Oleh: Akhmad Basuni, M.A.
Banten provinsi merupakan salah satu berkah dari reformasi, karena tokoh Banten berjuang menjadikan daerah otonom sebagai provinsi sudah cukup panjang melewati dua rezim pemerintahan; yaitu rezim orde lama dan orde baru. Sebagai daerah otonom yang lahir di era reformasi tentu ada sejuta harap dalam benak warga Banten, wabil khusus kalangan pesantren.
Jejak pesantren di Banten yang layak jadi cagar budaya, karena merupakan saksi perjalanan juang bangsa masih eksis ada, lengkap dengan tradisi uniknya. Pesantren di Banten merupakan ikon tersendiri, karena Banten merupakan gudang kyai, sementara pesantren sebagai wadah, sekaligus jejaring bagi kyai satu dan lainya. Ini yang dinamakan oleh Zamakhsari Dhofeir sebagai jejaring bagi komunitas pesantren.
Tak jarang dari satu pesantren ke pesantren lain terjalin ikatan baik malalui ikatan guru-murid (sanad keilmuan), disamping ikatan mertua atau menantu.
Ada juga keterkaitan visiting santri, antara satu pesantren dengan pesantren lain. Bentuknya bisa seperti “pasaran” biasanya dalam moment bulan suci, atau setelah idul futri. Ada juga dalam bentuk “berdiaspora” antar alumni pesantren satu ke pesantren lain dalam rangka menambah wawasan bidang keilmuan yang berbeda.
Karena tiap pesantren memiliki khas apesialisasi fan ilmu (disiplin keilmuan). Misalnya pesantren Caringin khusus spesialisasi fiqh Fathul Mu’in. Sementara pesantren Kadu Kawang Spesialisasinya ilmu nahwu yang diulas dalam kitab alfiyah ibn Malik.
Perjalanan nyantri dari satu pesantren ke pesantren lain itu dinamakan “Santri Kelana” Istilah dalam hasil riset Dhofeir.
Dari itu Abuya Dimyati Cidahu orang tua dari Abuya Muhtadi Cidahu Pandeglang pun sempat menjadi santri kelana mulai daerah tatar sunda hingga daerahnya “Bambang Pranowo”. Bahkan Syekh Nawawi al-Bantani di samping wilayah Nusantara beliau berkelana sampai negeri dimana Baitullah berada. Itu semua ditempuh dalam rangka mengkaji berbagai disiplin keilmuan. Sehingga menghasilkan santri unggul yang komprehensif dalam pemahaman keagamaan.
Kembali kepada pesantren sebagai program “primadona” Wahidin Halim. Ini sesungguhnya langkah awal yang patut diapresiasi. Karena bagaimapun pesantren memiliki andil besar terhadap pembentukan character building masyarakat Banten.
Terlebih Banten memiliki motto “iman, takwa dan berakhlakul karimah”. Harapan penulis program primadona pesantren itu tak melulu berupa “recehan”. Melainkan sifatnya terkait langsung dengan peningkatan keadaban pesantren.
Sehingga pesantren mampu menerapkan fiqh thaharah tidak hanya dalam ibadah mahdah, melainkan diterapkan dengan pembiasaan perilaku hidup sehat misalnya. Dari itu wajar jika ada bantuan penyediaan sarana air bersih juga MCK-nya. Atau wakaf kitab kuning bagi santri, juga kyainya.
Jikapun pemangku kebijakan ingin memberikan sedikit penghormatan kepada sang kyai atau guru ngaji Bukankah bisa dianggarkan dengan istilah insentif kyai dan guru ngaji yang distribusinya bisa langsung ke rekening kyai dibayarkan tiap bulan atau per-triwulan.
Itu hanya sebatas catatan, karena warga pesantren se-Banten resah sekaligus gelisah karena dana hibah pesantren bermasalah.
Dana hibah pesantren kok bermasalah? tentu kedepannya pesantren tetap harus jadi prioritas, karena Banten tanpa pesantren akan tercerabut dari sejarah Banten itu sendiri.
Bahkan penulis berandai di era WH ini ada pusat kajian kitab ulama Banten. Sehingga kejayaan era Cicit Sultan Agung Banten terulang kembali, yaitu Banten menjadi pusat peradaban kitab kuning di Nusantara. Sama seperti jayanya nusantara ketika masa kerajaan Ho-Ling dan Salakanagara (terkait dengan Banten pra Islam) kerajaan tertua di Nusantara . Kala itupun menjadi pusat peradaban literasi agama Hindu-Budha.
Tak heran sisa kejayaan Hindu -Budha Nusantara, kini masih bisa kita saksikan yaitu megahnya Borobudur. Ajaran Hindu nusantara merupakan khas Nusantara berbeda dengan Hindu di India. Di India seorang raja dari kasta ksatria, tetapi di Nusantara seorang raja sekaligus resi. Juga ada istilah Sabda pandita ratu.