Oleh: Sholehudin Muhtadi Longsir
(Dewan pengasuh Pon-Pes Asrarrurrafiah Babakan Ciwaringin Cirebon Jabar. Dan Pembina Pesantren Mahasiswa Darulasror Curug Serang Banten).
Saya akan memulai tulisan ini dengan mengutip sebuah khabar yang tercatat di dalam kitab Riyadhussholihin sebuah kitab hadist yang ditulis Imam Nawawi ad-Dimasqi. Pada hadist yang ke 19 menceritakan perjalanan shofwan bin assaal ra bersama kanjeng Nabi Muhammad Saw dalam satu perjalanan. Shofwan bin assaal melaporkan ketika beliau berada di hadapan kanjeng nabi Muhammad Saw tiba-tiba ada seorang a’robi (orang arab pedalaman) memanggil beliau dengan suara yang sangat keras, “ Hai Muhammad…!!!” Kanjeng Nabi Mauhammd Saw pun membalas panggilan tersebut dengan suara yang sama kerasnya, dengan menjawab “ Ya ini saya di hadapan kamu..!” kemudian shofwan bin assal mengingatkan seorang a’robi tersebut, bahwa berkata di hadapan Kanjeng nabi tidak pantas dengan suara yang keras. Karena itu tidak sopan dan dilarang.
Imam Mubarokfuri( W. 1353 H) dalam kitab Tuhfatulakhwadzi ketika mengomentari riwayat di atas ( Hadist no 3535 Al jami Tirmidzi/ Sunan Tirmidzi). Beliau berpendapat bahwa Kanjeng nabi Muhammad Saw sangat memaklumi prilaku a’robi tersebut, sehingga beliau menjawab sapaan tersebut dengan suara yang sama keras atau bahkan lebih keras. Karena Kanjeng Nabi Muhammad sangat menjaga perasaan orang itu.
Prof. Musthafa Khin dan Prof. Daibulbugho dalam Nuzhatul muttaqin syarh riyadhussholihin menjelaskan bahwa riwayat ini mengajarkan kepada kita agar kita selalu bijaksana dalam menghadapi orang lain, dan ketika kita berkomunikasi dengan orang lain maka kita menyesuaikan dengan pengetahuan dan kemampuan intelektual orang tersebut.
Saya sendiri berandai-andai, jika saja Kanjeng Nabi Muhammad Saw menjawab sapaan a’robi tadi dengan suara lembut, maka itu akan merusak suasana kebathinan seorang arab dusun tadi. Tentu a’robi tersebut akan membatin dalam hatinya kalau dia begitu kasar dan buruk prilaku. Kanjeng nabi tidak ingin itu terjadi, saking sayangnya terhadap ummatnya.
Inilah salah satu sifat mulia kanjeng nabi Muhammad Saw. Dan riwayat di atas menginformasikan kepada kita bahwa beliau sangat menjungjung prinsip kesetaraan. Saya melihat beliau sebagai sosok yang sangat egaliter. Dan kita sebagai umatnya mesti harus mengikuti dan mengamalkan ajaran yang mulia nan menawan ini.
Namun akhir-akhir ini konsep kesetaraan dan keindahan ajaran Islam ini dirusak oleh sebagian umatnya sendiri, bahkan pelaku- pelaku perusak konsep kesetaraan ini adalah orang- orang yang mengaku sebagai keturunan kanjeng nabi yang agung dan mulia (klan Baalwi yaman). Mereka ini –klan Baalwi- memperlihatkan ke publik sikap arogansi, congkak dan banyak di antara mereka yang merendahkan kiyai- kiyai Nusantara dengan sebutan-sebutan yang tidak pantas dan bahkan tidak manusiawi.
