Oleh: Ali Mashar (Alumni Al-Azhar, aktifis NU)
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulilaahi robbil ‘aalamiin. Wassholaatu wassalaamu ‘alaa sayyidil mursaliin, Muhammadinil mab’uuts Rahmatan Lil ‘Aalamiin, wa ‘alaa aalihi wa sohbihi ajma’iin.
Apakah ada kemungkinan seseorang atau sekelompok orang memalsukan nasab?
Dalam sebuah hadis sahih riwayat Bukhari, Rasulullah saw memperingatkan siapapun yang berani memalsukan nasab dengan ancaman “haram surga baginya”.
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
Secara tersirat, hadis ini menunjukkan kemungkinan terjadinya pemalsuan nasab oleh seseorang.
Bukan merupakan hal baru dan aneh jika seorang penguasa, peneliti, maupun orang-orang alim mencurigai klaim kesayyidan seseorang maupun suatu klan tertentu dkarenakan beberapa kejanggalan maupun alasan tertentu lainnya.
Sebagian dari mereka lalu melakukan tindakan tertentu. Sebagian lagi mempublikasikan tulisan hasil penelitiannya lengkap dengan kesimpulan, bahwa klan A, B, atau C, ternyata palsu atau tidak terbukti sebagai dzuriyah Sayyidina Ali dan Sayyidah Faathimah.
Jauh sebelum Kiyai Imaduddin Al-Bantani-melalui tulisan dan ceramah-mengungkapkan keraguan atas klaim kesayyidan klan Ba’alawy Yaman, sudah banyak tokoh maupun peneliti yang mengungkapkan keraguan serupa baik kepada klan Ba’Alawy maupun kepada klan lainnya.
Dalam kitab Al-Istizaadah fii Akhbarissaadah, halaman 1093, disebutkan bahwa Syarif Makkah bernama Syarif ‘Aunurrafiiq, pernah menghukum beberapa orang bermarga Alathas, Assegaf, dan Bafaqih. Mereka semua ini berasal dari klan Ba’Alawy Hadramaut.
Secara spesifik disebutkan bahwa Syarif ‘Aun menghukum seorang baFaqih dengan tigaratus pukulan karena dia berani menikah dengan seorang syarifah.
Syarif ‘Aunurrafiiq juga melarang orang-orang dari klan Ba’Alawy untuk menggunakan gelar sayyid. Dia juga melarang penggunaan gelar sayyid itu pada tulisan atau catatan, baik resmi maupun tidak resmi. Di halaman yag sama juga disebutkan bahwa Syarif ‘Aaun memenjarakan beberapa orang termasuk seorang tokoh dari keluarga Al-Habsyi Ba’Alawy.
Alexander D. Knysh, seorang professor bidang Islamic Studies di Michigan University menerbitkan hasil penelitian berjudul “The Sada in History: A critical essay on Hadramy historiography.” Dalam penelitian yang mengikuti alur versi Hadrami, bahwa Ahmad bin Isa benar-benar hijrah ke Yaman ini, Knysh mengawali kesimpulannya dengan kalimat yang menggelitik.
Pada alinea pertama dari kesimpulan hasil penelitiannya, dia menulis:
“If there is anything in sada historiography that does not cause serious doubt, it is the
accounts of the great wealth of such sada clans as al-‘Aydarus, al-Saqqaf, al-Barr, al-Kaf, al-Shihab, al-‘Atas, Balfaqih and several others as well as the lavish ways…”
Menurutnya, kalaupun ada yang tidak mencurigakan dan tidak meragukan dari historiografi Sadah Hadramy, itu adalah fakta bahwa klan Al-Aydarus, al-Seggaf, Al-Barr, Al-kaf, al-Shihab, Al-Atas, Bafaqih, dan lain-lainnya itu merupakan keluarga kaya raya dan hidup makmur.
Adapun mengenai berbagai aspek dalam sejarah leluhur mereka, dianggapnya kabur dan bahkan sengaja disamarkan. Para penulis Hadrami disebut suka menyembunyikan fakta tentang leluhur mereka yang memegang kekuatan politik dan ekonomi. Alih-alih, mereka selalu menampilkan leluhur mereka sebagai orang-orang yang zuhud.
Artkel ini diterbitkan oleh “Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain & Ireland.” Volume 9 / Issue 02 / July 1999, pp 215 – 222.
Kerancuan sejarah dan ketiadaan otentisitas serta validitas data semacam ini pula yang menjadi pintu masuk dan celah para kritikus-peneliti dalam meragukan validitas kesayyidan klan Ba’Alawy.
Kalangan Syi’ah yang merupakan lawan Sunni, baik secara politik maupun keyakinan, tak lupa ikut meramaikan diskusi tentang validitas kesayyidan beberapa klan dari Yaman yang mengaku sebagai dzuriyah Sayidina Ali dan Sayyidah Fathimah.
