Banten identik dengan “Jawara” pun “Santri”. Banten ujung barat pulau jawa, menyimpan sejuta cerita dari klenik hingga kesaktian mandraguna.
Banten dari asal muasal “bantah” atau membantah. Dalam artian berani menolak sesuatu yang dianggap “salah” sekalipun harus nyawa meregang. Karakter orang Banten Non kooperatif pada kezaliman dari itu lebih baik istana hancur lebur daripada jatuh ke tangan musuh.
Banten sebagai negara berdaulat (kerajaan Islam) sempat gemilang pada zamannya, bahkan di generasi kedua setelah sultan Hasanuddin turun tahta. Banten tercatat sebagai kota keadaban sekaligus peradaban. Ini diapresiasi dalam Cerat Centini, banyak pengkaji dari luar Banten, datang untuk mengobati dahaga akan ilmu “pengeweruh” tentang agama pun “kesakten”. Pesantren Karang sebagai pusatnya.
Era Cicit Hasanuddin itu Banten inten terhadap pembentukan karakter building atau pemberdayaan sumberdaya manusia. Hingga tak heran jika manuskrip warisan cendekiawan Banten itu jumlahnya melimpah ruah, yang kini tersimpan di museum negeri kincir angin.
Barat dalam hal ini Belanda, menjajah nusantara tidak serta merta hanya menguras kekayaan negeri nusantara berupa harta benda, tetapi kekayaan intelektualpun mereka boyong. Kaca pandang kolonialisme selalu memandang rendah bangsa pribumi bahkan dianggap bodoh, ternyata memiliki makna secara psikologis warga pribumi minder, disamping secara politis warga pribumi dibuat bodoh.
Tidak boleh sekolah, kecuali kaum ninggrat. Di tambah era dulu yang bisa bersentuhan dengan dunia ilmu pengetahuan memang kaum “borju” anak raja ataupun kaum brahmana.
Tak harus diingkari karena jejak hindu memang nyata ada di nusantara. Santripun sesungguhnya merupakan idiom dari “Shastri”, bahasa sansekerta yang memiliki makna kaum yang membaca, atau dalam hindu mereka yang ahli kitab hindu.
Akses pendidikan era itu mutlak milik kaum bangsawan, sehingga rakyat jelata tetap saja dalam gurita kebodohan sepanjang masa.
Semburat cinta mulai tampak manakala langit jazirah Mekah bak purnama bertabur cahaya. Kala itu terlahir manusia istimewa yang kelak disebut sebagai nabi akhir jaman.
Kemilau cahaya itu, sesuai hukum kecepatan cahaya memancar sampai Banten. Singkat cerita abad ke-13 ajaran Islam secara signifikan telah mengakar bahkan di Jawa berdiri kerajaan Islam.
Islam salah satu kelebihannya tidak mengenal istilah kasta dalam status sosial. Sehingga sekalipun hamba sahaya, atau kaum sudra bisa mulia asalkan berkepribadian luhur dalam tingkah laku.
Dari islam itu sebagai ajaran merubah tradisi “shastri” menjadi santri, tempatnya disebut pesantren bisa diakses oleh semua kalangan baik priyai ataupun rakyat biasa.
Pesantren pada masa itu mirip, mihrabnya era Rasulullah, tempat mendadar kaum cerdik pandai sahabat utama.
Tak heran Santri kala itu merupakan agen of change. Sebut saja tokoh-tokoh pergerakan nasional mereka sebelum mengenyam pendidikan “Londo” adalah santri. Bahkan dalam satu kisahnya beredar riwayat sahih bahwa Soekarno pun pernah Riyadhah Bathin ngelmu di pamuragan Cirebon.
Jadi, Santri dengan pesantrennya adalah sub-kultur yang merupakan warisan leluhur bijak bestari bumi pertiwi bernama Indonesia.
Era Wahidin Halim pesantren masuk program primadona, kenapa primadona, karena selama ini pesantren tradisional hanya dianggap sebagai tempatnya orang-orang terbelakang. Didatangi hanya waktu pemilu untuk mohon do’a restu kyai, atau agar dianggap saleh mendekat kyai dengan buah tangan sarung bertuliskan tiga “huruf”. Hanya sebatas itu pesantren dianggap ada.
Tetapi kini seiring jaman ternyata pesantren dengan segala keunikannya, mampu paling tidak sebagai benteng umat dari rongrongan sampah peradaban pun limbah pemahaman agama parsial.
Ternyata santri mampu dengan mudah terhindar dari faham radikalis. Dari itu pengajian model “liqo” tak pernah mampu mengakar pada mahasiswa yang berlatar belakang pesantren yang mengadopsi kitab kuning ciri khas pesantren nusantara.
AA Bass, bersambung …