Dahulu kakek buyut kita berhusnudzon kepada mereka klan baalwi dengan menerima mereka dan menganggap mereka benar sebagai “dzurriyyah.” Ini karena mereka juga sangat menghormati kita. Kakek buyut kita juga mengajarkan kepada kita agar kita terus menghomati anak cucu mereka, serta mendoktrin kita bahwa membahagiankan mereka klan Baalwi sama dengan membahagiakan kanjeng Nabi Saw.
Namun ketika angkatan muda Baalwi bertindak-tanduk kurang baik, dengan merendahkan pemuda-pemuda nusantara dengan menyebut pesek, made in lokal, bahkan banyak juga yang menyebut kita –maaf- anjing, babi, monyet. Dan bahkan kiyai kita disebut “taik.” Bahkan klan baalwi juga ada yang melakukan perbuatan culas seperti meniduri wanita-wanita pribumi (zinah), seperti yang terjadi di ciledug cirebon. Belum lagi pemalsuan makam leluhur nusantara ban menisbahkanya kepada Baalwi. Membuat kita bertanya-tanya dan ragu apakah mereka benar keturunan Baginda Rasulullah Saw?
Kenyamaan hati sanubari anak-anak bangsa ini pada akhirnya terganggu dan alam kemanusiaan mereka bangkit dan bergerak untuk berani bersikap kritis kepada mereka klan Baalwi di Indonesia. Karena kita punya adagium “Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.” Inilah yang diajarkan nenek moyang kita.
Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonya.
“Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonya” adalah sebuah kearifan lokal yang sangat benilai tinggi yang mestinya menggerakan kita untuk bersikap cerdas dan teliti dalam memahami fakta-fakta sosial dinamika kehidupan bermasyarakat. Sekarang mari kita telaah informasi di dalam alqur’an tentang ahli bait (keluarga dan kerabat Rasulullah Saw) dalam surat al-ahzab ayat 33 yang artinya “ Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya.” Kata arrijs dalam ayat ini memiliki makna al-itsm artinya dosa (tafsir jalalain). Dalam tafsir Ibnu Athiyyah al-Andalusi arti arrijs adalah nama untuk perbuatan yang mengandung dosa atau perbuatan yang akan mendapatkan siksa bagi pelakunya. Atau apa pun yang kotor dan najis adalah arrijs. Sifat-sifat tercela juga disebut arrijs. Menurut pandangan Imam Ibnu Athiyyah dalam ayat ini secara tersurat dan tersirat menginformasikan kepada kita bahwa Allah Swt telah menghilangkan sifat-sifat kotor dari dalam jiwa mereka (ahli bait), baik sifat-sifat kotor lahiriyah atau pun maknawiyyah. Redaksinya begini:
فأذهب الله جميع ذالك عن أهل البيت
“Maka Allah Swt telah menghilangkan arrijs (keburukan lahiriyah dan bathiniyah) dari ahli bait Rasulullah Saw.”
Merujuk uraian Ibnu Athiyyah di atas penulis berkesimpulan bahwa sifat-sifat tercela dan kelakuan-kelakuan bejat itu tidak akan merasuk ke dalam anak cucu Kanjeng Nabi Muhammad Saw, meskipun itu tidak serta merta menjadikan mereka menjadi ma’shum seperti para nabi. Paling tidak, watak katuranggan Dzurriyyah adalah baik-baik saja dan mengesankan.
Tetapi khalayak ramai hari ini dipertontonkan prilaku-prilaku yang buruk dari klan Baalwi yang menjadikan kewarasan orang-orang yang waras menilai bahwa klan Baalwi bukan keluarga manusia suci Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Dimana darah suci Rasulullah mestinya telah menyucikan watak-watak kotor klan Baalwi. Tapi yang terjadi pada kaum muda Baalwi tidak seperti itu.
