita kenal Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, keduanya menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan hasil karya cipta dan rasa masyarakat. Kebudayaan memang memiliki hubungan yang sangat erat dengan perkembangan di masyarakat. Menurut seorang arkeolog R. Seokmono, budaya merupakan hasil usaha manusia berupa benda maupun hasil buah pikiran manusia selama hidupnya.
Sedangkan menurut Effat al-Syarqawi yang mengartikan budaya berdasarkan sudut pandang Islam, mengemukakan bahwa budaya merupakan khazanah sejarah suatu masyarakat yang tercermin dalam kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan bahwa kehidupan harus memiliki tujuan dan makna rohaniah.
Dalam hal ini kita melihat ada movement ( pergerakan ) secara simultan dan sisitematis yang terus menerus diupayakan oleh kelompok-kelompok muslim modernis ( 4 kelompok Wahabi ) dalam memisahkan budaya dan bangsanya, memisahkan antara kebanggaan dan kepribadiannya sebagai bangsa Nusantara.
menyadari bahwa perkembangan aneka gerakan, kelompok, paham, ajaran, tradisi, dan budaya yang anti-Nusantara ini telah membuat generasi muda bangsa Indonesia melupakan paham, ajaran, tradisi, dan budayanya sendiri serta nilai-nilai luhur para leluhur bangsa. Jika fenomena ini dibiarkan, maka pelan tapi pasti, kelak bangsa Indonesia akan kehilangan jati diri mereka sebagai sebuah bangsa, menjadi bangsa yang asing dengan paham, ajaran, tradisi, dan budayanya sendiri.
Sikap apologis kita adalah melakukan perang mempertahankan budaya dengan kampanye kesadaran kebudayaan Indonesia pada kelompok urban, kaum muda milenial, dan kelompok-kelompok intelektual yang nyaman dalam menara gading. Progresivitas untuk membendung dan mematahkan kampanye hitam mereka lewat medsos tentu dengan membangun jaringan komunikasi yang luas dengan maksud agar terjangkau keseluruhannya.
Kita pun tentu perlu membiasakan berpakaian ala Nusantara, adat istiadat Nusantara yang terus dilestarikan, budaya sopan santun, budaya gotong royong, budaya saling asah asih dan asuh, budaya guyub, budaya jujur, budaya malu. Hingga kita meriahkan dengan adat istiadat dalam pandangan masing-masing agama, terutama kita muslim penting dan harus melestarikan budaya panjang mulud, atau sekatenan, gerebeg Syawal, manaqiban, marhaban, yasinan, haul dan tahlilan.
Nusantara adalah milik kita, maka wajib hukumnya mempertahankannya. Jika nyawa adalah taruhannya, maka itu sangat berarti, daripada kita melihat suatu kehancuran. Kehancuran suatu negeri berasal dari kehancuran budayanya.