Oleh: Imaduddin Utsman Al-Bantani
Otoritas keagamaan dalam Islam dilihat bukan sebagai konstruksi teologis tetapi lebih sebagai konstruksi sosial. Dari sudut itu, ia dilihat lebih sebagai fenomena sosial yang terbangun dari relasi saling mempengaruhi antara realitas sosial di suatu sisi dan keyakinan keagamaan di sisi lainnya. Secara teologis, Islam tidak mengenal otoritas formal dalam agama sebagaimana Agama yahudi dan Agama Katolik. Otoritas lembaga kerahiban dalam Yahudi dan kepausan dalam Katolik mengontrol sedemikian rupa kehidupan dan tafsir keagamaan atas pemeluknya. Sedangkan dalam Islam hal tersebut pada dasarnya tidak ada. Agama dalam Islam merupakan hal yang sangat pribadi. Setiap pemeluk Islam diberi hak yang sama untuk menghayati dan menginterpretasi ajaran agamanya atau mengikuti interpretasi orang lain sesuka hatinya tanpa ada otoritas yang berhak menghakiminya atas pilihannya tersebut. Walau demikian, ia tidak boleh melewati batas-batas rukun iman dan Islam untuk dapat disebut seorang muslim. Ketika tafsir-tafsir keagamaan diadopsi oleh otoritas politik sebagai aturan-aturan sosial, barulah tafsir-tafsir itu memiliki otoritas koersi (memaksa) dan mengikat bukan dalam arti sebagai konstelasi teologis tapi lebih sebagai ikatan sosial politik yang disepakati bersama.
Dalam konteks keindonesiaan, otoritas keagamaan yang terbangun sebagai konstruksi sosial itu diwakili oleh lembaga-lembaga fatwa dari ormas-ormas yang ada semacam NU, Muhammadiyah, MUI dan sebagainya. Selain itu, individu-individu tertentu yang memiliki pengetahuan keagamaan yang dianggap luas; dianggap seorang wali (kekasih Allah) dan dinilai memiliki karomah, karisma dan memiliki hubungan genealogi kepada Nabi Muhammad SAW, juga ditengarai memiliki otoritas persuasif yang kuat terhadap jamaahnya. Fenomena kiai dan habaib ditengah jama’ahnya masuk dalam kategori terakhir ini. jika para kiai mempunyai otoritas persuasif melalui peran-perannya di pondok pesantren dan majlis-majlis ta’lim, para habib (Ba’alwi) membangun otoritas itu dalam majlis-majlis maulid, ratib, salawatan dan haul-haul plus pengakuan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW serta glorifikasi peran-peran leluhur mereka.
Tulisan sederhana ini akan penulis batasi seputar metode dan upaya-upaya habib Ba’alwi dalam membangun otoritas keagamaan, baik di negeri asalnya maupun di Indonesia, dengan instrument utama klaim sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan glorifikasi peran leluhur mereka di masa lalu. kemudian kedua unsur itu kita verifikasi dalam sumber-sumber sejarah yang tersedia berdasar titimangsa historisnya masing-masing.
Metode Klan Ba’alwi Dalam Membangun Otoritas Keagamaan Dalam Living Sunnah Umat Islam
Klan Ba’alwi Membangun Otoritas Keagamaan di Hadramaut
Identitas individu yang memiliki ketersambungan genealogi dengan Nabi Muhammad SAW, menjadi daya tarik tersendiri dalam living sunnah kehidupan keagamaan umat Islam. Ia terkait dengan sebagian tafsir keagamaan yang muncul khususnya dari sekte Syi’ah tentang “orang-orang suci” (para imam) dari keturunan Nabi yang disebut sebagai pewaris kekhalifahan yang sah sepeninggal Nabi. Proposisi yang mirip dengan tafsir keagamaan di atas namun dilatarbelakangi reason teologis yang berbeda terdapat dalam mayoritas madzhab sufi dalam living sunnah Ahlusunnah Wal jama’ah yaitu: kewajiban mencintai Ahlu bait al Nabiy (Ali, Fatimah, Hasan dan Husain) dan anjuran menghormati keturunannya.
Sebagai imigran, Ba’alwi menghadapi kompetisi ketat untuk merebut otoritas keagamaan di Hadramaut yang sejak ratusan tahun silam memiliki prestasi melahirkan ulama-ulama besar dengan otoritas persuasif yang kuat. Untuk interest itu, Ba’alwi memerlukan substitusi dari identitas lama, yaitu mereka bukan hanya ulama tetapi juga sebagai klan yang memiliki konektifitas genealogi dengan Nabi Muhammad SAW. Klaim itu tidak berjalan mulus, ulama-ulama yang mengetahui latar belakang mereka menolak klaim itu. Dalam kitabnya Al Burqat al Musyiqah, Ali al Sakran menggambarkan: adanya orang-orang hasud kepada keluarga mereka yang tidak mempercayai mereka sebagai keturunan Nabi.[1]
Nampaknya, penolakan dari ulama-ulama di abad ke-9 H itu tidak diprasastikan dalam bentuk tulisan. Sementara usaha-usaha pemasaran dan peyakinan dari klan Ba’alwi bahwa mereka keturunan Nabi ditulis dalam berbagai kitab mulai abad ke-9 H sampai hari ini. Yang demikian itu, kemudian membuat kesan sekilas bahwa pada abad ke-9 H itu mereka sudah “syuhroh wal istifadloh” sebagai keturunan Nabi. Kendati demikian, tersisanya ulama di Yaman hari ini yang tidak mempercayai Ba’alwi sebagai keturunan Nabi, adalah sebuah ciri bahwa tradisi ketidakpercayaan itu tetap dirawat oleh komunitas keulamaan tertentu.
Untuk menggapai otoritas keagamaan di Hadramaut, pemasaran dan publikasi terhadap penduduk di sana tentang produk bahwa mereka adalah keturunan Nabi, dilakukan klan Ba’alwi bukan hanya dengan relasi konvensional antara murid dan guru, tetapi juga dengan doktrinasi transcendental- metafisik yang sulit ditagih scientific evidence (bukti ilmyah)-nya. Kita ambil sebuah contoh, Ali bin Abu Bakar al Sakran dalam Al-Burqoh menyatakan bahwa ia mendengar sebuah cerita bahwa ada sebagian orang pilihan telah bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW di atas sebuah bukit di Tarim, lalu Nabi berkata: “Wahai penduduk negeri ini, aku mempunyai titipan untukmu (Ba’alwi) barang siapa membenci mereka maka mereka membenci aku, barang siapa membuat rido mereka maka ia membuat aku rido”.[2] Dengan asumsi cerita khurafat semacam itu terus diungkapkan kepada penduduk Tarim secara berulang-ulang, apalagi jika individu yang mengatakan itu semacam Ali al Sakran yang dikenal sebagai ulama, kita bisa bayangkan kondisi psikis masyarakat awam di Kota Tarim dalam konteks percaya atau tidak percaya bahwa klan Ba’alwi adalah keturunan Nabi.
Dalam teori “Illusory truth effect” (efek kebenaran ilusi. Sekarang popular dengan ‘post-truth’) yang ditemukan oleh Lynn Hasher tahun 1997 bahwa: sebuah kebohongan yang terus diulang akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Penelitian psikologi telah menunjukkan bahwa setiap proses yang meningkatkan keakraban dengan informasi palsu melalui paparan berulang atau sebaliknya dapat meningkatkan persepsi kita bahwa informasi itu benar. Efek kebenaran ilusi ini dapat terjadi meskipun menyadari bahwa sumber pernyataan tidak dapat diandalkan, meskipun sebelumnya mengetahui bahwa informasi tersebut salah.[3] Itupula yang terjadi di Indonesia ketika penulis mempublikasikan tulisan penulis bahwa Klan Ba’alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW. Walaupun penulis menyajikan dalil-dalil yang detail, tetapi banyak yang tidak langsung menerima, kenapa? Karena proposisi yang akrab dalam memori mereka bahwa Ba’alwi itu keturunan Nabi.
Klan Ba’alwi Mengkontruksi Klaim Keturunan Nabi di Abad ke-9 H.