Oleh karena itu, bagi insan-insan yang cerdas yang telah membaca kitab-kitab klasik dan buku-buku modern dari berbagai disiplin ilmu wajib bersikap kritis terhadap kelompok yang mendakwahkan diri mereka sebagai turunan manusia suci tapi berkelakuan seperti para begundal bersorban. Ahmad as-showi dalam kitab khasiyah as-showi mengatakan:
فمن ادعى الطهارة مع ارتكابه المعاصي فهو ضال وكذاب
“Barang siapa mengaku suci (padahal dalam waktu) yang bersamaan dia masih berbuat maksiat-maksiat maka ketahuilah bahwa dia adalah sesat dan pendusta.”
Mereka klan Baalwi sering mendakwahkan bahwa di dalam diri mereka mengalir darah suci baginda Rasulullah Saw, tetapi di dalam waktu yang bersamaan mereka mencaci maki, sombong, mengerdilkan orang lain yang bukan golongannya, men-dawir dan semacamnya. Maka kalau merujuk penjelasan Imam Ahmad as-Showi, jelas mereka telah berdusta atas klaim tersebut. Akal sehat kita mengatakan “kalau memang betul darah suci kanjeng Nabi Muhammad Saw mengalir dalam diri mereka, mengapa darah suci itu tidak mensucikan sifat- sifat najis yang ada pada diri mereka?” bukan kah pada surat al-ahzab ayat 33 diterangkan oleh Imam Ibnu Athiyyah bahwa Allah Swt telah membersihkan ahli bait dari kotoran-kotoran lahiriyyah dan maknawiyyah (arrijs).
Imam Ibnu Athoillah as-Sakandari (wafat 709 H) dalam kitab Tajularus al-Hawi li tahdzibinnufus menuturkan :
فانه لو صح الأصل لصح الفرع
“Sesungguhnya kalau asalnya baik maka cabangnya pun akan baik.”
Kalau kita menginterpretasi kata-kata Imam Ibnu Athoillah dengan pemaparan yang lebih luas, maka kita akan menyimpulkan bahwa mustahil anak cucu nabi Muhammad Saw berprilaku tidak baik, apalagi berprilaku tidak manusiawi, seperti memperkosa dan membunuh. Karena kanjeng Nabi adalah mata air yang bening yang mensucikan setiap hadas (kotoran maknawiyah) dan khobast (kotoran lahiriyah). Makna ini mendekati makna pepatah “ Buah jatuh tidak akan jauh dar pohonnya.”
Bersikap kritis terhadap klan Baalwi.,
Bersikap kritis adalah cermin masyarakat modern dan berperadaban tinggi. Orang-orang hebat, ahli tafsir alqur’an, ahli ilmu riwayat, sejarawan, ilmuwan, ahli fiqih dan ahli-ahli lainya adalah orang-orang kritis. Mereka mewariskan kepada kita kebaikan kebaikan duniawiyah dan ukhrowiyyah setelah mereka membuang yang buruk dari yang baik. Mereka sanggup memilih dan memilah yang baik dan menyingkirkan yang buruk karena kekritisan mereka. Kalau saja mereka tidak memiliki daya kritis yang tajam niscaya mereka akan mewariskan kepada kita kebaikan yang tercampur dengan keburukan.
Tetapi sikap kritis yang keren dan sehat ini menurut oknum klan Baalwi, jika dipakai untuk mengkritisi mereka maka itu seperti iblis. Jadi kalau ada seorang dari klan Baalwi berbuat amoral, atau berbuat merugikan orang lain, maka kita tidak boleh mengkritisinya, karena kritis terhadap komplotan Baalwi adalah tercela. Tentu saja doktrin ini irasional dan menyesatkan. Tidak membuat bangsa ini menjadi cerdas, malah menjadikan bangsa ini menjadi dungu.
