Keramat telah menjadi kata yang identik dengan yang seram dan horor, selalu berhubungan dengan dunia hantu, mistik dan sinkretis. Padahal keramat adalah perubahan logat dari harusnya kita menyebutnya karomah bukan keramat, perubahan sebutan itu tidak diketahui pasti, asal usul atau latar belakangnya, yang penting keramat yang dimaksud dalam tulisan ini adalah karomah.
Hampir sama kata barokah menjadi berkat atau berkah, hingga orang habis ” ngeriung ” pasti membawa berkat, bentuknya berupa nasi, ikan dan sayuran. Ini sudah jadi tradisi umum di seluruh daerah, cuman mungkin nama berkat bisa jadi tidak ada di Indonesia Timur. Kini berkat jadi lebih spesifik untuk bawaan habis ngeriung, harusnya berkat tetap sama maksudnya dengan barokah.
Leluhur kita begitu cerdas dan bijaksana menggunakan istilah-istilah agar bisa melekat dengan kebiasaan sehari-hari, karena ajaran tidak cukup hanya disampaikan lewat ceramah -ceramah, atau halaqoh ilmiah yang sifatnya doktrin semata, tetapi ajaran agama harus menjadi daging, bahkan jadi nafas kehidupan.
Ada kompromi yang sifatnya sementara antara ulama dulu dalam pengembangan dakwah Islam dengan metoda menyatu dengan kebiasaan, adat istiadat setempat. Hal itu dimaksud agar Islam mendarah daging, bukan lagi diperkuatnya hanya dengan teks-teks ayat. Hasilnya agama dan budaya bertemu di titik yang sama, bukan pada titik yang berbeda. Terwujud sintesa dari proses dialektika sosial dari masa ke masa.
Lalu, keramat yang dimaksud itu bagaimana? keramat itu tampakan perkara di luar adat dari seseorang yang tidak menyeru kenabian, kemudian itu berdasarkan keimanan dan amal yang saleh.
Dalam kitab al-Tarifat ( h.184 ), Imam al-Jurjani mendefinisikan keramat sebagai berikut.
الكرامة هي ظهور أمر خارق للعادة من قبل شخص غير مقارن لدعوى النبوة فما لا يكون مقرونا بالإيمان و العمل الصالح
Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili telah menjelaskan bahwa hakikat karomah bisa dihasilkan melalui jalan istiqamah, sebab istiqamah tersebut harus sampai kepada puncak kesempurnaannya.
Abu Ali Al Jauzajaniy, salah seorang gurunya Imam Bukhori telah menjelaskan.
قَالَ أَبُو عَلِيٍّ الْجَوْزَجَانِيُّ : كُنْ طَالِبًا لِلِاسْتِقَامَةِ ، لَا طَالِبًا لِلْكَرَامَةِ ، فَإِنَّ نَفْسَكَ مُتَحَرِّكَةٌ فِي طَلَبِ الْكَرَامَةِ ، وَرَبُّكَ يَطْلُبُ مِنْكَ الِاسْتِقَامَةَ
Artinya: Abu Ali Al Jurjany berkata:” Carilah olehmu sifat Istiqomah dan janganlah mencari Karomah, karena dirimu cenderung mencari Karomah padahal Tuhanmu menginginkan darimu sifat Istiqomah”.
Jadi seorang hamba bisa mencapai karomah jika sudah melalui proses panjang dari istiqomah dengan dasarnya keimanan yang kuat serta amal perbuatannya yang saleh, tentunya dari proses lama istiqomah tersebut maka karomah yang maksud adalah khoriqul adat yang dianugerahkan Allah S w.t.
Syaikh Abdul Qadir bin Isa membagi hakikat karomah menjadi dua bagian, Pertama, karomah hissiyah yaitu karomah yang dapat dilihat ataupun dapat dirasakan oleh panca indera. Kedua, karomah ma’nawiyah yaitu karomah yang dapat diterima oleh nalar atau akal. Jika ada penyebutan karomah pada diri seorang hamba tetapi akal sehat menolaknya, itu bisa jadi terjerembab pada istidroj atau khurafat.