Klaim keluarga Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dimulai secara formal pada abad ke-9 Hijriah. Yaitu ketika seorang dari klan Ba’alwi yang bernama Ali bin Abu Bakar al-Sakran (w.895 H.) menulis sebuah kitab berjudul “Al Burqat al Musyiqah”. Dalam kitabnya itu ia mengklaim bahwa dirinya adalah keturunan seorang tokoh keturunan Nabi Muhammad SAW di abad ke-4 yang bernama Ahmad bin Isa (w.345 H.?) dari anaknya yang bernama Ubed. jarak antara Ali al Sakran yang wafat di akhir abad ke-9 dengan Ahmad bin Isa yang wafat di abad ke-4 adalah 550 tahun. Di antara rentang jarak itu telah banyak kitab nasab dan sejarah yang ditulis namun tidak ada satupun kitab nasab yang menyebut bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubed.
Di antara kitab-kitab nasab yang ditulis di abad 5-9 Hijriah adalah: Tahdzib al Ansab karya Imam Al Ubaidili (w.437 H.)[4], Al-Majdi karya Al-Umari (w. 490 H.)[5], Muntaqilat al Tahalibiyah karya Ibnu Tobatoba (w. 400-an H.)[6], Al-Syajarah al Mubarakah karya Imam Al-Fakhrurazi (w.606 H.)[7], Al-Fakhri fi Ansabitalibin karya Azizuddin Abu Tolib Ismail bin Husain al-Marwazi (w.614 H.)[8], Al-Asili fi Ansabittholibiyin karya Shofiyuddin Muhammad ibnu al-Toqtoqi al-Hasani (w.709 H.)[9], Al-Sabat al Musan karya Ibn al- A’raj al-Husaini (w.787 H.)[10], Umdat al-Talib karya Ibnu Inabah (w.828 H.)[11]. Seluruh kitab itu tidak mengkonfirmasi Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubed seperti klaim Ali al Sakran. Muncul nama Ubed sebagai anak Ahmad bin Isa 550 tahun setelah wafatnya Ahmad bin Isa. adapun beberapa kitab nasab dan sejarah yang menulis Ubed sebagai anak Ahmad bin Isa kesemuanya akan bermuara merujuk kepada kitab Al-Burqah karya Ali al Sakran dari klan Ba’alwi sendiri.
Glorifikasi Leluhur Ba’alwi
Di abad ke-9 dan ke-10, klan Ba’alwi bukan hanya berhasil membangun kontruksi nasab mereka terkoneksi kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi mereka juga telah berhasil membangun kesejarahan leluhur mereka dengan kesejarahan yang luar biasa. Glorifikasi semacam itu urgen dalam rangka melengkapi klaim mereka sebagai keturunan Nabi, di mana nama-nama yang terdapat dalam susunan silsilah antara Ali al Sakran dengan Ahmad bin Isa mencapai 13 nama. Akan nampak aneh jika 13 nama itu dapat diketahui namun kesejarahannya tidak. Orang akan bertanya, dari mana Ali al Sakran mendapatkan nama-nama yang majhul itu.
Adapun silsilah lengkap nasab Ali bin Abubakar al Sakran sampai Ahmad bin Isa, sebagaimana yang ditulis oleh yang bersangkutan dalam “Al Burqat” adalah: Ali (w. 895 H.) bin Abubakar al Sakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi Al Gayyur bin Muhammad (Faqih Muqoddam) bin Ali bin Muhammad (Sahib Mirbat) bin Ali Khaliqosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah (w. 383 H.) “bin” Ahmad bin Isa.[12](w. 345 H.).
Di antara contoh-contoh glorifikasi yang dilakukan oleh Ba’alwi untuk leluhur mereka adalah: kisah-kisah tentang Ahmad bin ‘Isa, bahwa ia seorang “imam” dan ulama. Berita itu tidak terkonfirmasi sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya. Demikian pula ketokohan Ubaidillah. Dalam litaratur ulama Ba Alwi, Ubaidillah ditulis wafat tahun 383 Hijriah. Ia seorang Imam yang dermawan; seorang ulama yang “rasikh” (mendalam ilmunya); guru para ”Syaikul Islam”; pembuka kunci-kunci ilmu yang dirahasiakan; Tiada ditemukan yang menyamainya (di zamannya). Demikian sebagian yang ditulis Ali al Sakran Ba’alwi tentang Ubaidillah hari ini.[13] Anehnya, seorang “Imam Besar”, yang hidup di abad empat hijriah, sejarahnya gelap gulita pada masanya. Tidak ada satu kitab-pun membicarakannya. Ibnu Samrah al-Ja’diy (w.587 H.) yang menulis kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman, tidak menyebut namanya.
Muhammad bin ‘Ali (w.556 H.) yang diberi gelar “Sohib Mirbat” oleh penulis Ba’alwi. Sosoknya ditulis oleh Muhammad bin ‘Ali Khirid Ba’alwi sebagai “imaman mutqinan” (imam yang menguasai ilmu dengan dalam); “wahidu asrihi fi al-ilmi wa al-‘amal” (paling berilmu dan beramal di masanya).[14] Tetapi sosoknya sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama baik ulama nasab maupun ulama sejarah dan “tabaqat” (biografi ulama). Alwi bin Tahir dalam kitab Uqud al-Almas mengatakan bahwa Muhammad “Sahib Mirbat” adalah penyebar Madhab Syafi’I di Hadramaut, Difar dan Yaman dan para ulama-ulama di Mirbat adalah murid-murid Muhammad “Sahib Mirbat.[15] Berita semacam itupun tidak bisa dikonfirmasi oleh sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya. Ibnu Samrah al-Ja’diy (w.587 H.) yang menulis kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman, tidak menyebut namanya.
Berbeda dengan ulama di Mirbat lainnya dari non Ba’alwi, mereka terkonfirmasi kitab-kitab sezaman atau yang mendekatinya, seperti Muhammad bin ‘Ali al-Qol’iy (w.577 H.). Dari tahun wafatnya, kita melihat bahwa Al-Qol’iy seharusnya hidup sezaman dengan Muhammad “Sahib Mirbat”. Dan jika yang dikatakan Alwi bin Tahir benar bahwa seluruh ulama di Mirbat adalah murid Muhammad Sahib Mirbat, maka seharusnya, ketika ulama menyebut Al-Qol’I, mereka juga menyebut gurunya yaitu Sahib Mirbat. Nyatanya tidak. Bahkan sebaliknya, sejarawan Yaman, Al-Janadi, dalam Al-Suluk justru menyebut ulama-ulama di Mirbat itu adalah murid-murid Imam al-Qol’iy, bukan murid Sahib Mirbat.[16] Al-Janadi banyak menyebut nama-nama ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut ada seorang ulama di Mirbat bernama Muhammad “Sahib Mirbat” Ba’alwi.
Begitupula Ibnu Samrah al-Ja’diy (w.587 H.) dalam kitabnya Tabaqat Fuqaha al-Yaman ia menyebut nama Imam al-Qol’iy sebagai ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut nama Muhammad “Sahib Mirbat”.[17] Bahkan, gelar Sohib Mirbat, terkonfirmasi bukan gelar untuk Muhammad bin ‘Ali, tetapi ia adalah gelar yang diberikan kepada Penguasa di Kota Mirbat yang bernama Muhammad bin Ahmad al-Ak-hal al-Manjawi. ia adalah sosok historis yang seharusnya hidup satu masa dan satu kota dengan Muhammad bin ‘Ali “Sahib Mirbat” Ba’alwi. Al-Akhal adalah penguasa terakhir Kota Mirbat dari Dinasti al-Manjawi.
Ibnul Atsir, pakar sejarah abad ke-7 dalam kitabnya Al-Kamil fi al-Tarikh menyebutkan bahwa di tahun 601 Hijriah, Muhammad al-Akhal Sohib Mirbat, digantikan oleh mantan menterinya yang bernama Mahmud bin Muhammad al-Himyari.[18] Sementara Muhamad bin ‘Ali Ba’alwi, namanya tidak dicatat oleh Ibnul Atsir sebagai apapun, dengan gelar ataupun tanpa gelar; dengan disebut ulama ataupun bukan. jika ia benar-benar sosok historis, kemana ia bersembunyi di Kota Mirbat, sampai ulama pengarang kitab sejarah tak mencatatnya, padahal ulama lainnya tercatat dalam sejarah Mirbat?