Jadi mestinya kita balik doktrin tersebut dengan doktrin baru yang segar dan mencerdaskan, yaitu orang cerdas yang tidak kritis terhadap prilaku buruk klan Baalwi adalah syaithon yang bisu. Argumentasinya adalah karena prilaku buruk adalah kemungkaran. Ketika ada kemungkaran di depan orang cerdas, kemudian dia abstain atas kemungkaran itu maka dia laksana syaithon yang bisu. An-Nahlawi ( wafat : 1350 H) dalam kitab alhadhzr wal ibahah menuturkan sebuah riwayat :
الساكت عن الحق شيطان أخرس
“Orang yang diam tentang kebenaran laksana Syaithon yang bisu.”
Untuk itu kita sangat berterima kasih sekali kepada K.H Imaduddin Ustman Albantani yang telah membangkitkan ummat Islam Indonesia khususnya warga Nahdhiyyin agar bersikap kritis terhadap klan Baalwi. Beliau sendiri mengkritik bahwa nasab klan Baalwi terputus dan tidak tersambung kepada baginda Nabi Saw.
Yang saya sayangkan adalah kenapa masih ada orang yang sekolah tinggi, mengaji kitab-kitab besar, mempelajari ilmu ilmu logika dan ilmu-ilmu tinggi lainya ketika berhadapan dengan ajaran –ajaran dan cerita-cerita irasional tentang Baalwi orang-orang cerdas itu mendadak menjadi dungu. Bahkan terhadap prilaku oknum Baalwi yang dungu pun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Seolah ilmu-ilmu dan kitab-kitab yang mereka pelajari tidak ada artinya, seolah buku-buku yang dia baca tentang logika menjadi mentah dan tidak berguna di hadapan klan Baalwi. Berarti sikap mereka ini sama dengan sikap orang tidak berilmu dan tidak cerdas. Berarti hasil dari ilmu yang telah dia kuasai dan kitab yang dia baca adalah kedunguan belaka.
Dari sini kita mengerti apa maksud dari ungkapan Imam Rifai dalam kitab hulashotulbayan :
رب علم ثمرته جهل
“ Terkadang buah dari pada ilmu adalah kedunguan.”
Kalau ketidak-beranian mereka kritis terhadap klan Baalwi adalah karena takut mendapat azab, maka menurut saya itu adalah kedunguan spiritual yang bisa melahirkan perbudakan spiritual.
Kritik terhadap ketersambungan nasab klan Baalwi kepada Kanjeng Nabi Saw jangan difahami sebagai kebencian kepada Dzurriyyah, atau difahami sebagai kebencian kepada Klan Baalwi sendiri. Sebab mencari tahu kebenaran ketersambungan nasab seseorang kepada Kanjeng nabi bagi orang cerdas itu penting, apalagi di tengah masyarakat yang masih membudayakan feodalisme dan masyarakat yang sangat cinta kepada Kanjeng Nabi Saw dimana celah ini akan dijadikan kesempatan bagi sebagian orang yang berwatak jahat untuk mengeruk keuntungan duniawiyah dengan cara menjual nama suci baginda Rasulullah Saw. Dan ancaman neraka terhadap orang yang berdusta tentang Rasulullah Saw sangat jelas (mutawatir). Dan ancaman terhadap orang yang mengetahui kedustaan ini, kemudian dia diam saja alias tidak kritis, jelas juga. Sehingga kritis terhadap ketersambungan nasab klan Baalwi ini mesti dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas keilmuan terhadap hal itu.
Kritik Kiyai Imaduddin Al-Bantani terhadap nasab kaum Baalwi ini berdasarkan fakta dan data dari kitab-kitab yang menulis soal nasab dari abad ke abad. Menurut Kiyai Imaduddin ketersambungan nasab Ahmad bin Isa sampai kepada Rasulullah Saw sangat valid, yaitu Ahmad bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far as-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Husen bin Fatimah az-Zahroh bin Nabi Muhammad Saw.