Dari kalangan Sunni Wahabi juga tidak sedikit tokoh maupun peneliti yang terang-terangan mengkritik bahkan membatalkan klaim kesayyidan beberapa klan dari Yaman, termasuk klan Ba’Alawy.
Syi’ah ataupun bukan, Wahabi atau bukan, dan apapun motifnya, diskusi mengenai hal ini tetap dilakukan dengan cara yang ilmiah serta menggunakan referensi dari kitab-kitab mu’tabarah.
Dengan menghadirkan argumen serta bukti-bukti yang valid, beberapa peneliti kemudian menyatakan bahwa klaim kesayyidan klan Al-Nahary dari Yaman, Al-Ahdal dari Yaman, klan Alu Sufyan, klan Ba’Alawy dari Yaman, semuanya bathil alias tidak sahih, alias palsu.
Catatan Sor Sawo Ali Mashar*
Tahun 2000-an, ketika netizen Indonesia rajin berdiskusi mengenai banyak hal melalui berbagai macam forum seperti Kaskus, di negara-negara berbahasa Arab juga banyak forum diskusi yang ramai membahas berbagai hal, mulai dari topik keagamaan sampai politik.
Beberapa orang juga sudah mengutip hasil penelitian yang menyebutkan batalnya klaim kesayyidan klan Ba’Alaw dari Yaman.
Argumen yang digunakan dalam membatalkan klaim kesayyidan klan Ba’Alawy tersebut juga sangat ilmiah, berdasarkan referensi kitab-kitab mu’tabarah. Tidak jauh berbeda dengan yang dipakai oleh Kiyai Imaduddin Al-Bantany hari ini.
Sayangnya, setelah sekian lama hasil penelitian itu dibahas, lengkap dengan kesimpulannya; bahwa klan Ba’Alawy Yaman bukan sayyid, tidak ada bantahan ilmiah dari pihak Ba’Alawy maupun lainnya.
Adapun Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy, seorang ulama Sunni Wahabi yang pada masa remajanya merupakan penganut Zaidiyah, meragukan klaim orang-orang yang mengaku sebagai dzuriyah rasulullah saw berdasarkan sebuah hadis sahih.
Dalam hadis sahih riwayat Imam Ahmad, Rasulullah saw bersabda:
أسرع قبائل العرب فناءً قريش
Suku Arab yang paling cepat hilang atau punah adalah Quraish.
Syaikh Muqbil mengungkapkan keheranannya ketika begitu banyak orang mengaku sebagai Ahli bait Rasulullah saw. Padahal Nabi saw sendiri mengatakan bahwa suku Quraish adalah suku Arab yang akan duluan punah.
Keterangan Syaikh Muqbil ini bisa dilihat dalam kitab “Al-Ba’its ‘Ala Syarhil Hawadith” hal. 47.
Kesimpulan batalnya klaim kesayyidan klan Ba’Alawy dan lain-lain dalam banyak diskusi bahkan diperkuat oleh hasil tes DNA yang ternyata menunjukkan bahwa mereka yang mengaku sebagai Ahlul bait dari Yaman itu lebih banyak membawa gen Asia Selatan. Asia Selatan adalah letak geografis yang menunjuk pada beberapa negara seperti India, Bangladeh, Pakistan, Afghanistan dan lain-lainnya.
Hasil tes DNA Najwa Shihab, seorang presenter Indonesia keturunan klan Ba’Alawy juga ternyata menunjukkan hal serupa.
Najwa Shihab yang bermarga Shihab itu ternyata hanya memiliki gen Timur Tengah sebesar 3,4 persen saja. Presentase gen terbesar dalam diri Najwa Shihab jutsru berasal dari Asia Selatan (India dll.) sebesar 48,54 persen. (Kompas.com 18-10-2019)
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin orang yang disebut sebagai keturunan Rasulullah saw, hanya memiliki 3,4 persen gen Timur Tengah (Arab). Padahal klan-klan yang mengaku sebagai Ahlul bait nabi itu sangat keras memberlakukan aturan kafa’ah dalam pernikahan.
Dengan aturan ketat kafa’ah itu, mestinya gen Arab sangat terjaga dan akan tetap mayoritas di dalam darah mereka.
Jika dengan aturan ketat kafa’ah yang mereka terapkan menghasilkan preservasi gen Asia Selatan, maka ada kemungkinan besar bahwa sejak awal mereka memang berdarah Asia Selatan, bukan Arab.
Mungkin ada baiknya juga orang-orang yang sering membanggakan nasab dan mengklaim sebagai cucu Rasulullah saw, seperti pak Bahar bin Smith dan lain-lainnya melakukan tes DNA sekedar untuk mengetahui seberapa besar gen Arab atau Timur Tengah ada di dalam dirinya.
Berikut ini beberapa argumen yang dipakai dalam diskusi-diskusi di berbagai forum yang menghasilkan kesimpulan batalnya klaim kesayyidan klan Ba’alawy.