Keberadaan makam Muhammad bin ‘Ali “Sohib Mirbat” hari ini pun patut kita telusuri keasliannya. Benarkah makam itu ada di Mirbat sejak abad ke-6 Hijriah? Makam Muhammad “Sohib Mirbat” hari ini mempunyai batu nisan dengan ukiran yang bagus. Inskripsi batu nisan itu berangka tahun 556 Hijriyah. Apakah benar batu nisan itu dibuat tahun 556 H? Di Yaman, abad ke enam belum dikenal seni pahat batu. Hal tersebut difahami dari bahwa para raja yang berkuasa di Yaman pada abad enam dan sebelumnya, dari Dinasti Al-Manjawih dan dinasti Al-Habudi, makamnya tidak ada yang berbatu nisan dengan pahatan kaligrafi. Bagaimana “orang biasa” nisannya berpahat indah dengan harga yang mahal, jika rajanya saja tidak?
Raja pertama yang makamnya berbatu nisan dengan pahatan indah adalah Raja Al-Watsiq Ibrahim dari dinasti Rasuli yang wafat pada tahun 711 H.[19] batu nisan itupun bukan produksi Yaman, tetapi di impor dari India. Bayangkan abad ke-8 saja, batu nisan raja Yaman harus di impor dari India, bagaimana duaratus tahun sebelumnya makam Sohib Mirbat sudah mempunyai batu nisan yang sama indahnya. Pada akhir abad ke-8 Dinasti Rasuli kemudian membawa para pengarjin pahat dari India untuk membuat nisan. Dari situlah awal mula banyak raja, ulama dan orang kaya, batu nisannya memiliki pahatan dan ukiran. Hal itu bisa dibuktikan dengan bahan jenis batu yang berbeda antara batu pahatan Raja al-Watsiq dan pahatan batu nisan selanjutnya. Dimana, struktur dan jenis batu Raja Al-Watsiq berasal dari daerah India, sedangkan jenis batu dari nisan lainnya adalah batu lokal dari Yaman. Batu Nisan Muhammad “Sohib Mirbat”, dapat di yakini baru dibuat pada abad Sembilan atau sesudahnya, berbarengan dengan kontruksi nasab Ba Alwi yang secara formal ditulis oleh ‘Ali al-Sakran.
Sejarah Muhammad bin ‘Ali yang kemudian diberi gelar “Al-Faqih al-Muqoddam” oleh penulis-penulis Ba’alwi, kesejarahannya juga tidak tereportase para ulama sezaman. Muhammad Diya’ Sahab dalam Hamisy Syams al-Dahirat menyebutkan tentang Faqih Muqoddam: Ia adalah salah seorang yang paling popular; ia seorang ulama besar yang berhasil mengumpulkan ilmu dan amal; ia adalah ulama yang telah laik berijtihad karena telah mencapai derajat ilmu riwayat dan ilmu logika. Karena itulah ia bergelar “Al-Faqih al-Muqoddam” (Rajanya ahli fikih) dan “Al-Ustad al-A’zom” (guru besar); Tidak ada ulama sebelumnya yang bergelar seperti dia; Ia adalah seorang “Al-muhaddits” (ahli hadits), “Al-Mudarris” (dosen), mursyid tarekat, dan juga seorang “mufti” (ahli fatwa). Ia adalah tempat berlindung bagi orang lain.[20] Lalu, apakah ulama-ulama pada zamannya mereportase sosoknya sebagai sosok kesejarahan yang luar biasa seperti disebutkan itu?
Sayang, sosok Faqih Muqoddam ini sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama sezaman sebagaimana fenomena kesejarahanya hari ini yang kita kenal yang penuh dengan keluarbiasaan. Sosoknya sunyi di tengah masifnya kitab-kitab ulama yang ditulis di masa itu. Jangankan di dunia Islam secara luas, di sekitar Yaman saja, namanya di masa itu tidak terkonfirmasi. Kitab Al-Suluk dan kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman pun tidak menulis namanya. Namanya muncul berbarengan dengan kemunculan nasab Ba’alwi dalam kitab Al-Burqat al-Musyiqat.
Interpolasi dan Moral Ilmiyah Ba’alwi
Metode lain yang dilakukan oleh klan Ba’alwi dalam rangka membangun otoritas keagamaan di Hadramaut dan di tempat diaspora mereka lainnya, adalah dengan menciptakan historiografi leluhur mereka seluar biasa mungkin (glorifikasai) seperti yang telah disebutkan sebelum sub judul ini . Hal itu dilakukan dengan menulis kitab sendiri atau men-tahqiq kitab ulama-ulama masa lalu. Karena kesunyian leluhur mereka dalam literasi masa lalu, mereka melakukan apa yang disebut interpolasi (penambahan/perubahan nasakah asli) terhadap naskah yang mereka tahqiq sebelum diterbitkan.
kajian literasi nasab Ba’alwi yang penulis lakukan mengarah kepada kesimpulan adanya pola dan algoritma dari sebuah kontruksi sejarah yang sengaja diciptakan bukan berdasar fakta sejarah sesungguhnya. Historiografi dari sebuah hipotesa dari sebuah komunitas tertentu yang memiliki irisan dengan interest tertentu, patut dicurigai validitasnya. Yusuf jamalulail men-tahqiq kitab Abna’ al-Imam fi Mishra wa Syam al-Hasan wa al-Husain. Kitab tersebut karya Ibnu Tabataba. Mengenai hari wafatnya pengarang ini, pen-tahqiq atau penerbit memuat dua angka tahun wafat pengarang yang berbeda. Dalam halaman ketujuh disebut wafat tahun 199 H. dalam halaman lain disebut 478 H. Dan dalam cover ditulis tahun 478 Hijriah. Kitab ini bisa disebut palsu karena kitab ini tertulis dengan judul Abna’ al-Imam, namun isinya bukan semata kitab tersebut, namun telah diinterpolasi (tambah) kalimat para penyalin dan pen-tahqiq. Kitab ini isinya telah diinterpolasi oleh 4 orang yaitu: Ibnu Shodaqoh al-Halabi (w. 1180 H.), Abul Aon As-Sifarini (1188 H.), Muhammad bin Nashar al-Maqdisi (w. 1350 H.) dan Yusuf jamalullail (1938 M). Tambahan itu tidak diberikan pembeda, jadi seakan seluruh isi kitab itu karya pengarang yang asli yaitu Ibnu Tabataba. Dalam kitab itu, nama Ubaidillah disebut anak Ahmad. Namun kalimat itu jelas bukan dari kalimat pengarang kitab.
Kitab Tarikh Hadramaut, atau disebut juga kitab Tarikh Sanbal, karena ia karya Syekh Sanbal Ba’alwi (w. 920 H?), didalamnya, diantaranya, menerangkan tentang bahwa Al-Fakih al-Muqoddam adalah seorang “Al-’Alim al-Robbani” (ulama yang menguasai seluruh ilmu), “‘umdat al-muhaqiqin” (tumpuan para ahli tahqiq), dan salah seorang wali kutub. Kitab ini dicetak oleh Maktabah San’a al-Atsariyah tahun 1994 M/1414 H, di-tahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi. kitab ini dicurigai menjiplak dari kitab Tarikh Ibnu Hisan, terlebih Syekh Sanbal adalah orang yang tidak dikenal para ulama, sepertinya naskah tersebut baru saja disalin dan penulisnya tidak hidup pada abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana disebutkan oleh pen-tahqiq, Abdullah Al -Habsyi.
Kitab Al-Baha fi Tarikh Hadramaut, karya Abdurahman bin ‘Ali bin Hisan (w. 818 H), di-tahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi, diterbitkan oleh Darul Fatah tahun 2019. Kitab ini merupakan kronik sejarah Hadramut dari tahun 424 -926 Hijrah, menurut pengakuan pen-tahqiq-nya, dicetak dari manuskrip yang tidak lengkap. Ada beberapa tahun yang hilang, lalu pen-tahqiq melengkapinya dari kitab Tarikh Sanbal yang terindikasi palsu di atas.. Kendati ada pengakuan bahwa kitab yang di-tahqiq-nya itu ada tambahan, tetapi Al-habsyi tidak memberi pembeda mana redaksi asli dari manuskrip kitab Al-Baha, dan mana redaksi yang merupakan tambahan dari pentahqiq. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Fakih Muqoddam wafat tahun 652 H,[21] seakan benar sosok Faqih Muqoddam itu telah dicatat penulis sejarah, tetapi ketika dilihat dalam footnote-nya, Abdullah Al-Habsyi menyatakan bahwa informasi tentang wafatnya Faqih Muqoddam itu tidak disebut dalam manuskrip “hamzah” (أ) karena kertasnya rusak, seakan ia ingin mengatakan bahwa yang berada dalam versi cetak itu berasal dari manuskrip “ba” (ب), padahal tidak ada manuskrip ‘ba’ itu. Manuskrip kitab Ibnu Hisan itu hanya ada satu dan itupun tidak lengkap. Apabila ia pen-tahqiq yang jujur, maka seharusnya ia biarkan tempat itu tanpa tambahan, tidak kemudian ia isi sendiri sesuai dengan kemauan dan kepentingannya. Oleh karena itu, kitab ini tidak bisa menjadi rujukan sebagaimana kitab Abna’ al-Imam.
Kitab Al-Imam al-Muhajir, ditulis oleh Muhamad Dhiya Syihab dan Abdullah bin Nuh. Kitab ini terdiri dari sekitar 244 halaman, diterbitkan oleh penerbit Dar al-Syarq tahun 1400 H/1980 M. kitab ini merupakan biografi dari Ahmad bin ‘Isa yang oleh kalangan Ba’alwi kemudian di berikan gelar “Al-Muhajir”. Kitab ini di awali dengan mengutarakan keadaan Kota Basrah abad ke-4 yang gemilang dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Latar belakang sejarah ini dipetik dari referensi sejarah yang kredibel seperti kitab-kitab karya Ibnu Khalikan, Ibnul Atsir, Al-Mas’udi, Ibnu Jarir, Al-Sayuti dan sebagainya. Tetapi, ketika menjelaskan tentang biografi dari Ahmad bin ‘Isa sendiri, penulisnya tidak mencantumkan refernsi dari mana ia mendapatkan berita itu.
Rupanya, penulis kitab ini sangat bersusah payah mencari sosok Ahmad bin ‘Isa dalam kitab-kitab sejarah atau kitab lainnya. Ketika menemukan nama Ahmad bin ‘Isa, lalu tanpa diteliti lebih lanjut, langsung saja diambil. kesalahan fatal-pun terjadi, ketika mengutip sosok Ahmad bin ‘Isa yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad, penulis tidak teliti, atau pura-pura tidak mengerti, bahwa Ahmad bin ‘Isa al-Alwi yang dimaksud dalam kitab Tarikh Bagdad itu, bukanlah Ahmad bin ‘Isa al-Naqib, tetapi sosok lain, yaitu Ahmad bin ‘Isa bin Zaid. Lalu tentang hijrahnya Ahmad bin ‘Isa ke Hadramaut, penulis kitab ini sama sekali tidak menyebutkan sumber, kecuali dari majalah Al-Rabitah tulisan ‘Ali bin Ahmad al-Athas. Kejadian tahun 317 Hijriah diceritakan oleh orang yang hidup seribu tahun lebih setelah wafatnya, dengan tanpa sumber dari mana ia mengetahui berita itu. Pola penulisan seperti itu, kita jumpai dalam kitab tersebut pada halaman-halaman selanjutnya sampai akhir kitab.
Kitab Gurar al-Baha al-Dhau’I wa Durar al-jamal al-Bahiy, yang lebih dikenal dengan nama kitab Al-Gurar, karya Muhammad bin ‘Ali Khirid Ba’alwi (w. 960 H), diterbitkan oleh Maktabah al-Azhariyah, tahun 2022, tanpa pen-tahqiq. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Ahmad bin ‘Isa hijrah dari Irak ke Hadramaut tahun 317 H. penyebutan itu tidak bersumber referensi apapun. Cerita tentang orang di masa lalu tanpa adanya sumber disebut dengan “dongeng”. Disebutkan pula, bahwa Ahmad bin ‘Isa mengungguli teman-temanya dalam kebaikan, untuk kisah ini dan sebab hijrahnya Ahmad bin ‘Isa, Al-Gurar mengutip dari kitab Al-Jauhar al-Syafaf, kitab karya Abdurrahman al-Khatib yang penulis sebut sebagai kitab yang tidak laik dijadikan rujukan karena penulisnya tidak jelas. Penulisnya, Abdurrahman, disebut wafat tahun 855 H, tetapi dalam kitab-kitab tarajim nama Abdurrahman yang mempunyai kitab Al Jauhar al Syafaf itu wafat pada tahun 724 H.[22] Jika ia telah wafat tahun 724, mengapa dalam kitabnya menceritakan kejadian dan tokoh yang hidup di abad ke-9 H? kitab Al-Gurar, mengenai nasab dan sejarah Ba’alwi, bersumber pokok kepada satu kitab abad Sembilan, yaitu: Al-Burqat al-Musyiqat karya Ali al-Sakran (895 H), ditambah kitab Al-Jauhar al-Syafaf (855 H) yang problematis itu.
Kitab Uqud al-Almas, karya Alwi bin Tahir bin Abdullah al-Haddad, diterbitkan oleh Matba’ah al-Madani tahun 1388 H/1968 M. kitab ini merupakan biografi dari Ahmad bin Hasan al-Athas. Ketika menjelaskan tentang nasab Ba’alwi, kitab inipun mentok kepada kitab Al-Jauhar al-Syafaf . Tidak bisa mencari yang lebih tua agar ketersambungan itu masuk akal.
Ba’alwi Membangun Otoritas Keagamaan di Indonesia
Setelah kita mengetahui upaya Ba’alwi membangun otoritas keagamaan di Hadramaut, sekarang kita lihat bagaimana metode mereka dalam membangun otoritas keagamaan di Indonesia, sejak kedatangan mereka secara masif antara tahun 1880-1943.[23]
Bekerja Sama Dengan Belanda
Abad ke-19 adalah masa gelombang migrasi besar-besaran keluarga Ba’alwi dan imigran Yaman lainnya ke Nusantara. Menurut Jajat Burhanuddin, ini menyusul perubahan kebijakan Kolonial Belanda yang secara perlahan menjadikan wilayah Jawa dan kepulauan lain di Nusantara terbuka bagi pasar internasional. [24] Perpindahan mereka ke Nusantara didorong faktor kemiskinan.[25] Negeri Hadramaut pada akhir abad ke-19 itu mengalami perang saudara antara Al-Quwaiti dan Al-Katiri, mereka memperebutkan kekuasaan di Hadramaut. Bahkan kekayaan Hadramaut tahun 1930 hanya dapat memenuhi kebutuhan seperempat penduduknya. Padahal, penting dicatat, pada tahun itu 20 sampai 30% penduduk Hadramaut tinggal diberbagai Negara Lautan India.[26]
Di Nusantara, mereka bekerja di bidang perkebunan, karyawan pabrik, tukang kebun, kurir dan lain-lain. Selain itu, ada juga yang bekerja pada pemerintahan kolonial Belanda seperti Utsman bin Yahya yang diangkat menjadi mufti (yang bertugas berfatwa) Belanda di Batavia. Untuk membangun otoritas keagamaan di Hindia Belanda para ulama Ba’alwi memilih bekerjasama dengan Belanda. Dari itu, mereka bukan hanya bisa mendapatkan otoritas persuasif dari jama’ahnya, tetapi mereka juga mendapatkan keunggulan dalam kontestasi mereka dengan ulama pribumi, karena mereka ditopang oleh otoritas politik yang koersif (bisa memaksa).
Abad ke-19 adalah abad yang amat melelahkan bagi penjajah di Hindia Belanda. Berbagai macam pemberontakan rakyat silih berganti muncul. Tahun 1810 Kiai Nuriman dari Pasir Puteuy Banten menggerakan pengikutnya untuk memberontak karena protes dibubarkannya Kesultanan Banten; tahun 1811 Kiai Mas Zakaria memimpin pemberontakan dan menguasai hampir seluruh Pandeglang; tahun 1836 putra Kiai Mas Zakaria yang bernama Mas Jebeng mengadakan pemberontakan melawan pemerintah kolonial; tahun 1845 Mas Anom, Mas Serdang dan Mas Andong mengadakan pemberontakan di Cikande Udik.[27] Tahun 1886 terjadi pemberontakan di Ciomas yang dipimpin oleh Arpan dan Muhammad Idris.[28] Tahun 1888 terjadi pemberontakan para kiai dan petani Banten yang terjadi pada hari Senin, 9 Juli 1888 di Cilegon.[29]
Tahun 1821 hingga 1837 meletus perang Padri di Sumatera Barat; tahun 1825-1830 meletus perang Jawa yang dipimpin oleh Sultan Pangeran Diponegoro; pada 15 Mei 1857 meletus pemberontakan yang dipimpin Thomas Matulessy, yang lebih dikenal sebagai Pattimura; perang Aceh terjadi dari tahun 1873 sampai 1912; Pangeran Antasari, putra Sultan Muhammad yang anti-Belanda, memimpin Perang Banjarmasin pada tahun 1889.[30]
Banyaknya pemberontakan itu, mungkin, membuat penjajah menganalisa apa gerangan yang dapat menggerakan mereka untuk memberontak. Setelah menganalisa bahwa banyak pemberontakan itu digerakan oleh otoritas ulama, maka penjajah perlu untuk menciptakan keseimbangan otoritas keagamaan di tengan living sunnah rakyat Nusantara. Di antara solusi itu adalah merekrut ulama yang mau bekerja sama dengan Belanda. Utsman bin Yahya adalah salah satu ulama yang bersedia bekerja sama dengan penjajah itu dengan bersedia menjadi mufti Batavia.
Menurut Jajat Burhanudin, setelah dilantik sebagai pegawai Snouck Hurgronje, Utsman membuat do’a khusus untuk Ratu Belanda, Wilhelmina, seraya memuji “Sang Ratu” dengan menyebut Ratu Belanda itu sebagai “Ratu yang baik”. Doa itu dibacakan tanggal 2 September 1898 di masjid Pekojan setelah solat jum’at. [31]
Doa Utsman bin Yahya untuk Ratu Belanda, Wilhelmina, (Nico J.G. Kaptein, Arnold Vrolijk, Lisbeth Owehand dalam Sayyid Uthman of Batavia [1822-1914]).
Azyumardi Azra dalam “Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal”, menyebut nama-nama para ulama Ba’alwi yang mempunyai sikap yang sama seperti Utsman bin Yahya, yaitu sikap akomodasionis terhadap Belanda. Di antara mereka adalah Abd al-Rahman bin Abu Bakr al-Qadri di Sumba, Abd al-Rahman bin Hamid al-Qadri di Banjarmasin, Abd Allah bin Mashur al-Aidrus di Batavia, Abu Bakr di Palembang, dan Umar al-Habsyi di Surabaya. Ba’alwi dan umumnya orang Hadrami mendukung penguasa non-Muslim di tanah kaum muslim, bahkan di tanah air mereka sendiri, Hadramaut. Sebaliknya, sebagian besar dari mereka dianggap mengabaikan masalah-masalah politik; orang-orang Hadrami di Hindia mengabaikan penindasan Belanda kepada kaum muslim pribumi sepanjang kepentingan mereka tidak dalam bahaya. Mereka hampir selalu memihak Belanda dalam konflik dan perang melawan kaum muslim pribumi. Belanda mempunyai daftar panjang para Ba’alwi terkemuka yang mendukung Belanda dalam upaya menumpas berbagai kerusuhan dan pemberontakan di kalangan kaum muslim lokal di seluruh Nusantara.[32]
Van den Berg menyebutkan, seorang Ba’alwi, Abdurrahman al-Zahir, yang diberikan kedudukan tinggi dalam Kerajaan Aceh, malah bekerjasama dengan Belanda dengan bersedia meninggalkan pasukannya dalam gerilya demi mendapat gajih seumur hidup sebanyak 30.000 Gulden.[33] Menurut ketua pengurus masjid Luar Batang, Husein bin Hasan bin Abu Bakar, tanah yang sekarang kampung Luar Batang adalah pemberian Gubernur Belanda, Van Imhoff, untuk Habib Luar Batang. Selain memberikan tanah, Van Imhoff juga sering memberikan uang kepada Habib Luar Batang yang kemudian diberikan untuk ibunya.[34]
Doktrin Ba’alwi Sebagai Cucu Nabi dan Ahli Bait Serta Kewajiban Mencintai Mereka
Salah satu metode klan Ba’alwi dalam rangka mendapatkan otoritas keagamaan persuasif di Indonesia adalah dengan selalu membawa tema bahwa klan Ba’alwi adalah cucu Nabi. Sebelum atau sesudahnya biasanya pula mereka menyatakan bahwa mereka adalah ahli bait Nabi, kemudian mereka ambil hadits-hadits yang berbicara tentang fadilah ahli bait untuk disubstitusikan kepada mereka. Semisal ceramah Novel al-Idrus yang membaca hadis: “cintailah ahli baitku untuk mencintai aku”, lalu Novel al-Idrus menterjemahkan: “cintailah habib, cintailah putu-putu Kangjeng Nabi, cintailah isteri-isteri Nabi, cintailah keluarga Nabi, cintailah mantu-mantu Nabi, cintailah mertua-mertua Nabi,cintailah keluarga Nabi, lihubbi: karena aku mencintai mereka”.[35]
Doktrin Ba’alwi Bahwa Habib yang Bodoh Lebih Utama Dari 70 Kiai
Keturunan dan murid-murid ajaran Walisongo yang dikenal dengan nama kiai merupakan otoritas persuasif dalam living sunnah muslim di Nusantara. Keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat telah teruji di tengah-tengah masyarakat dalam rangka mengawal pendidikan dan praktik keagamaan umat Islam. Lebih dari itu, kiai juga merupakan andalan umat sebagai penyambung lidah kepentingan umat kepada penguasa atau sebaliknya. Ketika Ba’alwi datang ke Nusantara, tentunya Ba’alwi akan berkontestasi dalam rangka membengun otoritas kegamaan di Nusantara dengan “pemain lama” tersebut. Maka metode lain klan Ba’alwi dalam meraih otoritas keagamaan di Indoneisa adalah dengan doktrin bahwa klan mereka yang bodoh lebih utama dari 70 kiai.
Sebagai contoh dari metode tersebut adalah ceramah seseorang yang mengaku murid Bahar Sumet yang video ceramahnya beredar ia mengatakan: “Satu habib walaupun habibnya jahlun maksudnya bodoh kata Habib Bahar, perbandingannya ukurannya sama dengan 70 kiai yang alim”.[36] Contoh lainnya adalah seorang Ba’alwi yang berceramah dalam bahasa daerah mengatakan yang artinya: “kiai yang menikahi syarifah (perempuan Ba’alwi) namanya tahi (kotoran manusia)”.[37]
Klaim Ba’alwi Sebagai Pejuang Kemerdekaan Indonesia
Metode lain yang dilakukan klan Ba’alwi untuk mendapat otoritas keagamaan di Indonesia adalah dengan klaim-klaim bahwa leluhur mereka mempunyai peran-peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. Semacam ceramah Ali Jindan tahun 2022 yang beredar di media sosial ia menyatakan bahwa: kewajiban memasang bendera di rumah-rumah setiap Agustus adalah fatwa dari Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang; penggunaan bendera merah putih untuk Negara Indonesia itu adalah intruksi Salim bin Idrus al Jufri Palu kepada Bung Karno; lambang Garuda itu dibuat oleh Hamid al-Qadri Pontianak; Pengarang lagu 17 Agustus adalah ciptaan Husain Mutahar; Imam Bonjol adalah Syihabuddin habaib dari kalangan Bin Syihab masih kakeknya Riziq Syihab.[38]
Dari pernyataan itu kenyataannya hanya tentang Husain Mutahar yang benar bahwa ia pencipta lagu 17 Agustus 1945. Sedangkan untuk lainnya tidak benar atau tanpa data apapun. Terkait Hamid al Qadri yang membuat lambang burung garuda, sejarawan senior, Anhar Gonggong, membantah bahwa lambang burung garuda seperti bentuk sekarang ini mutlak karya Hamid al Qadri. Menurut Anhar Gonggong, Presiden Sukarno mengadakan sayembara pembuatan lambang Negara, ketua panitianya adalah Ki Hajar Dewantara. Dalam sayembara itu masuk dua konstestan: Mohammad Yamin dan Hamid al Qadri. Karena karya Yamin ada unsur ke-Jepang-Jepangan maka Presiden Sukarno menerima usul dari Hamid al Qadri, namun hanya berupa rancangan. Akhirnya Sukarno memerintahkan seorang seniman Jogja yang bernama Dullah untuk membuat lambang seperti bentuk yang sekarang kita kenal.[39]
Klaim Ba’alwi Sebagai Pendiri NU
Klan Ba’alwi juga mengklaim bahwa pendiri NU adalah dari Klan Ba’alwi. Menurut seorang klan Ba’alwi yang ceramahnya beredar di media sosial bahwa Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor Bondowoso adalah penggagas Nahdlatul Ulama, tetapi karena ia keturunan Arab, sedangkan aturannya orang asing tidak bisa membuat suatu perkumpulan maka para Ba’alwi bermusyawarah siapa yang akan kita tunjuk sebagai ketua NU, akhirnya tercetuslah K.H. Hasyim Asy’ari.[40] Pernyataan dari salah seorang Ba’alwi ini sama sekali tidak benar. Tidak ada dalam sejarah NU yang telah ditulis oleh para sejarawan NU cerita semacam itu.