Menurut Kiyai Imaduddin kerancuan muncul pada generasi pasca Ahmad bin Isa, bahwa kitab-kitab nasab sebelum abad 9 hijriah tidak pernah mencatat nama Abdullah atau Ubaidilah yang menurut klan Baalwi dia adalah datuk dari keluarga besar Baalwi, yaitu Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Dari Alwi bin Ubaidillah ini lah lahir maraga-marga bin Yahya, bin Smith, al-Idrus, Alihinduan, bin Syihab dan seterusnya yang menyebar di seluruh dunia, menurut klan Baalwi. Tetapi menurut kiyai Imaduddin sekitar 543 tahun nama Abdullah atau Ubaidillah tidak pernah tercatat dalam kitab-kitab nasab, yaitu sejak abad ke-empat sampai akhir abad sembilan. Tuntuan kiyai Imaduddin terhadap klan Baalwi adalah bisakah klan Baalwi membuktikan kitab-kitab pada abad ke-empat yang mencatat Abdullah atau Ubaidillah sebagai putera dari Ahmad bin Isa, atau disebut sebagai “kitab sezaman.”
Kitab Sezaman
Yang dimaksud kitab sezaman yang saya fahami di sini adalah kitab yang ditulis oleh ulama nasab yang menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa memiliki putera yang bernama Abdullah atau Ubaidillah yang satu masa waktu penulisanya dengan ulama nasab yang menulis kitab nasab tetapi tidak mencantumkan Abdullah atau Ubaidillah sebagai putera dari Ahmad bin Isa. Minimal kitab sezaman itu satu masa dengan Imam al- Ubaidili ( w. 437). Dimana al-Ubaidili dalam tulisanya yaitu kitab tahdzibul ansab wa nihayatul alqob tidak mencatat Abdullah atau Ubaidillah sebagai putera Ahmad bin Isa. Atau kitab nasab yang sezaman dengan Imam Fakhrurrozi, dimana Imam Fakhrurrazi ( w. 604 H) dalam karyanya as-Syajarotul mubarokah juga tidak mencatat Ubaidillah sebagai putera dari Ahmad bin Isa. Nama Abdullah baru muncul pada akhir abad sembilan. Sehinga nalar cerdas dan daya kritis dari seorang Kiyai Imaduddin menuutut bahwa untuk membuktikan kalau Abdullah atau Ubaidillah benar-benar putera Ahmad harus ada ulama nasab yang satu kurun dengan al-Ubaidili yang mengukuhkan kalau Ubaidillah benar putera Ahmad bin Isa.
Ini menunjukkan apa yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam Muqoddimah-nya bahwa kerancuan nasab ini sudah terjadi sejak zaman Sayyidina Umar bin Khottob. Ibnu khaldun juga mengatakan bahwa ahli nasab sudah jarang di temui di zamanya. ( lihat tulisan saya di media Nuonline, dengan judul kepalsuan nasab).
Akan tetapi sampai tulisan ini saya keluarkan, mereka klan Baalwi belum mampu menghadirkan kitab sezaman yang dimaksud itu. Yang meluncur dari mereka dan para penggemar fanatiknya hanya hujatan dan narasi yang penuh emosional. Mereka menyebut tesis kiai Imaduddin sebagai tesis iblis, menyebut orang-orang yang kritik atas nasab mereka sebagai pembenci ahli bait Rasulullah Saw dan seabreg narasi kebencian yang justru itu menunjukan bahwa mereka mengalami defisit intelektual. Sekaligus defisit spiritual.
Kang Said Aqil Siraj sebagai episentrum intelektual kaum sarungan dalam beberapa media sosial yang beredar beliau menegaskan bahwa tesis kiyai Imaduddin ini mesti di jawab dengan ilmiah, bukan dengan kebencian dan emosional!
Ada juga narasi yang keluar dari kalangan Baalwi dan pengikut fanatik yang menggaungkan bahwa tuntutan menghadirkan kitab sezaman itu adalah bukan ketentuan dari ulama nasab, tapi dari kiyai Imaduddin sendiri, sehingga tuntutan itu tidak relevan. Ini menurut mereka.
