(Harapan Rabitah Alawiyah ke Gus Rumail Pupus Berserak di Sahara Mimpi yang Tak Bertepi)
Gus Rumail menulis: “Naskah “Menakar Kesahihan (Argumentasi) Pembatalan Baalawi” rencana akan saya unggah di sini…Tapi untuk sekarang baru proses cetak dulu, dan belum saya jilid juga (kemudian saya kirimkan ke Kiai Imaduddin Al-Bantani). Kalau beliau sudah menerimanya (hard-copy), akan saya unggah untukmu di pranala di atas (soft-copy). Oiya, punya alamat lengkap PCNU Wonogiri, Soloraya, dan Garut (mau saya kirimi sekalian)? …”
Itulah seberkas harapan yang ditebar Gus Rumail untuk para muhibbin Ba Alwi. Kalimat itu, adalah kertas yang dibakar ketika lentera tak mampu lagi menyemburatkan api, karena minyak tanah telah menjadi kering. Berharap padam tak terlalu menimbulkan gelap; Lalu sebentar ia menjadi abu, dan dunia kembali dalam gulita.
Gus Rumail mengunggah sebuah cover dari calon buku yang akan ia tulis, lalu membuat narasi seperti di atas. Penulis teringat beberapa cover kitab yang diunggah untuk membantah kitab penulis: cover kitab Kiai kurtubi; cover kitab Ustaz Wafi; cover kitab Ustaz Zaini. Tetapi kitab-kitab itu bagaikan siluman, wujudnya tiada pernah dapat ditemui hingga saat ini. Ia fana dalam keangkuhan kata-kata; sirna dalam sanubari yang terbebani haya’; lalu ia dilupakan bersamaan dengan derap langkah kebenaran yang semakin tegap perkasa.
Fikiran yang diterjemahkan dalam tulisan, berbeda nilai dari fikiran yang hanya di-lepeh-kan lidah yang tak bertulang. Itulah mengapa ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan adalah “iqra’” (bacalah), bukan “isma” (dengarkanlah).
Kejernihan fikiran, dan rancang bangun logika dalam tulisan, bisa diuji; Kejujuran dan kedustaan terbaca. Apalagi jika ia berbahasa Arab, pengetahuannya dalam ilmu nahwu, sorof, balagah, mantiq, dan kedalaman pemahamannya akan suatu qadhiyyah (proposisi) akan terdeteksi dengan terang benderang. Semakin sederhana bahasa yang dipakai untuk mentranslate apa yang telah difahami dalam suatu bidang pada suatu tulisan, maka semakin terlihat kedalaman penguasaan penulisnya pada bidang itu. Demikian juga sebaliknya.
Contoh, tulisan singkat Gus Rumail di atas. Mungkin akan difahami, oleh pendukung Ba Alwi, sebagai suatu yang bermakna, namun, jika betul-betul difahami, isinya hanya angan-angan saja. Coba perhatikan kalimat Gus Rumail:” Naskah “Menakar Kesahihan (Argumentasi) Pembatalan Baalawi” rencana akan saya unggah di sini…Tapi untuk sekarang baru proses cetak dulu, …”, kalimat itu bukan benar-benar ia telah selesai menulis naskah, itu hanya baru rencana. Ia memberi harapan kepada pendukung Ba Alwi bahwa, kita belum kalah, nasab Ba Alwi masih bisa diselamatkan, nanti akan saya rilis buktinya, kapan? Nanti. Sekarang baru proses cetak dulu. Proses cetak naskah? Bukan, hanya cetak covernya saja.
Perhatikan juga kalimat: ” (kemudian saya kirimkan ke Kiai Imaduddin Al-Bantani)”. Apakah ia telah mengirimkannya, tidak. Sudah tiga hari berlalu, Ia belum mengirimkannya, menurut seorang Kiai yang mengkomfirmasinya, katanya ia belum sempat ke Kantor Post. Apa ia berdusta, wallahu a’lam.
Kemudian perhatikan juga kalimat: “Oiya, punya alamat lengkap PCNU Wonogiri, Soloraya, dan Garut (mau saya kirimi sekalian)? Kalau ada nomor kontak juga bagus, biar konteksnya silaturahmi dan tidak terkesan nyelonong (langsung ngirim berkas).”
Kesannya wow hebat, tulisan yang akan ia kirimkan akan dapat merubah fikiran kesadaran para kiai-kiai NU di Wonogiri, Soloraya, dan Garut, yang telah melarang warga NU untuk mengundang para habib ceramah di wilayahnya. Perlu diketahui, mereka sebenarnya telah memiliki kesimpulan sendiri tentang para habib yang berceramah di wilayahnya, dilihat dari akhlak dan kepribadiannya, bukan hanya karena ada tesis penulis. Ia telah lama terpendam dalam lubuk hati, kemudian terkonfirmasi oleh kajian pustaka penulis dan hasil test DNA.
Kenyataanya, itupun hanya “lepeh ilat sing laka balunge”. Buku untuk PCNU Wonogiri dan lain-lain itu-pun belum dikirimkan.