Ketika karomah yang dianugerahkan Allah kepada walinya, lalu diragukan karena ada kecenderungan khurafat, khayalan, atau ilusi semata. Maka Imam Ibnu Hajar al-Haitami telah menegaskan maksud karomah sebagai yang khususiat dan hak bagi hamba Allah yang saleh.
كرامات الأولياء حق عند أهل السنة والجماعة خلافا لمخاذيل المعتزلة و الزيدية
Karomah wali Allah itu ada dan benar, dan telah disepakati umumnya ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Khadlrotusyaikh Hasyim Asy’ari dalam kitabnya
Duroru al-Muntasyiroh fi Masa’ily tis’ah asyarah, tentang Wali dan Thariqat ( h. 3-4).
يجب علي الولي حتي يكون وليا في نفس الأمر قيامه بحقوق الله عباده علي الإستقصاء والإستفاء بجميع ما أمر به
Artinya : wajib atas wali untuk ia dinamakan wali yang sungguh-sungguh ialah adanya sikap dan perbuatan menegakkan hak-hak Allah ta’ala dengan hak-hak hamba-Nya secara maksimal dan sepenuh-penuhnya dalam hal yang ia diperintahkan untuk melakukannya.
Surat Yunus ( ayat 62-63 ) adalah petunjuk dari kriteria hamba yang dianugerahi karomah, mereka yang disebut Walinya Allah.
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (٦٢) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (٦٣) لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (٦٤)
Artinya: ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa, bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan dunia dan akhirat, tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat Allah (janji). Yang demikian itu adalah kemegahan yang besar( QS.Yunus:62-64 ).
Terdapat petunjuk pula dari surat Al-Ahqof ayat 13-14.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (١٣) أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (الاحقاف:١٤)
Artinya: sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan (QS. Al Ahqof:13-14).
Kemudian khurafat selalu dikait-kaitkan dengan karomah, padahal khurafat itu dongeng belaka, tidak sama dengan karomah, meski ketidaksamaan tersebut berasal dari pijakannya, khurafat tidak berdasarkan istiqomah, tidak juga dikuatkan oleh rasionalitas akal, dan tidak ada qoyyid sama sekali.
Khurafat menurut Ibnu Manzhur dalam kitabnya Lisanul Arab juga menjelaskan makna khurafah dalam hadits dhaif di atas, beliau berkata:
أَن يريد به الخُرافاتِ الموضوعةَ من حديث الليل، أَجْرَوْه على كل ما يُكَذِّبُونَه من الأَحاديث، وعلى كل ما يُسْتَمْلَحُ ويُتَعَجَّبُ منه
Artinya: Yang dimaksud khurafat dalam hadits di atas adalah cerita-cerita malam yang dibuat-buat. Istilah khurafah ini (yang awalnya merupakan nama seorang lelaki) menjadi identik dengan semua cerita yang dusta, yang mengandung kisah-kisah ajaib yang dibumbui”.
الخرافة هي الاعتقاد بما لا ينفع ولا يضر ولا يلتئم مع المنطق السليم والواقع الصحيح
Artinya: khurafah adalah keyakinan tentang sesuatu yang sebenarnya tidak memberikan manfaat atau mudharat, dan tidak sesuai dengan akal yang sehat dan realita yang ada (Madzahib al Fikriyyah al Mu’ashirah, hal. 1186 )
Dengan demikian keramat dan khurafat ibarat air dan minyak tidak bisa sama dan tidak juga dikait-kaitkan meski dalam satu hal. Keramat sudah terang benderang, begtu pula khurafat sudah jelas. Keduanya berbeda jalan ketika keduanya dikaitkan.
Penulis: Kiai Hamdan Suhaemi
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Wakil Ketua GP Ansor Banten
Idaroh Wustho Jatman Banten
Sekretaris Komisi HAUB MUI Banten
Ketua FKUB Kab Serang
Anggota Dewan Pakar ICMI Provinsi Banten