Menurut hemat saya, kitab se-zaman itu mesti dihadirkan klan Baalwi untuk membuktikan ke publik hari ini bahwa secara literal nasab mereka tersambung kepad Ahmad bin Isa, sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan Kiai Imaduddin dan orang-orang kritis di nusantara ini. Sehingga kerancuan nasab mereka menjadi agak lebih terang. Dan keraguan publik atas kevalidan nasab mereka pun berkurang.
Tentu, tuntutan agar mereka menghadirkan kitab sezaman itu sesuai dengan kaedah fiqih yang berbunyi :
الكتاب كالخطاب
“Catatan itu laksana perkataan.”
Catatan tentang Ubaidillah sebagai putera dari Ahmad bin Isa belum ditemukan sebelum abad sembilan,sedangkan al-Ubaidili yang wafat pada 437 Hijriayah dan Fakhrurrozi yang wafat pada tahun 604 hijryah atau ulama nasab lainya yang hidup sebelum abad sembilan tidak mencatat Ubaidillah atau Abdullah sebagai putera Ahmad bin Isa (belum ditemukan catatan). Sehingga sangat wajar, kalau orang-orang cerdas dan kritis bertanya-tanya. kok tiba tiba muncul nama Ubidilah? Berarti ada kekosongan perbincangan di kalangan ahli nasab selama beratus-ratus abad tentang Ubaidillah. Akhirnya akal waras kita mengatakan Ubaidillah itu tadinya tidak ada, kemudian tanpa sebab tiba tiba ada. Dan itu mustahil. Berlawanan dengan konsep sebab dan musabab.
Untuk itu kitab sezaman itu urgen untuk disuguhkan ke khalayak. “ ayo ! tunjukan kalau nasab Baalwi itu tersambung sampai kepada Rasulullah Saw. Jangan marah-marah..!”
Tes DNA
Menurut saya, mengingkari kebenaran tes DNA sama saja dengan mengingkari kebenaran ilmiah modern yang mengatakan bahwa bumi itu bulat. Kalau ada orang mengingkari bumi itu bulat maka orang itu tidak pantas hidup di zaman modern. Dia mestinya kembali ke zaman purba. Ya, karena dia tidak mengikuti dan sama dengan tidak mengakui kehebatan tekhnologi mutakhir yang diciptakan manusia modern.
Ada banyak berita tentang kasus bayi tertukar, dan diselesaikan dengan melakukan tes DNA dan ternyata terbukti bahwa itu anak si fulan dan itu bukan si fulan karena dilihat dari DNA-nya.
Memang dalam pandangan Fiqih Islam untuk menetapkan si fulan sebagai anak si fulan harus dilihat dari akad nikah yang shohih. Karena anak yang lahir diluar akad yang shohih adalah anak zinah. Dan anak zinah nasabnya dinisbatkan kepada ibunya, tidak kepada laki-laki yang menzinahi ibunya, walau pun secara genetik anak zinah tersebut tersambung kepada laki-laki yang menzinahi ibunya.
Tetapi yang harus difahami dalam konteks tuntutan tes DNA kepada Klan Baalwi ini bukan dalam rangka mengukuhkan atau menafikan si fulan Baalwi anak si fulan Baalwi sebagai bapaknya. Misalnya Toha bin Ali as-Segaf, tuntutan kepada Toha untuk tes DNA bukan dalam rangka mencari tahu apakah Toha putera Ali atau bukan? Tetapi apakah DNA-nya Toha ini sama dengan DNA Rasulullah Saw?
Kalau ternyata DNA Toha ini berbeda dengan DNA Rasulullah Saw, maka menurut tokoh Baalwi sendiri mengatakan : “ DNA Nabi kemana? DNA dia kemana? Toha sebagai anak dari Ali cukup dengan bukti atau saksi yang mengatakan kalau Ali menikahi ibunya Toha, dengan akad yang sohih, dan secara DNA pun pasti Toha akan sama dengan Ali. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah sama DNA Toha dengan DNA manusia agung Rasulullah Saw ?
