Secara sederhana bicara etika, tentu bukan hanya di ruang-ruang kaum akademisi, dan di pesta-pesta borjuis, tetapi di ruang publik dimana kondisi tanpa sekat, tanpa tekanan jauh lebih efektif untuk terjalinnya saling menghormati dan saling menjaga bersama sesama anak negeri ini. Etika itu sikap kita bertahan dalam kebenaran.
Etika Nikomakea dipersembahkan kepada anak laki-laki, sekaligus murid Aristoteles bernama Nikomakus. Kelak anak Aristoteles ini menjadi pemimpin pengganti di sekolah yang didirikan Aristoteles yaitu Lyceum, dan karena itu para sejarahwan menganggapnya sebagai orang yang telah mempengaruhi pengumpulan catatan-catatan kuliah Aristoteles.
Substansi pemikiran Aristoteles dalam bingkai etika adalah bagaimana memusatkan perhatian pada pentingnya membiasakan berperilaku bajik dan mengembangkan watak yang bajik pula. Aristoteles menekankan pentingnya konteks dalam perilaku etis, dan kemampuan dari orang yang bajik bagi mengenali langkah terbaik yang perlu diambil.
Aristoteles berpendapat bahwa eudaimonia adalah tujuan hidup, dan bahwa ucaha mencapai eudaimonia, bila dipahami
” terminus technicus ” adalah etika yang dipelajari sebagai ilmu pengetahuan tentang perbuatan manusia. Sementara ” manner and cutom ” artinya etika yang berkaitan dengan tata cara dan adat kebiasaan yang melekat pada diri manusia.
Sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan norma perilaku yang disepakati, dan menjadikan hubungan antara individu dengan individu lainnya memiliki kedudukan yang penting. Yakni, hubungan yang dimaksud akrab kita kenal sebagai istilah pertemanan. Aristoteles tegas mengatakan jika manusia merupakan makhluk yang tidak bisa hidup sendirian.
Aristoteles merupakan salah satu filsuf tersohor yang berasal dari Yunani, dan dari bergudang-gudang pemikiran yang telah disajikan, etika nikomakea merupakan khazanah ilmu yang tidak boleh dilewatkan dengan mengangkat judul bukunya “Aristotetis de moribus ad nicomachum ” yang ditulis dalam bahasa Yunani. Buku Aristoteles tersebut berhasil di terjemahkan oleh Roger Crisp dari bahasa Yunani menjadi bahasa Inggris dengan judul bukunya “Aristotle : Nicomachean Ethics”. Selanjutnya berhasil diterjemahkan kembali .
Dalam bukunya Roger Crisp ” Aristotle : Nicomachean Ethics ” ( hlm. 144), menjelaskan bahwa ” Friendship seems also to hold cities together, and lawgivers to care more about it than about justice; for concord seems to be something like friendship, and this is what they aim at most of all, while taking special pains to eliminate civil con¯ict as something hostile. And when people are friends, they have no
need of justice, while when they are just, they need friendship as well; and the highest form of justice seems to be a matter of friendship.”
Berkait kebangsaan relasinya dengan sistem ketatanegaraan, menurut perspektif Aristoteles ada tiga jenis sistem pemerintahan dalam hubungan antara penguasa dengan rakyat, yakni kerajaan, aristoraksi dan timokratis, menurut Aristoteles dari ketiga sistem ini yang paling baik adalah kerajaan dan yang paling buruk adalah timokratis. Kerajaan memiliki tujuan bagi keuntungan rakyatnya. Seorang raja tidak akan mementingkan dirinya sendiri
dibandingkan kepentingan rakyatnya.
Namun, dalam kerajaan terdapat penyimpangan yakni berupa tindakan tiranik atau kita sebut sebagai istilah tirani. Seorang tiran muncul akibat seorang raja yang tidak baik, yang mementingkan dirinya dibanding kepentingan rakyatnya. Seorang tiran hanya mencari keuntungan dan kebaikan bagi dirinya sendiri. Yang kedua yaitu aristoraksi yakni kekuasaan yang dipegang oleh kelompok kecil, yang diistimewakan atau golongan orang-orang yang berkuasa.
Sistem pemerintahan seperti ini dapat
melahirkan istilah yang diberi nama Oligarki, yakni sikap serakah yang dimana hak-hak bagi rakyatnya diberikan pada diri mereka sendiri,
dari segala sesuatu yang baik bahkan jabatan selalu berada pada orang-orang yang sama. Yang ketiga, timokrasi, kekuasaan dipegang
secara periodik.
Menghindari sistem oligarki dalam kehidupan kebangsaan kita relasinya kekuasaan, tentu akan terjadi ambivalensi ideologis, satu sisi menginginkan, sementara sisi lain mencemoohnya. Hidup hari ini adalah kepastian mewujudkan kebenaran demi keselamatan umat manusia seluruhnya.
Payung dari semua itu adalah etika agama, bukan berarti agama adalah alat kekuasaan, tapi agama ditempatkan menjadi magma spiritual untuk tetap terwujudnya harmoni manusia dan semesta raya. Agar pula kita mengenali bahwa eksistensi manusia akan ternilai bagaimana ketika etika diterapkan.
Wa Allahu A’lam Bishowab
Oleh : Hamdan Suhaemi