Dalam statusnya di Facebook, Gus Rumail mengatakan: “…beberapa konten creator masih stagnan dalam membahas itu-itu saja sampai tidak ada hal baru yang layak untuk didiskusikan.” Kenyataannya justru pihak RA dan para pendukungnyalah yang masih stagnan tidak mampu menjawab duabelas pertanyaan penulis. Kok dibalik-balik.
Yang aneh lagi, dan inilah yang membuat penulis menjadi tidak percaya terhadap integritas ilmiyahnya, yaitu ketika Gus Rumail mengatakan:
“Ada pula naskah Al-Iklil yang diolah mereka dengan pemahaman sedikit melenceng, bahwa “Banu Alawi” yang direportase di dalamnya adalah “Banu Alawi” yang asli di Yaman, bukan Banu Alawi yang menurunkan habaib di seluruh dunia. Andaikan mereka mau mengonfrontasinya dengan naskah lain, dari sejarawan yang berbeda, dan edisi naskah yang beragam, pasti akan mendapati bahwa yang benar di sana ialah “Banu Ulwi ibn Alyan”, bukan “Banu Alawi ibn Ayyan” (ada saqt naskh di sana).”
Kata “diolah”, seakan penulis tidak menyajikan kutipannya, siapapun bisa mempelajari kutipan penulis dari al-Iklil tersebut, karena penulis cantumkan kutipannya, dan penulis cantumkan pula halamannya. Semua orang bisa menelitinya juga. Itulah kajian ilmiyah, setiap kita mengklaim sebuah hujjah, maka hujjah itu harus dapat diamati bersama. Tidak seperti Gus Rumail, ketika berdalil, mirip dengan Ba Alawi lainnya, menyatakan pendapat orang, ada dalilnya, tetapi dalilnya tidak disebutkan dari mana, kitabnya apa, juz berapa, halaman berapa.
Seperti kutipan penulis di atas, Gus Rumail menyatakan bahwa kalimat Banu Alawi yang ada dalam kitab al-Iklil itu yang benar adalah Banu Ulwi, bukan Banu Alawi. Dari mana ia mendapatkan kata “Ulwi” itu, sampai berani ia mengatakan itu yang benar, sama sekali tidak menyebutkan dalil. Tidaklah itu semua kecuali hanya membabi buta mempertahankan nasab Ba Alwi walau harus berdusta. Dan itu membuat penulis pesimis, siapa pengganti Gus Rumail nanti jika penulis sudah tidak mempercayai integritasnya. Karena penulis agak malas menanggapi narasi pembela Ba Alwi yang penulis kira tidak membantu Ba Alwi seperti narasi pembela Ba Alwi yang hanya menyandarkan hujjah dengan taqlid buta.
Kedustaan kedua Gus Rumail yang membuat penulis menjadi pesimis adalah tentang al-Maqrizi (w. 845 H.), katanya ia menyebut Ba Alwi sebagai “asyraf Hadramaut”, tetapi ia tidak menyebut di dalam kitab apa, halaman berapa, manuskrip apa, kutipannya mana?
Cara berhujjah itu begini, Gus Rumail! Penulis sampaikan: al-Muqrizi seorang sejarawan asal Mesir Abad ke- sembilan, ia tidak menyebut Ba Alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad saw., ia menyebut Ba Alwi hanya sebagai keturunan Arab dari Hadramaut. Ini menunjukan bahwa Ba Alwi memang bukan keturunan Nabi Muhammad saw. silahkan perhatikan tulisan al-Muqrizi di bawah ini:
قال ابو بريك واخبرني الفقيه المعتقد ابراهيم بن الشيخ عبدالرحمن بن محمد العلوي من قبيلة يقال لها ابا علوي من عرب حضرموت
“Abu Buraik berkata: dan telah mengkhabarkan kepadaku al-Faqih al-Mu’taqad Ibrohim bin Shaykh Abdurrahman bin Muhammad al-Alwi, dari kabilah yang disebut Aba Alwi berasal dari Arab Hadramaut”. (lihat manuskrip al-Thurfat al-Gorbiyyah karya al-Muqrizi h. 9)
Demikian itu berhujjah, jelas disebutkan dalilnya, manuskrip apa, halaman berapa. Jelas disebut Ba Alwi itu hanya orang Arab dari hadramaut, bukan para syarif keturunan Nabi Muhammad saw. dan nama Abdurrahman (kakek Ali al-Sakran) hanya disebut sebagai seorang “saykh” bukan “syarif” atau “sayyid” sebagai penanda ia keturunan Nabi Muhammad saw.
Terakhir, sejak 3 november 2023 sampai saat ini, sudah 50 hari berlalu, duabelas pertanyaan penulis kepada RA tidak bisa dijawab; 4 November 2023 penulis kirimkan pula pertanyaan yang sama kepada Gus Rumail, pun tidak bisa dijawab sampai sekarang. Lalu apa yang hendak muhibbin katakan tentang nasab Ba Alwi itu? Sangat berdosa orang yang mengetahui ada penyusup dalam nasab Nabi Muhammad saw., lalu ia membelanya. Apa yang akan ia jawab ketika bertemu baginda Nabi Muhammad saw. ditepi telaga Kautsar?
Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani