Latar Belakang
Sebenarnya kita tidak perlu khawatir melihat perkembangan baik ketika perempuan-perempuan kita berbusana rapih dan berkesan muslimah, tampak anggun serta salehah. Yang terpenting substansi beragama dan beradab diterapkan justru lebih bermakna dari pada lahiriah tampak salehah, nemun jauh dari itu.
Perempuan kita, secara geneologis termasuk ras bangsa-bangsa Timur dengan cirinya kuning, atau putih bersih, bola mata hitam dan rambut hitam lurus. Sedangkan secara teologis perempuan kita lebih agamis daripada bangsa-bangsa lainnya. Sopan santun, welas asih, tepo seliro, baik adalah ciri lain dari perempuan Nusantara.
Potret Dulu
Kembali ke masa lalu, perempuan-perempuan kita ini jika tengah menghadapi kegiatan keagamaan, seperti halnya perayaan hari besar agama, begitu kuat menjaga tradisinya. Bahkan berpakaian pun jika itu muslimah hanya kerudung yang nyampir, kain, dan kebaya.
Kepintaran perempuan dulu seperti membuat kue-kue aneka macam jenis dan warna tidak lantas diwarisi oleh perempuan sekarang yang kecenderungannya selalu ingin yang instan dan serba praktis. Ada pergeseran makna dan budaya tengah terjadi.
Dalam sejarah Nusantara, perempuan tidak hanya sekedar “konco wingking” (teman di belakang) atau pelengkap lelaki saja, tetapi juga menjadi salah satu agen budaya yang memiliki peran sentral dan kontribusi besar dalam menciptakan dan melestarikan produk-produk kebudayaan di masyarakat.
Perempuan juga menjadi bagian dari agen perubahan sosial yang memainkan peran penting di masyarakat. Oleh karena itu tidak heran jika hingga kini, banyak dari mereka yang aktif dan berkontribusi di masyarakat melalui berbagai jalur kebudayaan, politik, ekonomi, pendidikan, seni, dan bahkan agama.
Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia telah menguraikan secara naratif terkait para perempuan NU dulu, yang aktif di muslimat NU atau Fatayat, dan khususnya para “Bu Nyai,” atau istri para kiai, sudah lama menjadi penggerak emansipasi perempuan di bidang pendidikan dan sosial-budaya. Mereka telah lama tampil di ruang publik sebagai aktor yang turut memberi pencerahan dan edukasi kepada masyarakat tanpa ada sekat gender.
Pengaruh Hijrah Kaum Ultra-Konservatif
Menurut Fariz Alnizar, seorang Pengajar Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). Bahwa slogan hijrah, dalam konteks yang dipakai oleh kalangan beragama di perkotaan, belakangan justru banyak digaungkan untuk membentengi diri dari mereka yang dianggap belum berhijrah, menciptakan gugusan ” kami ” yang berdiri di seberang ” mereka “.
Hijrah justru tidak membuat mereka menjadi toleran, malah sebaliknya menjadi intoleran terhadap yang berbeda. Dalam konteks kata hijrah, kita menyaksikan implementasi yang cenderung kontraproduktif dengan makna konseptual yang diharapkan.
Bagaimana Pandangan Agama
Zaitunah Subhan, telah menarasikan soal-soal perempuan, terutama yang berkait dengan hukum Islam ( fiqih ), dalam bukunya Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, menjadi suatu obsesi baginya untuk melakukan perubahan manhaj al-fiqh dari “tekstual-normatif” ke “kontekstual progresif”.
Fiqh pemberdayaan perempuan bukanlah sebuah produk fiqh yang lepas dari sumber normatif ajaran Islam, yaitu al-Quran dan al-Hadits, tetapi justru menempatkan ide universal al-Quran dan al-Hadits dalam kerangka yang sebenarnya, berupa memposisikan perempuan secara proporsional dalam kerangka fiqih.
Konsep dan definisi mar’ah shalihah dalam budaya dan dalam Islam yang sering kali pemaknaannya menelorkan ketidakadilan terhadap perempuan. Domestifikasi peran perempuan yang terjadi cukup lama dan menjadi dominan di hampir semua budaya yang ada, pada gilirannya berproses menjadi sebuah pembenaran yang berkelanjutan.
Domestifikasi ini melahirkan persepsi yang tidak asing lagi bahwa perempuan adalah ‘dapur’, ‘sumur’ dan ‘kasur’ ataupun swarga nunut neraka katut (bhs. Jawa, artinya ke surga mengikut dan ke neraka terbawa oleh sang suami).
Satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian perempuan yaitu QS. al-Nisa’:1 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya : hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari “diri” yang satu dan dari padanya Allah menciptakan pasangan-nya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. al-Nisa: 1).
Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan “diri yang satu” (nafs al-wahidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamir) “dari padanya” (minha), dan apa yang dimaksud “pasangan” (zawy) pada ayat tersebut?.
Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfahani, sebagaimana dikutip al-Razi dalam tafsirnya (Tafsir al-Razi), mengatakan bahwa dlamir “ha” pada kata minha bukan dari bagian tubuh Adam tetapi “dari jins (gen), unsur pembentuk Adam”. Pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi’ah yang mengartikan al-nafs al-wahidah dengan “roh” .
Dalam sebuah hadits yang termaktub dalam kitab Shoheh Bukhori dijelaskan soal sikap dan perilaku terhadap perempuan.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا وَإِنْ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ
Artinya : telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah ia berkata, telah menceritakan kepadaku Malik bin Anas dari Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita itu bagaikan tulang rusuk, bila kamu memaksa untuk meluruskannya, niscaya kamu akan mematahkannya, dan jika kamu bermesraan dan menurutinya, maka kamu dapat bermesraan namun padanya terdapat kebengkokan.” ( H.R. al-Bukhori ).
Kemuliaan perempuan bersumber pada sabda Rosulullah Saw. Kemudian dari hadits ini dipahami oleh ulama sebagai dasar pijakan memuliakan manusia perempuan. Sebab dari rahim perempuanlah generasi manusia itu ada.
وَعَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ: ( قُلْتُ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! مَنْ أَبَرُّ? قَالَ: أُمَّكَ قُلْتُ: ثُمَّ مِنْ? قَالَ: أُمَّكَ قُلْتُ: ثُمَّ مِنْ ? قَالَ: أُمَّكَ قُلْتُ: ثُمَّ مِنْ? قَالَ: أَبَاكَ, ثُمَّ اَلْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحُسَّنَهُ
Artinya: Bahaz ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya telah berkata “aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu”. Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu”. Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat”. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi.
Menjadi Perempuan Nusantara
Terdapat penjelasan-penjelasan dari ulama bahwa keadaan sejajar antara lelaki dengan perempuan juga dapat kita jumpai. Misalnya dalam ungkapan kedua makhluk itu dari kacamata spritualis ketuhanan.
والإسلام لا يلتفت إلى الفوارق في اللون , والجنس , والنسب فالناس كلهم لآدم وآدم خلق من تراب .. وإنما يكون التفاضل في الإسلام بين الناس بالإيمان والتقوى .. بفعل ما أمر الله به.. واجتناب ما نهى الله عنه , قال تعالى : ( يا أيها الناس إنّا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوباً وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير ) الحجرات/13.
Melihat tafsir Alquran surat Al-Hujurat ayat 13, “..di antara kalian yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa.” Atau surat An-Nahl ayat 97, “Siapa pun yang beramal saleh, apakah ia laki-laki atau perempuan dan ia beriman, maka niscaya akan kami hidupkan ia dengan kehidupan yang sangat baik.”
Ayat di atas sebenar menjadi pijakan bagi perempuan yang tinggal, lahir, hidup di seluruh pelosok Nusantara. Bahwa yang dilihat oleh ajaran Islam adalah kontekstualitas atas penerapan ayat tersebut sebagai pengejawantahan sikapnya yang menjalankan ajaran agama secara substantif, tidak sekedar legal formal.
Martabat perempuan begitu terlindungi dari tindakan seperti pelecehan dan kekerasan, atau soal budaya berpakaian, meski terkadang salah pemaknaan atas substansi, hingga cenderung dihindari oleh kelompok muslim yang lebih kepada tekstualis.
Oleh: Hamdan Suhaemi
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Editor: Kang Diens