Pesantren tertua ada di Banten, yaitu pesantren “Karang” ini berdasarkan warta Serat Centini sebagaimana dinarasiakan oleh Ahmad Baso dalam bukunya “ Pesantren Studies 2a” 2013. Pesantren ini sebagai tempat nyantri Syekh Amongraga (Jayengresmi, putra Sunan Giri Prapen), Syekh Ibrahim bin Abu Bakar dikenal juga dengan sapaan Ki Ageng Karang. Di pesantren ini juga diajarkan kitab pertanian selain kurikulum utama (Ushuluddin). Dari kurikulum ini terlihat ternyata tempo dulu pesantren telah juga berpikir maju. Karena mempelajari ikhwal bagaimana hidup dalam sosial kemasyarakatan era itu yang umumnya bertani. Maka tak heran dipesantren diajarkan ilmu pertanian.
Dalam Sejarah Banten pada paruh abad 17 hingga abad 18 Sultan Banten, Maulana Muhammad, cicit Sunan Gunung Jati sudah begitu intens terhadap budaya literasi ini dibuktikan dengan gerakan wakaf kitab untuk pesantren-pesantren di Banten. Salah seorang guru sang sultan, Syekh Muhammad Madani sah (populer dengan nama kyai Dukuh), adalah salah satu yang mendapatkan wakaf kitab-kitab tersebut. Ulama dari Madinah ini mendidirkan pesantren diluar istana sehingga mendapat gelar pangeran Kasunyatan (Ahmad Baso, 2013).
Sejak Abad 17 Banten disebut sebagai salah satu pusat kesastraan dan pengetahuan pesantren, bersama-sama dengan Cirebon, Ponorogo dan Giri (Ahmad Baso, 2013). Semuanya ini adalah pusat-pusat pengolahan pengetahuan pesantren, dan sekaligus sebagai pusat penyalinan (sciptorium). Dibuktikan banyaknya teks-teks pesantren berasal dari daerah tersebut. Penulis-penulis Nusantara juga banyak yang berasal dari Banten. Yang terkenal diantaranya adalah Abdullah bin Abdulkahar al-Jawi di abad 18, dan Saidul ulama Hijaz yaitu Syekh Nawawi al-Bantani di abad 19. Ada pula penulis-penulis dari luar datang ke Banten untuk menekuni kegiatan tulis menulis naskah. Seperti Abu Bakar bin Abdullah as-Surabayi yang menulis di Banten sekitar tahun 1085 H atau abad 17.
Dari bukti-bukti tersebut Banten tempo dulu merupakan pusat peradaban kitab, dan menjadi salah satu kiblat pendidikan keislaman di abad 16 dan 17. Bahkan hingga kini sisa-sisa peradaban itu masih bisa terlacak dengan mudah. Karena di Banten masih ada pesantern tradisional salafiyah yang original melaksanakan pengajian atau bisa dikatakan pusat kajian tafaquh fiddin sebut saja pesantren spesialisai “ Fathul Mu’in” pesantren Caringin Cisoka santrinya berasal hampir dari seluruh wilayah Indonesia. Pesantren ini masih tetap memelihara tradisi keunikannya, tak sedikitpun tergerus arus modernisasi.
Dari catatan kilat lonpatan sejarah tersebut tak berlebih rasanya RMI PWNU provinsi Banten ingin menggelorakan kembali keadaban pesantren di Banten, sebagai basis pertahan ideologi aswaja an-nahdliyah yang telah mengakar pada grassroot Banten khusunya umumnya warga Nusantara. Menggelorakan kembali dengan semangat baru, karena prinsip manhaj RMI adalah al-Akhdu bi al- jadidi al ashlah dalam artian progresive dalam rangka kebaikan. Disamping prinsip al-mukhafadah al-qadim as shalih (memelihara tradisi baik).
Diantara gelora itu adalah tertuang dalam restra RMI PWNU provinsi Banten yang telah digodog dalam rapat kerja wilayah RMI PWNU Banten. Kegiatan tersebut juga diselingi kegiatan seminar yang dinarasumberi ketua umum RMI PBNU Gus Rozin, Kyai Eunterpreuneur kebanggaan provinsi Banten Gus Syauqi Ma’ruf Amin pengasuh popes An-Nawawi al-Bantani. Tema yang di usung dalam seminar tersebut adalah Santri, Cyber War, dan soft Literasi.
Secara garis besar program unggulan tersebut di gawangi oleh 4 devisi; yaitu, 1) Devisi Kajian, Pendidikan, Kaderisasi, dan pemeliharaan tradisi. 2) Perekonomian dan Kerjasama antar Pesanten. 3) Pusat Informasi media dan data. 4) Advokasi dan pemberdayaan Masyarakat.
4 devisi ini merupakan ujung tombak bagaimana merevitalisasi pesantren dalam menghadapi era industri 4.0 bahkan menuju era industri 5.0 dimana lonceng penandanya sudah mulai samar terdengar namun pasti tak akan bisa terhindarkan.
