Oleh: K.H. Imaduddin Utsman Al-Bantanie
Diskusi Publik yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabian Kepada Masyarakat (LP2M) UIN Walisongo ini bertema: “Migrasi, Agama, dan Peran Sosial Keagamaan Klan Ba’alwi di Indonesia”. Sepertinya, penulis diundang lebih untuk membahas kaitan antara migrasi mereka dengan klaim mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. disengaja ataupun tidak, klaim sebagai keturunan Nabi itu, tentu sedikit banyak menjadi salah satu instrumen kemudahan mereka ketika melakukan migrasi ke kawasan-kawasan berpenduduk muslim. Tesis penulis yang mengatakan bahwa Klan Ba’alwi terbukti bukan keturunan Nabi Muhammad SAW, rupanya membuat LP2M melihat masalah ini laik untuk didiskusikan guna melihat adanya korelasi antara migrasi mereka ke berbagai kawasan dan penerimaan masyarakat lokal kepada mereka, dengan klaim mereka sebagai keturunan Nabi.
Dalam diskusi publik ini, rupanya Professor Sumanto al-Kurtubi lah yang akan membawakan materi dinamika migrasi Ba’alwi dan peran sosial-keagamaannya, sedangkan penulis lebih khusus akan membahas tentang postulat penulis yang telah diketahui public bahwa Klan Ba’alwi bukanlah keturunan Nabi Muhamad SAW.
Klan Ba’alwi Mengklaim Keturunan Nabi Muhammad SAW Sejak di Hadramaut
Identitas individu yang memiliki ketersambungan genealogi dengan Nabi Muhammad SAW, menjadi daya tarik tersendiri dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Ia terkait dengan sebagian tafsir keagamaan yang muncul khususnya dari sekte Syi’ah tentang “orang-orang suci” (para imam) dari keturunan Nabi yang disebut sebagai pewaris kekhalifahan yang sah sepeninggal Nabi. Proposisi yang mirip dengan tafsir keagamaan di atas namun dilatarbelakangi reason teologis yang berbeda terdapat dalam faham keagamaan mayoritas madzhab sufi dalam tradisi Ahlusunnah Wal jama’ah yaitu: kewajiban mencintai Ahlu bait al Nabiy (Ali, Fatimah, Hasan dan Husain) dan anjuran menghormati keturunannya.
Sebagai imigran, Ba’alwi menghadapi kompetisi ketat untuk merebut otoritas keagamaan di Hadramaut yang sejak ratusan tahun silam memiliki prestasi melahirkan ulama-ulama besar dengan otoritas persuasif yang kuat. Untuk interest itu, Ba’alwi memerlukan substitusi dari identitas lama, yaitu mereka bukan hanya ulama tetapi juga sebagai klan yang memiliki konektifitas genealogi dengan Nabi Muhammad SAW. Klaim itu tidak berjalan mulus, ulama-ulama yang mengetahui latar belakang mereka menolak klaim itu. Dalam kitabnya Al Burqat al Musyiqah, Ali al Sakran menggambarkan: adanya orang-orang hasud kepada keluarga mereka yang tidak mempercayai mereka sebagai keturunan Nabi.[1]
Nampaknya, penolakan dari ulama-ulama di abad ke-9 H itu tidak diprasastikan dalam bentuk tulisan. Sementara usaha-usaha pemasaran dan peyakinan dari klan Ba’alwi bahwa mereka keturunan Nabi ditulis dalam berbagai kitab mulai abad ke-9 H sampai hari ini. Yang demikian itu, kemudian membuat kesan sekilas bahwa pada abad ke-9 H itu mereka sudah “Syuhrah Wa al-Istifadloh” sebagai keturunan Nabi. Kendati demikian, tersisanya ulama di Yaman hari ini yang tidak mempercayai Ba’alwi sebagai keturunan Nabi, adalah sebuah ciri bahwa tradisi ketidakpercayaan itu tetap dirawat oleh komunitas keulamaan tertentu di sana.
