Oleh : Hamdan Suhaemi
Otak, untuk digunakan berfikir memilih apa itu benar, apa itu salah. Memilah apa itu bagus dan apa itu jelek, mencerna apa itu kasar dan apa itu lembut. Bahkan untuk membedakan mana yang lurus dan kemana yang sesat.
Agama, adalah tuntunan, nasihat, petunjuk, bimbingan dan juga kumpulan ajaran, jika agama itu samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam) sumbernya dari wahyu ilahi. Sedangkan seperti agama Hindu, Budha, Konghucu, Zoroaster dan Shinto sumbernya ajaran manusia yang telah tercerahkan atau disebut agama ardli (agama bumi). Titik temunya adalah di manusia, yakni manusia menjadi benar. Semua pemeluknya berhak mengatakan agamanya yang benar. Kita yang agamis tentu tidak perlu mengatakan salah atas agamanya orang lain. Kembalinya pada Tuhan.
Sikap, kita beragama khusus dalam hal ini menjadi muslim adalah sikap yang mengikuti ajaran Rosulullah SAW ( صلى الله عليه و سلم ), sebab dalam pribadinya adalah suri tauladan. dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat : 21 dijelaskan.
لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة لمن كان يرجو الله و اليوم الاخر و ذكر الله كثيرا
Dalam tafsir Ibnu Katsir, yang dimaksud اسوة itu adalah ucapan Rasulullah ( اقواله ), perbuatan/tindakan/sikap (افعاله) dan tingkah laku ( احواله). Ketiganya dalam diri Rasulullah SAW adalah baik dan bagus.
Lalu, kalau tidak kepada Rasulullah Muhammad kita muslim mengikuti siapa?
Ulama telah meneladani kehidupan Nabi Muhammad SAW karenanya Ulama adalah pewaris para Nabi, sikap hidupnya, perilakunya ulama akan selalu mengikutinya. Hanya saja kualitas tentu masing-masing berbeda. Terlebih sang Nabi punya khususiat (خواءص) yang tidak harus diikuti oleh umatnya, karena pula Nabi SAW adalah yang ma’shum (sisi pribadi yang dijaga dari perbuatan salah dan dosa).
Akhlaq, para alim ulama terutama Kiai-Kiai NU hampir keseluruhan hidupnya mengikuti ajaran dan pri hidup Rasulullah SAW yang wara’ (kehati-hatian), tawakal (berserah diri atau menyerahkan urusan kepada Allah SWT), qona’ah (merasa cukup), harits (bijaksana), halim (dermawan), zuhud (meninggalkan kenikmatan dunia), tasammuh (menghormati yang berbeda), dan akhlaq-akhlaq Rasulullah SAW yang lainnya. Maka tak jarang kita dapati perilaku seorang kiai pesantren jika kita lihat di buku sejarah atau riwayatnya Nabi SAW hampir meniru perilakunya Nabi SAW terutama dalam hal membimbing umatnya, tak terdapat sikap keras baik anggota badannya maupun ucapannya, begitu sopan dan terbuka pada semua umat.
Lalu, bagaimana kedunguan dalam beragama seringnya kita lihat akhir-akhir ini?
Menurut Hujjatul Islam Imam al-Ghozali ( رضي الله عنه ) bahwa agama itu perlu dengan akal ( berfikir ), tentu akal yang sehat, akal yang memikirkan pada posisi yang benar.
الدين هو العقل لا دين لمن لا عقل له
Agama itu harus dengan akal, tidak ada agama bagi yang tidak berakal (tidak berfikir).
Dawuh sang Imam ini sebenarnya ingin mengingatkan pada kita, bahwa dalam beragama bukan hanya totalitas kepatuhan pada perintah Allah SWT, tetapi juga akal mengantarkan paham dalam sikap tersebut.
Dungu, menjadi titik bahasan kali ini. Juga menjadi perhatian sekaligus keprihatinan. Sisi lain dari sikap beragama yang terlalu kekanak-kanakan, tempramental, egois dan sok suci. Sikap tersebut sebenarnya jauh dari akhlaq Rasulullah SAW meski dalam hal lain terkadang Rasul pun tegas. Namun perilaku akhir-akhir ini di sebagian kecil umat Islam sulit kita akui sebagai yang bersumber dari ajaran Islam apalagi dari akhlaknya Rasulillah SAW.
Meninggalkan kedunguan tersebut menjadi keniscayaan kita sebagai muslim untuk tidak merusak Islam sebagai agama yang mulia, sempurna dan luhur. Dalam hadits hasan ( حديث حسن ) riwayat al-Daruquthni Rasulullah SAW telah bersabda :
الاسلام يعلو ولا يعلى عليه
Artinya : Islam agama yang tinggi dan tidak ada agama yang lebih tinggi darinya.
Memahami sabda Nabi di atas tentunya adalah sikap mengikuti kemuliaan Islam itu sendiri (an sich), dan dengan akal lah ikutan itu tidak menjadi sesat. Meski bukan berarti beragama hanya cukup dengan akal semata. Tapi akal mampu memilah mana yang benar dan mana yang salah, mana pula yang merusak dan mana juga yang maslahat.
Kalimat akhir, perlunya sikap beragama kita dengan meninggalkan kedunguan. Asal bicara, asal fatwa dan asal umat senang. Beralih pada sikap beragama yang istiqomah mengikuti bimbingan ulama/ kiai dimana pun berada.
Editor: Kang Diens