Smartphone, kini genggaman wajib setiap orang dari bocah, remaja, dewasa hingga tua dan itu penuh waktu. Fenomena ini menjadi penanda bahwa peradaban telah bergeser ke arah praktis, ada transformasi dari manual menjadi serba digital, dari offline atau tatap muka menjadi online. Sepertinya era digital adalah takdir manusia yang tak bisa dihindarkan, sesuatu yang datang dengan cepat bersamaan kecanggihan teknologi IT, kini pun tengah menuju era metaverse. Sekali lagi future shock tengah melanda kita. Jika kita tidak ikut laju cepat perkembangan itu artinya kita masuk kotak sampah peradaban. Memang mengerikan.
Kata “metaverse” merupakan gabungan kata “meta” dan “universe”. Meta artinya adalah digital sedangkan universe berarti semesta. Saat bergabung, kedua kata ini memiliki makna sederhana yaitu Semesta Digital. Meski terdengar sederhana, Metaverse harus dibedakan dengan dunia digital yang saat ini kita tahu. Dunia digital yang kita tahu saat ini mungkin sejauh penggunaan internet untuk membantu aktivitas kita sehari-hari.
Menurut Valent Budiono bahwa Metaverse adalah dunia nyata yang diciptakan oleh konvergensi virtualitas dan realitas. Dunia virtual ini berinteraksi dengan dunia nyata pada tingkat yang sepenuhnya baru. Metaverse adalah langkah evolusioner berikutnya setelah munculnya internet dan media sosial. Metaverse tidak hanya mengubah cara kita terhubung ke internet, tetapi juga apa yang kita sambungkan ke internet.
Dalam analisa Ramilury Kurniawan, bahwa dunia pendidikan tidak dapat menolak kemajuan teknologi. Justru kita wajib memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut sebagai alat untuk melakukan kegiatan yang positif. Dengan adanya pengembangan metaverse oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa, maka dunia pendidikan mau tidak mau harus menyiapkan diri menyambut teknologi tersebut. Metaverse (jika memang berhasil dikembangkan) akan menjadi dejavu ketika internet dulu juga mulai masuk dalam dunia pendidikan.
Metaverse mungkin akan membuat seluruh aktivitas dalam dunia pendidikan nantinya dapat dilakukan dalam dunia virtual. Sekolah akan dibangun di dunia virtual, kelas-kelas akan terdapat di dunia virtual, pembelajaran dilakukan secara virtual, bahkan administrasi sekolah juga dapat dilakukan secara virtual. Metaverse membuat kita dapat melakukan apa pun tanpa harus bertemu secara langsung. Jika hal ini terjadi, tentu menjadi sebuah disrupsi bagi dunia pendidikan masa kini.
Nasib bangsa ini belum selesai di era 4.0, tiba-tiba sudah masuk pada era 5.0, suatu tekanan peradaban yang sangat cepat, mendorong kita lebih berfikir dinamis dan universalis, karena dunia sudah saling tatap, bukan saling jangkau lagi. One world, adalah target kapitalisme dunia yang semakin merubah wajah dunia, yang tidak lagi saling bertemu. Tapi saling pandang, saling lempar senyum di alam maya. Tragis bagi peradaban manusia yang masih memegang moralitas dan agama. Karena kemajuan Metaverse inilah akan menggeser nilai agamis dan moralis menjadi nilai jual, nilai cuan. Orang akan mengarah pada agnostic, tidak lagi dalam posisi nyaman dalam beragama, seoalah agama adalah belenggu. Ya belenggu hati yang menginginkan damai dan tenang ketika agama selalu menyuguhkan pertentangan, ketika agama sebagai representasi kelembagaan, representasi dari kegelisahan jiwa manusia.
Manusia abad ini, memang unik. Satu hal ingin keluar dari fenomena tanpa mampu menggali noumena-nya, ada pula yang sanggup menggali noumena tapi tidak mampu menterjemahkan pada tindakan-tindakan fenomenalogis. Orang sekarang begitu manja ingin mengalami kenyamanan, tapi ketidaknyamanan yang sering jadi fenomena tersebut tidak serta merta jadi bahan reflektif, bahwa itu adalah kondisi suatu zaman yang sifatnya tidak perrenial.
Pada tahun 1968, sosiolog terkemuka Peter Berger mengatakan kepada New York Times bahwa pada “abad ke-21, umat beragama cenderung ditemukan hanya dalam sekte kecil, berdesakan bersama untuk menolak budaya sekuler di seluruh dunia”. Sekarang setelah kita benar-benar berada pada abad ke-21, pandangan Berger tetap menjadi artikel pedoman bagi banyak sekularis. Para penerusnya tetap bertahan dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa di banyak negara, makin banyak orang menyatakan bahwa mereka tidak beragama. Sungguh ini tantangan yang paling berat menjadi manusia milenial. Padahal agama isinya keimanan yang dipraktekkan melalui perintah agama dan ajaranya.
Jangan sampai era metaverse, justeru menjadi bentangan Maya yang menghalangi manusia untuk meyakini Tuhannya, atau menjadi bias dari sikap kepasarahan manusia pada Tuhannya, dan manusia akan cenderung menghindari pertemuan, akibat peradaban dunia maya dikelola secara virtual. Jika sudah begitu, jauh abad Voltaire, filsuf Perancis abad ke-18 telah menulis “Jika Tuhan tidak ada, maka sangat perlu untuk menciptakannya.” Sungguh ini adalah der teragodie ( tragedi ) manusia.
Membaca zaman serta fenomenanya tidak lagi pada teks-teks tertulis, tapi sudah pada teks-teks 3 dimensi Metaverse. Lalu, bagaimana nasib membaca buku? Masihkah itu dipertahankan sebagai nilai peradaban, ya pasti. Membaca kalimat justeru tengah membaca masa depannya. Percayalah bahwa kondisi zaman mengharuskan kita menjadi pembaca, pelihat dan perubah. Bahkan harus mampu cepat mengimbangi, dan bila perlu menjadi pelaku atas peradaban Metaverse tersebut.
Serang, 26/4/2022
Oleh : Hamdan Suhaemi
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Editor: Kang Diens