Lutfi bin Yahya menyatakan bahwa kakeknya yang bernama Hasyim bin Umar dan Mbah Kholil Bangkalan adalah dua tokoh yang dimintai restu oleh Mbah hasyim Asy’ari sebelum mendirikan NU.[41] Cerita semacam itu bertentangan dengan sejarah berdirinya NU yang dicatat para sejarawan NU. Tidak ada sama sekali cerita Mbah Hasyi As’ari meminta restu kepada kakek Lutfi bin Yahya itu. Hal yang sama dilakukan oleh Ba’alawi lainnya. Bahar Sumet dalam video yang beredar menyebutkan bahwa berdirinya NU atas restu lima habib: Abdullah bin Ali al-Haddad Sange karena beliau guru dari K.H. Hasyim Asy’ari dan Kiai Kholil Bangkalan, Abu Bakar bin Muhsin Assegaf Bangil, Husen al Haddad Jombang, Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gersik.[42] Pernyataan Bahar inipun tidak dikenal sejarah asli berdirinya NU. Ia baru diciptakan.
Klaim-klaim yang tidak konsisten dan berbeda tokoh dari para Ba’alwi itu menunjukan bahwa berita itu tidak benar. Ia hanya klaim yang dibuat untuk tujuan mendapatkan otoritas, hegemoni dan dominasi masa depan Ba’alwi bagi organisasi Islam terbesar di dunia itu.
Klaim Ba’alwi Bahwa Wali Songo Adalah Bermarga Ba’alwi
Walisongo dalam sejarah Indonesia diasosiasikan sebagai penyebar agama Islam pertama di Indonesia. Ia yang memiliki konektifitas dengan walisongo, baik dari sisi sanad ataupun nasab, akan mendapat tempat tersendiri di hati umat Islam Indonesia dan tentu sebagai pelengkap legalitas otoritas. Untuk itu, Ba’alwi memasukan silsilah Walisongo ke dalam keluarga Ba’alwi tanpa dalil. Upaya ini terekam dilakukan pertama kali oleh keluarga Ba’alwi dalam kitab-kitab karya Salim bin Jindan (w. 1969 M).
Dalam salah satu karyanya yang berjudul Raudat al Wildan, Salim bin Jindan menyatakan bahwa Walsi Songo bermarga Azmatkhan Ba’alwi.[43] jika para Ba’lawi seperti Assegaf, Al Idrus dsb berasal dari leluhur mereka yang bernama Ali bin Muhammad Sahib Mirbat, maka Walisongo ini, katanya, adalah dari adiknya Ali yang bernama Alwi ‘ammul Faqih. Data seperti itu ditulis Salim bin Jindan tanpa referensi kitab nasab yang ditulis sebelumnya dalam keluarga Ba’alwi sendiri.
Ketika sebagian keturunan Walisongo ada yang menerima klaim itu, lalu di antara mereka ada yang memasang silsilah leluhur mereka sama seperti para Ba’alwi, keluarga Ba’alwi protes dan menyatakan bahwa Walisongo tidak mempunyai keturunan, dan setiap pengakuan itu tidak dapat diterima karena data mereka tidak tercatat di keluarga Ba’alwi. Puncaknya Maktab Daimi Rabitah Alawiyah (MDRA), lembaga pencatat keluarga Ba’alwi, pun tidak mengakui bahwa Walisongo termasuk Ba’alwi. setelah terputusnya nasab Ba’alwi terungkap, para Ba’alwi berbondong-bondong menyatakan bahwa Walisongo adalah benar bagian Ba’alwi. hal itu dilakukan untuk meredam semakin banyaknya keturunan Walisongo yang percaya bahwa nasab Ba’alwi terputus dan Walisongo bukanlah bagian dari Ba’alwi. sepertinya para Ba’alwi itu tidak mau putus nasab sendirian: jika nasab Ba’alwi terputus, maka nasab Walisongopun harus terputus, karena Walisongo adalah bagian dari Ba’alwi. tujuan lainnya adalah mengadu domba antar para pendukung tesis terputusnya nasab Ba’alwi dan sebagian keturunan Walisongo yang masih ragu dengan nasabnya ke atas.
Klaim Bahwa Indonesia Milik Awliya Tarim
Salah satu upaya klan Ba’alwi untuk meraih otoritas keagamaan di Indonesia adalah klaim bahwa Indoensia ini adalah “bintu Tarim” (anak Kota Tarim); Indonesia adalah milik awliya Tarim. Pernyataan ini dikemukakan oleh seorang klan Ba’alwi yang bernama Hasan Ismail al Muhdor.[44] Hal yang senada diungkapkan oleh Jindan bin Novel, ia menyatakan: Indonesia ini anak dari Hadramaut.[45] Upaya hegemoni psikologis ini berbahaya. Di masa depan jika pernyataan semacam ini tidak mendapat sanggahan, maka generasi Indonesia akan selalu berada dalam bayang-bayang Ba’alwi. Bahkan Ba’alwi mulai memperkenalkan lagu pemujaan untuk Kota Tarim dan dinyanyikan oleh jama’ah Ba’alwi yang orang Indonesia asli.
Klaim Makam-Makam Tua dan Tokoh Nusantara Sebagai Bagian Ba’alwi
Cara lain Ba’alwi dalam membangun otoritas dan hegemoni keagamaan di Indonesia adalah dengan mengklaim makam-makam tua dari tokoh-tokoh Nusantara sebagai bagian dari keluarga mereka. Contoh kasus ini adalah tokoh KRT.Sumodiningrat yang diklaim oleh Lutfi bin Yahya sebagai Hasan bin Toha bin Yahya, kakek buyutnya. Seorang wartawan yang bernama Agung Purwandomo telah menelusuri kasus ini. Dalam laporannya ia menyatakan KRT. Sumodiningrat wafat dalam perang Sapehi tahun 1812; ia buka habib (tapi orang Jawa asli) dan makmnya ada di Jogjakarta.[46] Menurut Lufi KRT. Sumodiningrat adalah Ba’alwi dan makamnya berada di Semarang.
