Oleh: Hamdan Suhaemi
Santri, di Indonesia biasa akrab dengan kitab kuning dari dulu hingga sekarang. Kitab kuning jadi acuan dalam mengkaji ilmu-ilmu agama Islam. Begitupun setelah tidak mesantren, kitab yang dibawa dari pesantren masih biasa ditelaah dan dikaji ulang. Menjadi hal yang biasa dilakukan oleh para kiai alumni pesantren dengan telaten, lebih cermat memahami isi dan maksud tertulis dari kitab kuning tersebut. Ada yang memang diperoleh dari kiai yang jadi gurunya, kemudian kita sebut menuntut ilmu melalui sanad guru langsung. Ada pula yang mendalami Kitab-kitab kuning dari pelbagai bidang ilmu, tanpa harus lewat tuntunan dan penjelasan gurunya. Ini yang kemudian kita sebut merambah wawasan, mendalami pokok bahasan, mempertajam pemahaman, sekaligus membedah persoalan.
Menurut Azyumardi Azra (2002) mengartikan bahwa kitab kuning adalah kitab yang dulunya ditulis atau dicetak di atas kertas berwarna kekuning-kuningan. Berbeda dengan pendapat Imam Bawani (1990) yang mengartikan kitab kuning sebagai kitab gundul. Dikatakan gundul karena tidak memiliki harakat seperti halnya al-Quran yang ada tanda baca seperti fathah, kasrah, dhammah dan sukun. Sehingga kalimat per kalimat dapat dipahami secara menyeluruh. Imam Bawani juga menyebutkan bahwa kitab kuning disebut-sebut sebagai kitab warisan abad pertengahan Islam, dan banyak digunakan di pesantren-pesantren.
Sementara menurut Martin Van Bruinessen, kitab kuning sebagai kitab klasik yang ditulis sudah berabad-abad yang lalu menggunakan bahasa arab, dan sering digunakan untuk buku pedoman di pesantren-pesantren. Sedangkan Masdar F. Mas’udi mendefinisikan pengertian kitab kuning sebagai pandangan hidup ulama. Disebutkan bahwa kitab kuning mengalami terminologi. Setidaknya ada tiga terminologi sebagai berikut. Kitab yang ditulis oleh ulama klasik Islam secara berkelanjutan seperti tafsir al-Khozin, ibn Katsir, shahih Bukhari dan shahih Muslim. Ada pula kitab kuning yang ditulis oleh ulama Nusantara yang ditulis secara independen. Yang mempelopori tersebut antara lain Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Syaikh Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Abu Bakar Syatha, Syaikh Mahfudz Termas, dan ulama-ulama Nusantara lainnya yang ratusan jumlahnya.
Kitab kuning yang dibuat sejak zaman klasik adalah bentangan sakralisasi tradisi menuju profinasi. Isi kitab kuning memang bermacam-macam, ada yang berisi tentang fiqih, aqidah akhlaq, tasawuf, hadis dan tafsir. Bahkan banyak pula kitab kuning yang mempelajari ilmu kalam (teologi) hingga filsafat.
Dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren bahwa kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di pesantren, eksistensi kitab kuning sudah ada sejak abad 1-2 Hijriyah yang kemudian berkembang hingga sekarang. Tradisi literasi keislaman ini mampu tetap bertahan sebab ia memiliki khazanah keilmuan yang sangat luas.
Muhammad Khoeron ( 2022 ) mengatakan bahwa selama ini kitab kuning berkaitan erat dengan pendidikan pesantren karena pesantren merupakan pendidikan keislaman yang di situ harus ada sumber dan rujukan yang otoritatif, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Sumber otoritatif ini kemudian dielaborasi lagi secara lebih dalam, luas, dan spesifik, sehingga menghasilkan karya yang disebut kitab kuning. Dengan kata lain, kitab kuning juga bisa disebut hasil karya dari ijtihad para ulama dalam berbagai macam bidang keilmuan.
Menjadi tanggung jawab moral bagi kalangan santri sekaligus tanggungjawab intelektual untuk terus mengkaji, mendalami, menterjemahkan lewat praktis, dan terus membawanya menuju transformasi perubahan zaman. Tanggung jawab al-Mukhofadhoh ( merawat ), tanggung jawab al-Akhdzu ( mengembangkan ) dan al-Ishlah ( mentransformasikan ) di setiap medan zaman. Ini yang kemudian disebut trilogi perjuangan kalangan santri hingga akhir nanti yang terus berkesinambungan.
Lawang Seketeng, 4-6-2022
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Sekretaris Hubungan Antar Umat Beragama MUI Provinsi Banten
Pencinta Sejarah
Santri biasa