Revolusi Industri 4.0 membawa dampak terhadap tatanan kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Internet of things, artificial intellegence, big data. Semuanya menuntut adanya respon yang tepat; tak sepenuhnya larut dalam perubahan, tetapi memberi warna dan arah ke mana perubahan itu harus menuju. Pesantren dengan tetap mempertahankan karakteristiknya berkarya untuk merespon perubahan zaman. Tak hanya handal dan cakap dengan keterampilan abad 21, tetapi juga memiliki moral, integritas, dan komitmen kebangsaan, dan Islam Rahmatan lil alamin.
Warga pesantren dalam hal ini santri, sejatinya mereka adalah yang paling otoritatif ketika berbicara tafaquh fiddin tenimbang institusi lain di luar pesantren. Mengapa santri atau pesantren sebagai wadahnya. Karena di pesantren sesungguhnya tempat menempa insan berbagai disiplin kegamaan komprehensif. Mengkaji proses bagaimana hukum itu di produksi (istimbatul hukmi) sehingga menghasilkan pemahaman santri moderat, toleran, tawazun, serta i’tidal.
Suber utama kajian pesantren adalah kitab kuning sebagai ciri khas. Pembeda dengan institusi lain. Maka aneh bin ajaib jika ada mendaulat dirinya sebagai lembaga pesanten, namun sama sekali kurikulumnya tidak ada kajian kitab kuning, yang familier di Nusantara bahkan di seluruh belahan bumi Islam era abad 16-17. Sebut saja kitab tafsir Jalalein. Ilmu Fiqh fathul Qarib, atau fathul mu’in. Ilmu Tasauf Ihya Ulumuddin. Ushul Fiqh Jami’ul Jawami, ilmu bad’inya sulamul munawaroq dan Syamsiah.
Atas dasar itu Devisi kajian, pendidikan, kaderisasi memiliki program unggulan bagi warga pesanten mengupgrade kembali pemahaman pesantren dari tataran ilmu menuju tataran aktualisasi, mengejawantahkan fiqh muamalat, bu’yu. Dikemas dalam fiqh pasar kekinian dalam rupa pasar virtual berbasis aplikasi, atau tempat bertanya bagi milenial seperti aplikasi Hallo Kyai.
Lain devisi kajian, maka lain pula program unggulan devisi adokasi. Devisi advokasi ini program unggulannya adalah bagaimana fiqh siasah, imamah terejawantahkan dalam kehidupan yang dinamis, dalam bingkai national state tanpa harus tergoda oleh rayuan Khilafah yang menggunakan pemenis agama. Karena khilafah sendiri adalah produk sejarah sama seperti faham national State. Dari itu santri-santri “NU” tak alergi dengan istilah Nasionalisme, Cinta Tanah air, Pancasila. Santri-Santri NU sama sekali tak membenturkan Dasar negara dengan dasar asasi agama. Karena memiliki cara kerja masing-masing. Dan secara substansi pancasila merupakan nilai-nilai yang tgertuang dalam kitab suci.
Berbicara pesantren tempo dulu bukan hanya sebagai apologia semata. Tetapi memang nyata jika pesanttren era dulu merupakan institusi pembangun peradaban adi luhung, dari didikan pesantren An-Nawawi al-Bantani dikenal di Kawasan Asia-Africa. Syekh Nawawi masuk kategori ulama generalis, karena ragam disiplin keilmuan dikuasai mulai dari fiqh, ushul fiqh, tafsir, bahasa, kalam, tauhid bahkan sosial antrofologi kemasyarakatan. Lihat saja bagaimana tradisi prihidup kebantenan sosial kemasyarakatan dihidangkan dalam kitab-kitabnya. Termasuk alat ukur timbangan “Cayut”.
Pesantren sebagai sub kultur Gus Dur menyebutnya. Sudah seharusnya pesantren mendapat perhatian utuh dan menyeluruh, karena pesantren ini yang memiliki jejak panjang bagaimana negeri ini didirikan. Jadi kepedulian pemerintah terhadap pesantren yang diejawantahkan melalui regulasi UU Pesantren patut diapresiasi sekaligus dikritisi. Agar pesantren tetap dalam kemandiriannya tanpa harus dintervensi secara signifikan. Karena ada hal-hal yang sakral dalam tradisi pesanten semisal tradisi bandongan, wetonan, sungkem dan cium tangan.
Didaerah tertentu sudah bergulir perda pesantren, pun di Banten sedang digodog raperda pesanten. Ini sebagai penanda bahwa pemerintah daerahpun sepakat pesantren perlu perhatian. Bahkan jauh sebelum UU pesantren di sahkan oleh JOKOWI, Banten telah mengalokasikan dana Hibah bagi pondok pesantren. Di masa Gubernur WH hibah pesantren jumlahnya semakin signifikan.
Semoga kedepan dana-dana bagi keberadaan pesantren tidak sebatas bagi-bagi subangan, tanpa ada hasil yang signifikan bagi keadaban pesantren. Sebagaimana dulu pesantren menjadi lokomotif peradaban, sekaligus keadaban. Smoga.
Oleh: AA Bass
Koordinator Kajian, Pendidikan, Kaderisasi, dan Pemeliharaan Tradisi RMI PWNU Prov. Banten.
Ketua Lakpesdam PCNU Kab. Tangerang.