Setiap negara di dunia ini sejak awal abad 20 masehi dipastikan mempunyai tentara yang menjaga keamanan, ketertiban dan ketahanan wilayah kedaulatannya. Tidak terkecuali Indonesia yang sejak kemerdekaannya 1945 silam telah membangun tentaranya dengan nama TNI yaitu Tentara Nasional Indonesia, berkat pemikiran patriotik seorang Mayor Urip Sumoharjo yang saat itu mencetuskan perlunya negara memiliki tentara sekaligus sistem pertahanannya, dengan kata-katanya yang masyhur” aneh suatu negara zonder tentara”. 5 Oktober 1945 awal lahirnya tentara Indonesia.
Sebelumnya Indonesia diawali pemerintahan yang bercorak monarki antara lain Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Majapahit, kemudian disusul Kesultanan Demak Bintoro di akhir abad 15 masehi, Kesultanan Banten, Kesultanan Aceh, hingga Kesultanan Mataram yang pecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dengan ditandatanganinya perjanjian Giyanti th. 1755.
Kerajaan-kerajaan tersebut tercatat dalam sejarahnya memilki ketentaraan yang solid dan rapih, terutama kita mengenal pasukan Bhayangkari Kerajaan Majapahit yang dikomandoi oleh Bekel Gajah Mada, cikal bakal percontohan pasukan elit pengawal raja atau kini di era modern pasukan elit Indonesia seperti Kopassus, yang sebelumnya bernama RPKAD dan Kopassandha, tentunya bersamaan pula pertahanannya telah tertata dan tersistem.
Begitupun di dalam Kesultanan Banten yang awal berdirinya th. 1526 M telah mempunyai sistem dan tatanan ketentaraan yang rapih dan bagus. Sejak Panembahan Surasowan Maulana Hasanuddin bin Syaikh Syarif Hidayatullah, salah satu Wali Songo dan seorang Susuhunan di Cirebon telah memulai menata kerajaan yang bercorak Islam, dan bersamaan itu pula dibentuk ketentaraannya.
Maulana Hasanuddin untuk pertama kalinya menata keprajuritan atau ketentaraannya dengan membangun kapal-kapal laut, yang berukuran lebar 40 meter panjang 100 meter yang rerata berisi 800 hingga 900 orang prajurit. Ia telah menunjuk puteranya Pangeran Arya Sunyalaras untuk mengadakan puluhan unit kapal perang laut ke kesultanan Demak, berikut senjata meriamnya. Disamping kemudian, kesultanan Banten melakukan projek pembuatan kapal perang laut dibuat oleh tukang-tukang yang dipimpin langsung Pangeran Arya Sunyalaras berempat di Curug, orang sekarang mengenalnya area kapal bosok Curug Kota Serang kini.
Masih di abad 16 masehi, Panembahan Surosowan Maulana Hasanuddin menunjuk puteranya Maulana Yusuf untuk membentuk pasukan khusus, yang pergerakannya cepat dan sigap. Di sisi lain untuk menjaga wilayah laut Kesultanan Banten, telah dipercayakan pada Pangeran Arya Dillah terutama patroli pertahanan laut di luar teluk Banten, sebab untuk pertahanan kota Surosowan dipercayakan kepada Pangeran Arya Mandalika. Saling kerjasama antar putera-putera panembahan Surosowan hingga masing-masing putera ditugaskan sesuai kapasitasnya.
Menurut perspektif militer modern, pertahanan negara adalah juga pertaruhan kedaulatannya suatu negara. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 dijelaskan bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Dalam Pasal 30 Ayat 1 UUD 1945 juga disebutkan bahwa, “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”, Keikutsertaan warga negara dalam bela negara telah diatur dalam Pasal 9 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Dalam konteks sistem pertahanan kesultanan Banten dikenal dengan istilah sistem pertahanan strategi capit kepiting, yakni kapal induk pasukan laut memiliki ratusan kapal kecil hingga ada muncul persoalan keributan di laut teluk Banten, pasukan tersebut langsung bergerak untuk menyergapnya. Sementara pulau panjang jadi pusat atau titik koordinasi seluruh pasukan laut yang dipimpin Pangeran Arya Dillah, dan di Babad Banten disebut Ki mas Dillah.
Sementara strategi perang laut, Maulana Hasanuddin, diteruskan oleh Maulana Yusuf, Maulana Muhammad hingga pada Pangeran Abdul Qadir (di kemudian dikenal Sultan Abul Mafakhir Abdul Qodir) dengan menerapkan sistem atau strategi Urang Wuku. Dalam hal itu kesultanan Banten mempunyai kapal induk dan di sampingnya ratusan kapal kecil, samping kanan disebut kapal-kapal ngamuk, sedangkan di sebelah kiri kapal utama ada kapal kecil bernama trumbu.
Adapun untuk yang dikendarai oleh Maulana Muhammad ratu ing Banten di abad 16 masehi, kapal itu bernama Indra Jaladri, bahkan wafatnya sang sultan di geladak kapal akibat tembusan panah racun saat membawa ribuan pasukan menuju Palembang yang oleh Adipati Palembang bermaksud untuk meminta bantuannya dalam penanganan perompak yang merajalela saat itu terjadi pada th. 1597.
Kapal lain yang masih dibawah kendali kapal induknya, antara lain kapal singa putih, kapal singa hitam, dan kapal macan tutul semua kapal-kapal ada dalam sistem pertahanan kesultanan Banten, mereka pasukan kesultanan Banten yang naik di kapal perang laut terdiri dari pasukan Sekar Jaladri dan yang kedua adalah pasukan Jayeng Sekar.
Dalam buku Insulid, sumber dari catatan orang Belanda lebih luas dan detil mengenai sistem pertahanan kesultanan Banten yang gemilang di abad 16 hingga 17 masehi. Disamping data lokal sebagai penunjang data referensi yaitu Babad Banten.
Catatan dalam Insulid itu diterangkan bahwa sistem pertahanan perang dan sistem penyerangan dari kesultanan Banten tersebut adalah yang terbaik diantara sistem pertahanan dari kesultanan-kesultanan lainnya, yang cakupan wilayahnya terbentang dari Karawang hingga Champa (Sam), kini Myanmar, dan Vietnam. Bahkan satu-satunya kesultanan yang memiliki Armada kapal perang yang paling banyak hanya Banten hingga mencapai 1000 unit kapal, yang masing-masing berpatroli di seputar pulau panjang dan di teluk Banten.
Serang 10/3/2023
Oleh: Hamdan Suhaemi
Editor: Didin Syahbudin