Klan Ba’Alawy Yaman mengaku sebagai keturunan ‘Alawy bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir.
Masalahnya kitab-kitab nasab dan sejarah era awal yang dekat dengan masa Ahmad bin Isa tidak ada yang menyebut bahwa Ahmad bin Isa memiliki putra bernama Ubaidillah.
Sebaliknya, Al-Fakhrur Razi dalam kitab Al-Syajarah al-Mubarokah menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa memiliki keturunan melalui tiga jalur saja, yaitu Muhammad, Ali dan Husein. Tidak ada disebutkan nama Ubaidullah.
Para ahli nasab lainnya seperti Ibnu ‘Anbah dalam ‘Umdatut Tholib”, Syarif ibn al-Thaqtaqi dalam “Al-Ashiliy”, Al-‘Ubaidiliy dalam “Al-Tadzkiroh”, juga tidak menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa memiliki putra bernama Ubaidillah.
Bahkan catatan modern seperti kitab “Al-Jaridah fi ushuli Ansabi al-‘Alawiyin” karya Sayid Husein Al-Zarbathiy (Syi’ah) juga tidak menyebut bahwa Ahmad bin Isa memiliki keturunan bernama Ubaidillah.
Beratus-ratus tahun kemudian baru ada sumber yang menyatakan keberadaan orang bernama “Abdullah” bukan “Ubaidullah” sebagai putra Ahmad bin Isa.
Dalam kitab “Al-Suluk fi Thobaqoti al-Ulama wa al-Muluk” karya Al-Sanadi (Ulama abad ke 8 Hijriyah), disebutkan nama Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa. Jadid yang disebutkan ini adalah saudara dari Alawy. Dan Alawy inilah yang kemudian dijadikan nama klan Ba’Alawy.
Penyebutan “Abdullah” bukannya “Ubaidullah” ini juga menjadi pertanyaan. Tokoh sesentral itu, jika memang benar-benar ada, kok bisa salah ditulis namanya, atau berbeda tulisan namanya. Tentu bisa saja orang mengatakan bahwa Ubaidullah adalah bentuk tashghir dari Abdullah.
Tapi kalau bicara data sejarah, tentu harus ada bukti yang menyebutkan perubahan dari Abdullah menjadi Ubaidillah itu sejak kapan, dan bagaimana latar belakangnya. Harus ada di dalam catatakan kitab nasab maupun sejarah.
Klaim hijrahnya Ahmad bin Isa ke Yaman menurut klan Ba’Alawy juga menyisakan tanda tanya besar. Ba’Alawy mengklaim bahwa Ahmad bin Isa mengajak putranya yang bernama Ubaidillah (tokoh yang tidak terbukti benar-benar ada), untuk Hijrah dari Irak ke Yaman. Tapi catatan sejarah mengenai hal ini juga tidak ada.
Kalaupun ada, itu baru muncul beratus-ratus tahun kemudian dalam historiografi Ba’Alawy sendiri.
Sebelumnya saya sebutkan bahwa dalam penelitian Alexander D. Knysh, dinyatakan bahwa historiografi Hadramaut dipenuhi oleh hal-hal yang samar dan tidak meyakinkan.
Bahkan dalam catatan yang lebih bisa dipercaya, misalnya dalam kitab “Mu’jamu al-Masyari’i al-Husainiyah” (Juz 2 hal. 433), disebutkan bahwa Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far Al-Shodiq, melakukan hijrah ke Indonesia. Dari hijrahnya ke Indonesia inilah beliau Ahmad bin Isa digelari Al-Muhajir.
Dalam kitab ini disebutkan bahwa faktor yang mendorong beberapa sayid hijrah sampai ke kepulauan Nusantara hingga Solomon Islands, adalah masalah keamanan dan politik yang membahayakan para sayid di Timur Tengah.
Maka hijrah menuju kepulauan Nusantara bagi sayid Ahmad bin Isa jauh lebih masuk akal dibandingkan menuju Hadramaut yang masih berada di kawasan Arab.
Apalagi keterangan mengenai hijrahnya Ahmad bin Isa ke kepulauan Nusantara ini didukung oleh catatan sejarah yang bisa dipercaya.
Kitab ini juga menyebutkan bahwa rombongan sayid yang berhijrah ke kepulauan Nusantara ini kemudian membaur dengan penduduk lokal dan kawin kemawin dengan penduduk Nusantara.
Sampai sini dulu pembahasan kita. Lain kali disambung lagi.
Untuk sementara ini, klaim Kesayyidan klan Ba’Alawy belum bisa dibuktikan otentisitas dan validitasnya.
Jadi, Pak Bahar bin Smith sayid apa bukan? Habib apa bukan? Ya mawquf dulu. Kalau dia mau tes DNA dan terbukti punya banyak gen Arab dalam dirinya, ya berarti masih ada secercah harapan. Kalau malah gen India yang paling banyak, ya,,, gimana ya.