Di Semarang, Lutfi kini membangun makam KRT. Sumodiningrat dengan megah dilengkapi fasilitas parkir yang luas. Walau keluarga besar Kraton Jogja telah memprotes dengan data kraton dan kesaksian berita Koran dari Inggris, namun nampaknya Lutfi tidak merespon. Anehnya, Lutfi bin yahya, selain mengklaim makam di Semarang sebagai makam kakek buyutnya yang bernama Hasan bin Toha, ia pula ternyata mengklaim makam Mbah Keramat di Comal Pemalang sebagai makam Hasan bin Toha pula. Bahkan menurut masyarakat setempat, Lutfi telah mengambil batu nisan yang sebelumnya terdapat di atas makam itu dengan alasan untuk diteliti.[47]
Contoh kasus lainnya adalah makam Gajah Barong di Tigaraksa Tangerang. Makam ini dikenal masyarakat setempat sebagai pengawal Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Tetapi menurut Lutfi bin Yahya makam itu adalah makan Husen bin Toha bin Yahya, adik dari Hasan bin Toha bin Yahya. Jika Hasan bin Toha yang makamnya di Semarang bergelar “Singa Barong”, maka Husen bin Toha bin Yahya bergelar “Gajah Barong”. Ketua Balai adat Tangerang, Raden Ali Taba Raksanagara, mengungkapkan bahwa nama Habib Husen bin Yahya mulai disematkan kepada Syekh Gajah Barong bermula pada tahun 2018 ketika Lutfi bin Yahya mengunjungi Tigaraksa. Mulai saat itu, nama Syeh Gajah Barong mulai dicatat dalam beberapa situs media online sebagai Husain bin Yahya Ba Alawi. Setelah terjun ke lapangan bertemu dengan Mbah Sango, juru kunci makam Syekh Gajah Barong, Ali Taba mengungkapkan, para penduduk tetap tidak mau menyebutnya Husain bin Yahya Ba Alawi. Pengurus makampun tidak mau mencantumkan nama Husain sebagai alias dari Syekh Gajah Barong, baik di batu nisan, prasasti, atau di pintu gerbang, semuanya ditulis sesuai tradisi kesejarahan masyarakat Tigaraksa yaitu Syekh Gajah Barong.[48]
Menurut pengurus LTN NU Jepara, Murtadlo bin Hadi, sebagaimana dirilis oleh media online Suara NU Jepara, makam-makam lainnya yang di Ba’alwikan oleh Lutfi bin Yahya adalah makam Mbah Daeng di Krapyak Jepara.[49]
Menciptakan Tokoh Baru Dengan Membangun Makam Ba’alwi
Membangun makam yang disebut sebagai ulama masa lalu bisa dipetakan menjadi dua kategori: kategori pertama untuk membangun citra pribadi pembuat; yang kedua untuk membangun citra klan Ba’alwi. untuk kategori pertama seperti laporan wartawan Imam Yuda Saputra dari Solopos. Dalam laporan itu ia mengunjungi sebuah makam di Mateseh Kota Semarang. Menurut juru kunci, Ahmad Susanto, makam itu makam Alwi bin Hasan bin Toha yang ditemukan tahun 2017 oleh cucunya yaitu Lutfi bin Yahya.[50]
Selain membuat makam Alwi bin Hasan, Lutfi juga menemukan dan membangun makam leluhurnya yang lain, Toha bin Yahya, di Semarang. Tidak tanggung-tanggung yang membiayainya adalah pemerintah Kota Semarang. Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengaku, sebelumnya makam ini tidak dikenal.[51]
Tanggal 15 Maret 2017 diresmikan makam seorang Ba’alwi bernama Ahmad bin Aqil al-Munawwar . makam itu ditemuka oleh Lutfi bin Yahya tahun 2016. Disebutkan oleh Lutfi bahwa Ahmad bin Aqil Al Munawwar itu adalah guru dari Kiai Soleh Darat. Makam itu terletak di Desa Jagalan, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Makam itu sebelumnya tidak dikenal bahkan oleh masyarakat Jagalan sendiri.[52]
Menurut Ismail Fajri, Lutfi bin Yahya mengidentifikasi makam-makam kuno sebagai makam wali melalui mimpi dan visi spiritualnya telah berjalan lama. “Beliau sudah banyak membangun kuburan kuno yang sebelumnya tidak dikenali dan mengidentifikasinya dengan identitas baru di berbagai tempat di Jawa, Kalimantan, Batam, dan daerah lainnya,” Karena itu, dalam pandangan Ismail, Lutfi telah melakukan proyek history making atau produksi sejarah. Sejarah dalam konteks ini bukan sebagai peristiwa yang terjadi di masa lalu. Tapi sejarah yang dibuat, dipikirkan, dan dimaterialiasasi.[53]
Penutup
Kewajiban semua rakyat Indonesia adalah menjaga sejarah Indonesia sesuai dengan kesejarahannya di masa lalu. Sejarah tidak boleh di pabrikasi sedemikan rupa demi kepentingan segelentir orang atau suatu klan tertentu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat untuk kita semua. Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani.
[1] Lihat Ali bin Abu Bakar al Sakran, Al Burqat al Musyiqah (Nafaqah Sayyid Ali bin Abdurrahman bin Sahal Jamalullail, Mesir, 1347 H.) h. 122-123
[2] Ali al Sakran…h. 131
[3] https://kumparan.com/zahrotul-muna-linailil-asna-1637062293245648663/the-illusory-truth-effect-ketika-kebohongan-berubah-menjadi-kebenaran-1wypD0npQKl
[4] Ketika menyebut keturunan ‘Ali al- Uraidi, Al-Ubaidili tidak menyebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin ‘Isa. Ia hanya menyebutkan satu anak dari Ahmad bin ‘Isa, yaitu Muhammad. Kutipan dari kitab tersebut seperti berikut ini:
واحمد بن عيسى النقيب بن محمد بن علي العريضي يلقب النفاط من ولده ابو جعفر (الاعمى) محمد بن علي بن محمد بن أحمد ، عمي في آخر عمره وانحدر الى البصرة واقام بها ومات بها وله اولاد وأخوه بالجبل له اولاد
(Tahdzib al Ansab, h. 176)
[5] Dalam kitab itu ia menyebutkan, bahwa di antara keturunan Ahmad bin ‘Isa ada di Bagdad, yaitu dari Al-Hasan Abu Muhammad al-Dallal Aladdauri bin Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Isa. Sama seperti Al-Ubaidili, Al-Umari hanya menyebutkan satu anak saja dari Ahmad bin ‘Isa. Kutipan lengkapnya seperti di bawah ini:
وأحمد ابو القاسم الابح المعروف بالنفاط لانه كان يتجر النفط له بقية ببغداد من الحسن ابي محمد الدلال على الدور ببغداد رأيته مات بأخره ببغداد بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى بن محمد بن العريضي.
(Al Majdi, h. 377)
[6] Dalam kitab itu disebutkan, bahwa keturunan Abi Talib yang ada di Roy adalah Muhammad bin Ahmad al-Naffat.
(بالري) محمد بن احمد النفاط ابن عيسى بن محمد الاكبر ابن علي العريضي عقبه محمد وعلي والحسين.
(Muntaqilat al Talibiyah, h.160)
[7] Dalam kitab itu Imam Al-Fakhrurazi menyatakan dengan tegas bahwa Ahmad bin ‘Isa tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah. Kutipan dari kitab itu sebagai berikut:
أما أحمد الابح فعقبه من ثلاثة بنين: محمد ابو جعفر بالري، وعلي بالرملة، وحسين عقبه بنيسابور.
(Al Syajarah al Mubarakah, h. 111)
[8] Ia menyebutkan satu jalur keturunan Ahmad bin ‘Isa yaitu dari jalur Muhammad bin Ahmad bin ‘Isa. Adapun kutipan lengkapnya adalah:
منهم أبو جعفر الاعمى محمد بن علي بن محمد بن احمد الابح له اولاد بالبصرة واخوه في الجبل بقم له اولاد
(Al Fakhri, h. 30)
[9] Ia menyebutkan satu sampel jalur keturunan Ahmad bin ‘Isa yaitu melalui anaknya yang bernama Muhammad bin Ahmad bin ‘Isa. Kutipan lengkapnya seperti berikut ini:
ومن عقب أحمد بن عيسى النقيب الحسن بن ابي سهل أحمد بن علي بن ابي جعفر محمد بن أحمد
(Al Ashili, 212)
[10] Ia mengatakan bahwa sebagian anak Ahmad bin ‘Isa adalah Muhammad. Ia tidak menyebut ada anak Ahmad bin ‘Isa yang bernama Ubaidillah atau Abdullah. Lihat kutipan di bawah ini:
واما احمد فأعقب وكان من ولده ابو محمد الحسن الدلال ببغداد رآه شيخنا العمري ببغداد وهو مات بأخره ببغداد وهو بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى الرومي وكان له اولاد منهم ابو القاسم احمد الاشج المعروف بالنفاط…
(Al Sabat al Mushan, h. 83-84)
[11] Ibnu Inabah mengatakan:
ومنهم احمد الاتج بن ابي محمد الحسن الدلال بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى الاكبر
(Umdat al Talib, h. 225)
[12] Ali al Sakran…148-149
[13]lihat ‘Ali al-Sakran…h.136 dan Al-Masyra’ al-Rawi juz 1 h.75
[14] Muhammad bin ‘Ali Khirid… h. 131
[15] Alwi bin tahir, Uqud al-Almas (Matba’ah al-Madani, Syari’ al-‘Abasiyah, 1388 H.) juz 2 h.104
[16] Al-janadi…juz 2 h. 170
[17] Umar bin ‘Ali bin Samrah al-Ja’diy, Tabaqat Fuqaha al-Yaman (Dar al-Qalam, Beirut, T.t.) h. 220
[18] Ibnul Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh (]Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1407 H.) juz 10 h. 203
[19] https://www.atheer.om/archives/502179/%D8%A8%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%88%D8%B1-%D9%85%D9%82%D8%A8%D8%B1%D8%A9-%D9%81%D9%8A-%D8%B8%D9%81%D8%A7%D8%B1-%D8%AA%D8%B6%D9%85-%D8%B4%D9%88%D8%A7%D9%87%D8%AF-%D8%AA%D8%A7%D8%B1%D9%8A%D8%AE%D9%8A%D8%A9/
[20] lihat Muhammad Diya’ Sahab dalam Abdurrahman Al-Mashur, Shmsu al-Dahirat, (‘Alam al-Ma’rifat, Jeddah, 1404 H.) h. 77.