Lebih jelasnya, tuntutan tes DNA kepada klan Baalwi ini bukan untuk meng-istbat atau membatalkan mereka sebagai bani Baalwi atau bukan? Tapi mencari tahu apakah DNA mereka sama dengan DNA Nabi Saw?
Bukan kah Nabi Saw sendiri merasa sangat bahagia ketika ada seorang ahli qiyafah, yaitu al-Mudliji yang mengukuhkan bahwa Usamah benar sebagai putra Zaid, hanya dengan melihat telapak kaki keduanya, yaitu telapak kaki Usamah dan telapak kaki Zaid. (H.R Bukhori no : 3555)
Dan tentu saja technologi tes DNA ini lebih canggih dari pada obyektivitas qiyafah.
Saya melihat mereka klan Baalwi dan para penggemarnya yang fanatik buta sangat anti dengan DNA dan tesis Kiyai Imaduddin Ustman. Seolah DNA dan Tesis itu kedua monster yang akan menerkam mereka. Sehinga men-term bahwa DNA adalah program yahudi dan Tesis adalah Tesis Iblis. Bahkan ada juga tokoh terkenal dari kalangan Baalwi yang dianggap besar mengatakan bahwa Tesis ilmiyah itu tesis ilmiyah kandang kebo. Sungguh pernyataan yang mencerminkan pernyataan orang kerdil, bukan orang besar. Karena besar harus berjiwa besar.
Kandang Kebo
Semua orang tahu, kalau kandang kebo pasti kotor dan busuk. Tapi tempat yang busuk dan kotor ini, bisa jadi kalau dilihat dari sudut pandang yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan bahwa kandang kebo itu lebih mulia dari tempat dzikir kita. Bukan kah Baginda Nabi Saw pernah Sholat di kandang kambing dan tempat-tempat onta? ( Shohih al-Bukhori : 429-430). Kisah ini mengisyaratkan bahwa kandang binatang ternak, seperti kebo, jangankan untuk mengungkap kerancuan nasab Baalwi, untuk wushul kepada Allah Swt juga sah. Jadi apa masalahnya dengan kandang kebo saudara?
Kesimpulan
Demi Allah tulisan ini saya buat bukan untuk mengobarkan kebencian kepada saudara kita dari muslimin bani Baalwi. Hanya saja kita mesti kritis terhadap fakta-fakta sosial yang terjadi di masyarakat. Khususnya warga Nahdhiyyin. Mahabbah kepada mereka bagus, karena kita dianjurkan untuk saling mahabbah. Mahabbah tidak saja kepada klan Baalwi, tetapi kepada seluruh umat muslim. Bahkan seluruh umat manusia, yang tercermin dalam konsep ukhuwwah basyariyyah. Hanya saja jangan karena mahabbah kita menjadi bodoh, jangan juga karena mahabbah kita menjadi lemah, jangan juga karena mahabbah menjadikan orang yang di-mahabbahi menjadi gelap mata dan gelap hati. Saya ingat ungkapan Emha Ainun Nadjib dalam OPLES (opini plesetan) :
“kejahatan adalah nafsu yang terdidik. Kepandaian seringkali, adalah kelicikan yang menyamar. Adapun kebodohan, acapkali, adalah kebaikan yang bernasib buruk. Kelalaian adalah itikad baik yang terlalu polos. Dan kelemahan adalah kemuliaan hati yang berlebihan.”
Wallahu A’lam.
Publikasi 500 Muslim Paling Berpengaruh Di Dunia Tahun 2025, Proyek Klan Ba’Alwi?
Setiap tahun kita disuguhkan publikasi “The Muslim 500: The World's 500 Most Influential Muslims” (500 tokoh muslim paling berpengaruh di...
Read more