Pemasaran dan publikasi terhadap penduduk di sana tentang produk bahwa mereka adalah keturunan Nabi, dilakukan klan Ba’alwi bukan hanya dengan relasi konvensional antara murid dan guru, tetapi juga dengan doktrinasi transcendental- metafisik yang sulit ditagih scientific evidence (bukti ilmyah)-nya. Kita ambil sebuah contoh, Ali bin Abu Bakar al-Sakran dalam Al-Burqat menyatakan bahwa ia mendengar sebuah cerita bahwa ada sebagian orang pilihan telah bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW di atas sebuah bukit di Tarim, lalu Nabi berkata: “Wahai penduduk negeri ini, aku mempunyai titipan untukmu (Ba’alwi) barang siapa membenci mereka maka mereka membenci aku, barang siapa membuat rida mereka maka ia membuat aku rida”.[2]
Klan Ba’alwi Seharusnya Diabaikan Ketika Mengaku Keturunan Nabi Muhammad SAW
Bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan DNA, hari ini kita dapat mengetahui hubungan biologis antara seorang individu dengan individu lainnya. Apabila pola kromosom Y tidak sama (tidak cocok) maka akan memberikan akurasi 100% kedua laki-laki tersebut bukanlah saudara dari garis ayah.[3] Jika hari ini ada dua laki-laki yang sama-sama mengaku keturunan garis ayah dari Nabi Muhammad SAW, maka ia harus bertemu di kakek bersama sekitar 1500 tahun yang lalu. Jika dua laki-laki hari ini mengaku sebagai keturunan garis ayah dari Nabi Ibrahim AS, maka ia harus bertemu di kakek bersama sekitar 5000 tahun yang lalu. Laki-laki yang hari ini berhaplogroup G dengan laki-laki berhaplogroup J1 baru bertemu di kakek bersama di sekitar 45.000 tahun yang lalu. Jika dua laki-laki tersebut sama-sama mengaku keturunan Nabi Muhammad SAW, maka keduanya pasti ada yang palsu karena Nabi Muhammad SAW terverifikasi sebagai sosok historis pada 1500 tahun yang lalu. Lalu menurut para pakar DNA, Nabi Muhammad SAW itu tergolong berhaplogroup apa?
Professor Ubaidillah, seorang pakar DNA dari Timur Tengah, sebagaimana termuat dalam buku Muqaddimat ‘Ilm al-Ansab, mengatakan:
“Setelah meneliti dan melakukan banyak tes dan analisis laboratorium terhadap DNA untuk mengetahui keragaman ras manusia, para peneliti menemukan bahwa warisan genetik Arab termasuk dalam ras tersebut (J1). Peneliti Profesor Ali bin Muhammad Al- Shehhi mengatakan: Kita dapat memberi nama pada jenis J1 dengan DNA suku Arab…Para peneliti juga menemukan bahwa gen Ismail bin Ibrahim, dengan dua cabangnya: Adnani dan Qahtani, terkelompokan ke dalam J1c3d.” [4]
Berikut ini daftar haplogroup Y DNA yang dimuat kitab Muqaddimat Fi ‘Ilm Al-Ansab[5]:
- Haplogroup A: adalah haplogroup untuk keturunan bangsa Etiopia, Sudan,
- Haplogroup B: Afrika
- Haplogroup C: India, Srilangka, Asia Tenggara,
- Haplogroup D: Asia tengah, Mongoloia, Selatan Asia.
- Haplogroup E: Afrika.
- Haplogroup G: Utara Asia Tengah, Pakistan, Afganistan. Haplogroup G Disebut Haplogruop Kaukasus kerena ke luar dari haplo ini 2 % dari penduduk barat laut Eropa, 8-10 % dari penduduk Asbania, Italia, Yunan, Turki, 30% dari penduduk Georgia dan Azerbaijan, 50% dari penduduk Ositia Utara, 18% dari orang Druze, 10% dari Yahudi Askenazi, dan 20% dari Yahudi Maroko.
- Haplogroup R: Utara laut hitam dari Orasia, Eropa Timur, India, Irlandia.
- Haplogroup I: Eropa, Viking.
- Haplogroup H: India Dravida, Pastun, Iran.
- Haplogroup L: India
- Haplogroup M: Guinea
- Haplogroup N: Utara Asia, Cina, Mongolia,
- Haplogroup O: Asia Timur, Cina, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Korea, Jepang.
- Haplogroup K: Iran, Mesir, Papuanugini.
- Haplogruop Q: Amerika
- Haplogroup S: Papuanugini, Indonesia, Melanesia
- Haplogroup T: Iran, Mesir, Afrika.
- Haplogroup J: Timur Tengah, Arab Syamiyah.
- Haplogroup J2: Asia Tengah, Iran, India, Kurdi.
Prof Ubaidillah juga mengatakan[6]:
“DNA adalah stempel yang dijadikan pegangan di masa depan. Ia adalah hukum pasti bagi pengakuan nasab perorangan atau kelompok. Dan akan membawa keengganan untuk meneliti surat-surat dan manuskrip-manuskrip sejarah masa lalu yang berkaitan dengan nasab. DNA pula akan menggantikan stempel para syekh dan ahli nasab karena ilmu nasab adalah ilmu riwayat yang bersifat dzanni…ilmu DNA akan merubah ilmu nasab dari ilmu dzanni yang bersifat tarjih yang terkadang terjadi pemalsuan menjadi ilmu yang rasional yang terhormat yang berdasar hasil-hasil tes yang presisi yang tidak akan salah dengan kekuasaan, hikmah, dan pengaturan Allah Azza wajalla”.