[21] Ibnu H’Isan, Al-Baha’ fi Tarikh Hadramaut (Dar al-Fatah, Oman, 1441 H.) h. 125
[22] Dalam literasi karya-karya Ba Alwi, Abdurrahman al-Khatib disebut wafat tahun 855 H. Ia murid Abdurrahman bin Muhammad Maula Dawilah (w. 819 H.), kakek pendiri nasab Ba Alwi, ‘Ali bin Abu Bakar al-Sakran. Al-Khatib, katanya, menulis kitab bernama Al-Jauhar al-Shafaf. Kitab itu berisi tentang keramat-keramat para wali di Tarim. Didalamnya juga tersebut silsilah Ba Alwi. Tetapi, ketika ditelusuri dalam kitab-kitab biografi ulama, nama Abdurrahman al-Khatib dengan sejarah dan masa hidup seperti dalam literasi Ba’alwi itu majhul (tidak dikenal). Tetapi ada nama yang sama yang terdetekasi, dengan ayah dan kitab yang sama. Ia adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman yang wafat tahun 724 H. ia disebut dalam kitab-kitab biografi para ulama seperti Mu’jam al-Muallifin karya Umar Rido Kahhalah, Hadiyyat al-Arifin karya Ismail Basya al-Babani . kedua kitab itu sepakat bahwa Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman ini wafat pada tahun 724 H. bukan 855 H. ia mempunyai kitab bernama Al-Jauhar al-Shafaf. Bedanya dengan literasi Ba Alwi, ia tidak bergelar al-Khatib. Dari situ, maka kitab al-jauhar al-Syafaf versi Ba’alwi itu aneh, jika seorang yang sudah wafat tahun 724, kemudian di dalam kitabnya memuat sejarah tahun 850-an Hijriah.
[23] Lihat Jajat Burhanuddin, Historiografi Etnis Arab di Indonesia, Miftahul Tawbah, Journal Multicultural of Islamic Education, volume 6, h. 132.
[24] Jajat Burhanuddin, Diaspora Hadrami di Indonesia, (Studia Islamika, Vol. V No. 1 1999) h. 188.
[25] Tim Peduli Sejarah Islam Indonesia, Tubagus M. Nurfadil Satya (ed.), Sejarah Ba Alwi Indonesia: Dari Konflik Dengan Al-irsyad Hingga Dengan Keluarga W’Alisongo, (Tim peduli Sejarah Indonesia, Serang) h.29
[26] Jajat, Diaspora hadrami di Indonesia… h. 189
[27] Lihat Hendri F. Isnaeni, Pemberontakan Untuk Memulihkan Kesultanan Banten, dalam https://historia.id/politik/articles/pemberontakan-untuk-memulihkan-kesultanan-banten-DBKlV/page/1
[28] Widya Lestari Ningsih, Nibras Nada Nailufar “Gerakan Sosial Melawan Kolonial Belanda”, dalam https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/23/140000579/gerakan-sosial-melawan-kolonial-belanda?page=all.
[29] Masykur Wahid, Membaca Kembali Pemberontakan Petani Banten 1888 dalam Struktur Giddens, h. 65.
[30] Baladan Hadza Firosya, perlawanan Daerah Terhadap Penjajah Setelah Tahun 1800 dalam https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7011904/6-perlawanan-daerah-terhadap-penjajahan-setelah-tahun-1800
[31] Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia, (Mizan, Jakarta, 2012) h. 180.
[32] Lihat Azumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal ( Mizan, Bandung 2002): hlm. 147.
[33] Lihat L.W.C. Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, judul asli: Le Hadramaut et Les Colonies Arabes Dan I’Achipel Indien (INIS, Jakarta, 1989) h.130-133
[34] Lihat Ari Sandita Murti, Tanah Kampung Luar Batang Hadiah Belanda Untuk Habib Keramat dalam https://metro.sindonews.com/berita/1106821/173/tanah-kampung-luar-batang-hadiah-belanda-untuk-habib-keramat
[35]Chanel Ngaji Asyik, 20 maret 2019 dalam https://youtu.be/p0AY1LMjI9M?si=ZOSK3ic4uGIAUYKa
[36] Chanel Muhammad 6810 dalam https://youtube.com/shorts/9iTgUXSbD3w?si=y_lkrZXPCLKKENGz
[37] Adha Chnael 24 Sepetmber 2023 dalam https://youtu.be/qHJ3uAA3o2c?si=31hgLcbIAgVGmtin
[38] Chanel Syam Kreator 20 Januari 2022 https://youtu.be/VnKuYEV_JCA?si=nmjlLL2zOeASibAo
[39] Chanel KBN Nusantara, 27 Agustus 2023 dalam https://youtu.be/jH4rEFTorng?si=Zc9LLGI-hTX-MmyP
[40] Chanel Sunardi ZM 12 Juni 2023 dalam https://youtu.be/Zr3IiHYIGYA?si=Uxxp-54TlhqHFjaj
[41] https://www.nu.or.id/nasional/habib-luthfi-ungkap-2-ulama-penting-dalam-penentuan-berdirinya-nu-jwVY2
[42] Chanel Ya Habib 1 Januari 2023 dalam https://youtu.be/KF3BafowJpc?si=vhJD1_rTs9UNaVEu
[43] Lihat Salim bin Jindan, Raudlat al Wildan fi Tsabat Ibni Jindan (desertasi Faisal Hamud al Yamani di UIN Jakarta 2020) h. 247
[44] Chanel Pribumi Vocal 5 Juni 2023 dalam https://youtu.be/aKLKLCUd_cE?si=M-P52vCJL6QelQYH
[45] Chanel Al Fachriyyah 23 November 2022 dalam https://youtu.be/QiD4DROBnko?si=uMPp8CnwIgvLsL4e
[46] Agung Purwandono, Mojok.co, Habib Luthfi dan Makam KRT Sumodiningrat: Bukan di Semarang, Makam yang Benar Ada di Jejeran Bantul dalam https://mojok.co/liputan/histori/polemik-habib-luthfi-dan-makam-krt-sumodiningrat/
[47]Ivan Ravsanjani, Kompasiana, Menelisik Makam Mbah Kramat/Sayyid bin Thoha bin Yahya/Syech Jumadil Kubro di Desa Sarwodadi dalam https://www.kompasiana.com/ivanrafsanjani2882/64c214b7633ebc2885376803/menelisik-makam-mbah-kramat-sayyid-binthoha-bin-yahya-syech-jumadil-kubro-di-desa-sarwodadi
[48] RMINUBanten, Balai Adat Tangerang Datangi Makam Syech Gajah Barong Tigaraksa dalam https://rminubanten.or.id/balai-adat-tangerang-datangi-makam-syech-gajah-barong-tigaraksa/
[49] Murtadlo bin Hadi, Suara NU Jepara, SANTRI TAREKAT MENGGUGAT: (“BEDA MBAH MUSTA’IN ROMLI, BEDA HABIB LUTHFI BIN YAHYA”) dalam https://nujepara.or.id/santri-tarekat-menggugat-beda-mbah-mustain-romli-beda-habib-luthfi-bin-yahya/
[50] Imam Yuda Saputra, Solopos, Duh! Makam Kakek Habib Luthfi di Semarang Kurang Terawat dalam https://jateng.solopos.com/duh-makam-kakek-habib-luthfi-di-semarang-kurang-terawat-1644458
[51] Pemerintah Kota Semarang, Bersama Habib Lutfi Hendi Upayakan Pembangunan Makam Habib Toha bin Yahya dalam https://semarangkota.go.id/p/438/bersama_habib_luthfi,_hendi_upayakan_pembangunan_makam_habib_thoha_bin_yahy
[52] Habib Lutfi dan Produksi Sejarah Kewalian Nusantara, Pasca Sarjana UIN Kalijaga Nusantara, dalam http://pps2021.uin-suka.ac.id/id/promosi-doktor-id/gusnam-haris-raih-doktor-ke-662/2-berita-terkini/1120-habib-lutfi-dan-produksi-sejarah-kewalian-nusantara.html
[53] Lihat Habib Lutfi dan Produksi Sejarah Kewalian Nusantara, Pasca Sarjana UIN Kalijaga Nusantara, dalam http://pps2021.uin-suka.ac.id/id/promosi-doktor-id/gusnam-haris-raih-doktor-ke-662/2-berita-terkini/1120-habib-lutfi-dan-produksi-sejarah-kewalian-nusantara.html