Siapa yang tidak mengenal Professor Said Aqil Husin al-Munawwar, seorang habib Ba Alwi yang jarang mengenakan serban dan jubah; ia lebih sering tampil dengan mengenakan peci hitam dan stelan jas; Ia seorang Guru Besar UIN Syarif Hifayatullah Jakarta; ia juga mantan Menteri Agama dalam Kabinet Presiden Megawati 2002-2004.
Penulis mengira, isu nasab yang telah berlangsung lebih dari setahun ini, tidak akan menggerakan Ba Alwi sekelas beliau, yang dalam dalam pengetahuan agama terbilang cukup dalam, untuk berbicara hal-hal yang mirip dengan narasi Ba Alwi lainnya. Penulis berharap sekelas profesor, ketika ingin membela nasab klannya, tentu lebih sistematis dan ilmiah. Ia akan memberikan narasi forensik yang bermutu dan presisi. Ditunjang dengan dalil-dalil yang mu’tabar dan sahih. Itu harapan penulis.
Selama ini, sanggahan-sanggahan yang ada dari beberapa orang klan Ba Alwi, hanya Dr. Ja’far Assegaf yang ilmiah, walau itu belum bisa menjawab batalnya nasab Ba Alwi. Sementara yang lainnya berputar diantara doktrin, taklid dan framing. Sayang, nyatanya perkiraan penulis meleset. Yang keluar dari Sang Profesor dalam menanggapi isu nasab ini bukanlah seperti yang diharapkan; bukan sanggahan ilmiah yang sarat dalil, ia hanya persuasi retoris yang terjebak ke dalam hal-hal yang non esensial mirip Ba Alwi lainnya.
Dalam channel Youtube resminya dengan nama akun Prof. Dr. Said Agil Husin Al Munawar, MA., Prof. Said Aqil Husein menyatakan, bahwa yang disampaikan penulis tidak didasari oleh ilmu pengetahuan tetapi hanya oleh emosi belaka. Sangat disayangkan, dalam video itu, ia tidak menerangkan apa substansi yang penulis sampaikan, kemudian bagaimana sanggahan ilmiahnya terhadap kesimpulan yang penulis sampaikan itu. Kendati demikian, tentu banyak orang yang sudah faham apa maksud yang disampaikannya, yaitu konklusi tentang batalnya nasab Ba Alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
Kemudian, ia menyampaikan bahwa banyak orang-orang yang datang ke Rabitah Alawiyah minta nasab supaya disambungkan kepada Rasulullah, banyak di antara mereka yang tidak disahihkan kemudian kecewa. Tentu kalimat itu umum untuk siapa saja. Seandainya Pak Said Husin itu punya data bahwa penulis pernah datang ke Rabitah Alawiyah, mungkin ia mengatakannya dengan jelas, Karena ia tidak punya data itu, maka ia membuat silogisme forensik manipulatif agar para penontonnya mudah-mudahan memahami bahwa seakan yang datang itu adalah penulis, dan apa yang hari ini penulis permasalahkan hanya beralasan “ngambek” karena tidak mendapat paspor nasab dari Rabitah.
Untuk silogisme semacam itu, tentu penulis-pun tidak berlebihan jika membuat entimem pembanding yang dibutuhkan. Penulis dapat tegaskan kepada pembaca, bahwa penulis tidak pernah datang ke kantor Rabitah Alawiyah walau hanya sekali. Penulis bukan keturunan imigran Yaman, bukan Ba Alwi, untuk apa penulis datang ke Rabitah dalam rangka meminta paspor nasab? Bukankah Rabitah itu kantor untuk para imigran Yaman saja. Apa perlunya seorang keturunan asli Banten seperti penulis datang ke kantor Rabitah? Penulis kira, penegasan demikian itu cukup untuk menjawab framing narasi silogisme forensik manipulatif dari Sang Professor, dan bahwa kajian penulis tentang batalnya nasab Ba Alwi sebagai keturunan Nabi, bukanlah karena kecewa nasab penulis tidak disambungkan ke nasab Yaman, tetapi ia betul-betul sebuah kajian ilmiah saja.
Lalu Sang Professor-pun menyampaikan sesuatu yang lumayan ilmiah tentang sanad hadits yang kemudian ia bandingkan dengan nasab. Tampaknya, jikapun ia akan berhujjah dalam sebuah diskusi terbuka, maka hujjahnya itu akan terkait dengan yang disampaikannya dalam video tersebut, yaitu bahwa hadis yang ditulis dalam kitab itu baru ada setelah ratusan tahun setelah wafatnya Nabi. Kemudian hadits itu kita yakini sebagai ucapan Nabi hanya berdasar sanad (urutan orang-orang yang memindahkan berita dari satu generasi ke generasi berikutnya), tidak berdasarkan kitab setiap masa. Seakan Sang Professor ingin mengatakan bahwa seyogyanya nasab-pun demikian. Artinya, walau tanpa kitab sezaman, jika sudah ada nama-nama berurut fulan bin fulan bin fulan dan seterusnya, harusnya bisa diterima dan diyakini kesahihannya.
Ada cacat logika dari yang dianalogikan sang Professor, ia menyamakan sanad hadits dengan nama-nama silsilah nasab. Padahal, nama-nama silsilah nasab itu adalah isi berita bukan pembawa berita. Berbeda dengan sanad hadits, ia adalah susunan pembawa berita, sedangkan beritanya adalah matan hadits.
Contoh sederhananya perhatikan sebuah hadits Imam Bukhari di bawah ini:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ : أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ عَلَى الْمِنْبَرِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ، يَقُولُ: «إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ».
“Al-Humaidi Abdullah bin Al-Zubayr memberitahu kami, dia berkata: Sufyan memberitahu kami, dia berkata: Yahya bin Said Al-Ansari memberitahu kami, dia berkata: Muhammad bin IbrahimAl-taymi memberitahuku: Dia mendengar Alqamah bin Waqqas Al-Laythi berkata: Saya mendengar Umar bin Al-Khattab Ra. di atas mimbar. Dia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW. berkata: “Perbuatan adalah berdasarkan niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa berhijrah untuk kehidupan duniawi maka ia akan mendapatkannya, atau untuk seorang wanita maka dia akan menikahinya, maka hijrahnya adalah berdasar (niyat) yang dia berhijrah untuk itu”.
Perhatikan hadits tersebut, ini bukan untuk mengajari sang Profesor, ini untuk kita semua. Di sana, Imam Bukhari meriwayatkan hadits yang sangat terkenal yaitu hadits “innamal a’malu binniyyat” (bahwa amal itu berdasarkan niyatnya). dari mana Imam Bukhari mendapatkan hadits itu? Untuk mempertanggungjawabkan hadits itu, Ia menyebutkan nama-nama dari mana ia mendapatkan hadits (ucapan Nabi) itu. Ia menyebutkan bahwa ia mendapatkan hadits itu dari gurunya yang bernama al-Humaidi; al-Humaidi mendapatkannya dari gurunya lagi yaitu Sufyan; Sufyan mendapatkannya dari Yahya; Yahya mendapatkannya dari Muhammad; Muhammad mendapatkannya dari Alqomah; Alqomah mendapatkannya dari Umar bin Khattab; Umar mendengarnya dari Nabi Muhammad SAW.
Perhatikan lagi. Sangat jelas bahwa Imam bukhari dapat mempertanggungjawabkan referensi hadits itu sehingga ia berani menulisnya dalam kitabnya. Urutan nama-nama guru ke guru itu, namanya sanad. Sedangkan hadits “Innamal a’malu…” itu namanya “matan” hadits, isi hadits. Benar atau tidak, sahih atau batil urutan nama-nama yang disebut Imam Bukhari itu, dapat diverifikasi dalam kitab-kitab “Rijalul hadits” (sejarah para perawi hadits). Misal, benarkah Imam Bukhari berguru kepada Al-Humaidi; benarkah ia pernah bertemu; apakah ia pernah tinggal dalam satu kota yang sama? itu bisa ditelusuri dalam kitab-kitab “Rijalul Hadits” tersebut.
Nah, setelah kita memahami hadits bagaimana ia bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sekarang kita beralih kepada nasab. Misal, Ali bin Abu Bakar al-Sakran (w. 895 H.) menulis dalam kitabnya al-Burqoh bahwa susunan nasabnya adalah:
“Ali bin Abu Bakar bin Abdurrahman bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Sohibuddark bin Alwi al-Gayyur bin Muhammad Faqih Muqoddam bin Ali Walidul Fakihbin Muhammad Sohib Mirbat bin Ali Kholi Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa”.
Perhatikan, susunan nasab silsilah itu ada dalam kitab al-Burqoh, pembaca tentu sudah faham bahwa susunan nama-nama itu adalah matan (isi berita) dari kitab al-Burqoh. Bukan sanad berita. Isi beritanya bahwa Ali al-Sakran yang hidup di abad sembilan itu, mempunyai silsilah nasab sesuai dengan nama-nama tersebut. Lalu ia mendapatkan isi berita itu dari mana? Padahal nama-nama itu sebagian ada di abad kedelapan, sebagian lagi diabad ketujuh, sebagian lagi di abad keenam, sebagian lagi di abad kelima, sebagian lagi di abad keempat. Harus ada sanad. Mana sanadnya? Tidak ada. Jikapun ada sanad, misal ia menyebutkan bahwa berita itu ia terima dari si fulan, dari sifulan, dari sifulan dan seterusnya, kita akan dapat menilai bahkan memvonis apakah sanad yang disebutkannya itu sahih atau tidak. Dengan apa? Dengan kitab-kitab nasab dan sejarah. Apakah setiap pengakuan perawi itu sesuai dengan kitab-kitab di setiap masa atau tidak.
Susunan nasab Ba Alwi seperti di atas itu palsu. Ia tertolak saksi-saksi yang kokoh disetiap masa. Yaitu kitab-kitab nasab yang ditulis para ulama untuk menjaga kemurnian nasab sucu Rasulullah. Kitab nasab dan sejarah dari abad 4-9 Hijriah menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa tidak pernah hijrah ke Yaman dan Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Ubaidillah. Pernyataan sebaliknya baru muncul di abad sembilan. Sekali lagi, apakah Sang Professor punya dalil untuk membantahnya? Mari kita diskusikan.
Penulis berharap bagi yang mengenal Sang professor unutk menyampaikan kepadanya bahwa sangat terhormat sekali jika ia berkenan untuk berdiskusi dengan penulis tentang masalah ini. Tentu akan berdiskusi penuh ilmu dan bermartabat, mengingat segala capaian pendidikan formal Sang Professor dalam pendidikan formal yang dapat dipahami dari gelar-gelar yang terdapat di sebelum dan sesudah namanya.
Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani
RESIKO PERNIKAHAN SEDARAH DARI KLAN HABIB BA’ALWI DITINJAU DARI SISI GENETIKA
"Saya seorang Muslim dan agama saya membuat saya menentang segala bentuk rasisme. Itu membuat saya tidak menilai pria mana pun...
Read more