Sejak munculnya polemik nasab kurang lebih satu setengah tahun lalu telah menuai pro kontra sehingga kemunculannya menjadi gejolak sosial, walaupun gejolak belum terlalu besar yang memiliki dampak sosial, ekonomi dan politik Kebangsaan Kita.
Latar belakang gejolak dari caci maki hingga persekusi dikarenakan diskursus ilmiah ini tidak disikapi secara Arif dan bijaksana yang ada hanyalah menampilkan emosi dari panatisme merasa paling benar.
Merasa paling benar adalah akibat pertimbangan kurang, dominasi perasaan lebih besar daripada pertimbangan akal, sementara kurangnya pertimbangan akal itu akibat ilmu yang tidak mengisi ruang pemikiran secara logis, dan akan berakibat mendidihnya darah yang telah dikuasai emosi. Kalau hal ini dibiarkan akan mengeraskan hati dan membutakan mata hati untuk menolak sebuah kebenaran yang Allah SWT pancarkan kepada siapa saja yang dikehendakinya.
Dari sejak kemunculan polemik nasab, penulis sangat menikmati hasil tulisan ilmiah kyai Imadudin sebagai karya kritik sosial atau boleh dibilang “Kritik Doktrin Keagamaan kaum Ba’lawi Terhadap Muslim Nusantara“.
Belakang, diskursus ilmiah yang harusnya menjadi khazanah keilmuan malah disikapi secara emosi dan saling serang dimedia sosial antar kubu bahkan pendukung balawi mulai terindikasi melakukan persekusi terhadap pendukung kyai Imadudin.
Ironisnya, saling serang dengan caci maki hingga persekusi para pro ba’lawi terhadap pendukung tesis kyai Imadudin dilatarbelakangi oleh ketidak pahaman mereka dalam mengisi ruang-ruang kosong lamunannya dengan mengikuti alur pembahasan, kemalasan menelaah dan enggan membaca terhadap kritik sosial yang telah jadi tradisi budaya atas doktrin keagamaan yang turun-temurun dianggap mapan walaupun menyimpang, tentu doktrin yang telah berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun tersebut akan menjadi sulit menerima pemahaman baru yang datang sebagai kritik yang telah menjadi penyimpangan prilaku.
Memang ilmu nasab ini adalah suatu disiplin ilmu baru yang belum ada mata kuliahnya dan pelajarannya di lembaga pendidikan baik di sekolah maupun di pesantren, terlebih lagi yang dipermasalahkan adalah budaya dan tradisi, yang telah dianggap sebagai kepercayaan dan keyakinan ditengah masyarakat yang langsung bersentuhan terhadap pengakuan dan kecintaan terhadap Rosulullah SAW.
Sejujurnya, penulis beberapa tahun ke belakang masih mempercayai bahwa habaib memiliki ketersambungan nasab sebagai dzuriyah Rosulullah, namun sejak 2013 perhatian kepada para habib mulai diragukan, apalagi sering terjadi persekusi yang dilakukan Front Pembela Islam terhadap pihak yang disinyalir melakukan pelanggaran dan kemaksiatan, puncaknya saat pimpinan FPI berstatemen mencaci-maki KH.Abdurrahman Wahid sebagai orang yang “Buta mata dan Buta hati” caci maki ini menurut kami sangat menyakitkan tanpa terlebih dulu tabayun ke Gusdur padahal kalau Gusdur mau, FPI sejak beliau menjabat sebagai kepala negara bisa saja dihabisi, tapi tidak untuk Gusdur beliau hanya menanggapi tidak serius hanya dengan canda dan guyonan saja.
Kekonyolan Hb.Rizik Shihab dan pendukungnya makin menjadi-jadi ketika ide gagasan pemikiran Islam Nusantara diangkat oleh NU dan seringnya KH.Said Aqil Siraj menyampaikan tentang Tipologi, dan kekhasan Islam Nusantara sehingga menjadi Tema Mukhtamar NU di Jombang 2015 silam.
Kegalauan Rizik Shihab dan para pendukungnya terhadap gagasan Islam Nusantara tanpa tabayun terlebih dahulu, makin melahirkan kelompok jalanan sehingga pemetaan gerakan mereka mengarah ke gerakan politik puritanisme, kondisi ini makin diperparah kasus Pilkada Jakarta saat Basuki Cahya Purnama mengupas ayat tentang kepemimpinan, almaidah ayat :51 yang dimaksudkan ayat suci Alquran tersebut hanya digunakan utk kepentingan politik dan kelompok saja, lalu ucapan Basuki purnama tersebut menuai kecaman dan protes dari kelompok intoleran yang dikomandoi FPI, akhirnya calon kepala daerah dari klan balawi yang diusung Rizik Shihab bernama Anis Rasyid Baswedan berhasil menjabat sebagai Gubernur Jakarta, padahal setelah terpilihnya Anis Baswedan sama sekali tidak memberi perubahan lebih baik wajah ibu kota Jakarta, dan lucunya Anis mencalonkan lagi sebagai presiden pada pemilu 2024 lalu, ini pun masih memberi bekas kekhawatiran terjadi gesekan akibat politik identitas Pilkada Jakarta, Bahkan disinyalir kelompok mereka ada dibelakang pendukung Anis baswedan.
Kembali kepada masalah nasab, untuk menyikapi polemik tersebut sepatutnya kita kembali kepada semangat keilmuan dan semangat kebersamaan, dengan semangat keilmuan bagi yang kontra dengan kyai Imadudin dengan pikiran jernih akan siap menjadi pembanding dalam menjawab tesisi kyai Imadudin tersebut, dan bagi pihak yang pro kyai Imadudin pun harus siap secara elegan menjawab tanggapan pendukung ba lawi hingga pihak-pihak ilmuan yang punya kapasitas memahami kajian nasab dari habaib siap berargumen secara resmi dengan kyai Imadudin Utsman.
Penulis menilai dan berharap, yang layak tampil dalam menghadapi debat nasab untuk melawan KH.Imadudidin DKK adalah hanya 4 orang saja, yaitu : Hb.Taufik Assegaf (ketua Robithoh Alawiyah) Hb.Luthfi bin Yahya (Pihak yang diduga banyak telah memalsukan makam tokoh dan diduga melakukan penyimpangan sejarah), dan Hb.Rizik Shihab, ( pihak yang bertanggungjawab melontarkan ucapan kewajiban Ter DNA), dan Bahar Smith (pihak yang melontarkan ucapan keturunan Walisongo terputus dan mengklaim punya darah bersambung ke Rosulullah secara terbuka).
Debat antara fihak kyai Immadudin dengan klan ba’lawi yang diwakili 4 orang tersebut di atas harus dipasilitasi oleh pihak yang netral, mungkin negara harus hadir walau hanya sekedar memberi perlindungan terjadi jalan perdebatan secara sehat, bukan dengan emosi apalagi perlawanan pisik diantara kubu.
Penulis : Ahmad Suhadi
RESIKO PERNIKAHAN SEDARAH DARI KLAN HABIB BA’ALWI DITINJAU DARI SISI GENETIKA
"Saya seorang Muslim dan agama saya membuat saya menentang segala bentuk rasisme. Itu membuat saya tidak menilai pria mana pun...
Read more