Dari sini penulis mengatakan bahwa pengakuan Klan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW seharusnya diabaikan. Karena berdasarkan tes DNA para individu dari Klan Ba’alwi diperoleh hasil bahwa mereka terkelompokkan dalam Haplogroup G, bukan J1. Berdebat tentang keabsahan surat dari sebuah kalung emas tidak ada gunanya, jika setelah diperiksa bahwa kalung itu ternyata bukan terbuat dari emas tetapi hanya tembaga biasa. Individu atau komunitas tertentu yang mengaku memiliki konektivitas genealogi kepada Nabi, ketika terjadi khilafiyah secara ilmu nasab dan sejarah, baru dianggap laik untuk ditelusuri setelah lulus uji DNA. Jika DNA-nya saja sudah melenceng, maka penulusuran ilmu nasab dan sejarah itu menjadi kontraproduktif, tidak signifikan dan absurd.
Tetapi tidak salah juga jika setelah kita mengetahui bahwa kalung emas itu adalah palsu, kita tetap menelusuri sebenarnya siapa yang telah mengeluarkan surat kalung itu, agar diketahui siapa yang memalsukan.
KLaim-Klaim Sejarah dan Nasab Ba’alwi di Abad Sembilan Hijriah
Klan Ba’alwi, di abad sembilan mengklaim dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Ahmad bin Isa yang hidup di abad 3-4 Hijriah. Untuk menyambungkan historiografi dan genealogi mereka dengan Ahmad bin Isa, mereka mengklaim bahwa Ahmad bin Isa Hijrah dari Bashrah ke Hadramaut; mereka menyambungkan silsilah mereka dari abad sembilan Hijriah sampai abad ke-4 Hijriah sebagai berikut: Ali (w. 895 H.) bin Abubakar al Sakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi al-Gayyur bin Muhammad (Faqih Muqoddam) bin Ali bin Muhammad (Sahib Mirbat) bin Ali Khaliqosam bin ‘Alwi (w.400 H>.) bin Ubaid/‘Ubaidillah/Abdullah (w.383 H.) “bin” Ahmad (w.345 H.) bin ‘Isa al-Naqib (w.300 H.) bin Muhammad al-Naqib (w.250 H.) bin ‘Ali al-‘Uraidi (w.210 H.) bin Ja’far al-Sadiq (w.148 H.) bin Muhammad al-Baqir (w.114 H.) bin ‘Ali Zaenal Abidin (w.97 H.) bin Sayidina Husain (w.64 H.) bin Siti Fatimah al-Zahra (w.11 H.) binti Nabi Muhammad Saw. (w.11 H.).[7]
Klaim nasab tersebut batal berdasar kesaksian kitab-kitab nasab abad ke-5 sampai ke-9 Hijriyah bahwa Ahmad tidak punya anak bernama Ubaid/Ubaidillah/Abdullah. Diantara kitab-kitab nasab yang ditulis di abad ke-5-9 Hijriah adalah: Tahdzib al-Ansab karya Imam Al Ubaidili (w.437 H.), Al-Majdi karya Al-Umari (w. 490 H.), Muntaqilat al-Tahalibiyah karya Ibnu Thabathaba (w. 400-an H.), Al-Syajarah al-Mubarakah karya Imam Al-Fakhrurazi (w.606 H.), Al-Fakhri fi Ansab al-Thalibin karya Azizuddin Abu Tolib Ismail bin Husain al-Marwazi (w.614 H.), Al-Ashili fi Ansab al-Thalibiyyin karya Shofiyuddin Muhammad ibnu al-Thaqthaqi al-Hasani (w.709 H.), Al-Tsabat al-Mushan karya Ibn al- A’raj al-Husaini (w.787 H.), Umdat al-Talib karya Ibnu Inabah (w.828 H.) .
Nama Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa secara formal baru muncul dalam kitab keluarga Ba’alwi, Al-Burqat al-Musyiqat karya Ali bin Abubakar al-Sakran (w.895 H.), setelah 550 tahun wafatnya Ahmad bin Isa. Kitab nasab dan sejarah setelah abad ke-9 yang menulis Ubed sebagai anak Ahmad bin Isa kesemuanya akan bermuara merujuk kepada kitab Al-Burqat tersebut.
Urutan silsilah seperti itu diokulasi Ali bin Abubakar al-Sakran dari kitab Al-Suluk karya Al-Janadi (w.732 H.) ketika menyebut seorang ulama bernama Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Ali bin Muhammad bin jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa.[8] Menurut Ali al-Sakran, Jadid bin Abdullah yang terdapat dalam silsilah itu adalah saudara laki-laki dari Alwi bin Ubaid. Lalu Ubaid itu adalah nama lain dari Abdullah. Klaim Ali al-Sakran ini tanpa dalil. Tidak ada kitab-kitab nasab atau sejarah yang mengkonfirmasi bahwa Jadid adalah saudara dari Alwi. Terlepas dari bahwa informasi Al-Suluk tentang nasab Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa itu tertolak kitab-kitab nasab, bahwa klaim adanya ikatan persaudaraan antara Jadid dan Alwi itupun tertolak juga karena diambil dari ruang hampa tanpa ada bukti dan dalil. Jadi, usaha Ba’alwi untuk melakukan okulasi silsilah kepada Nabi ternyata mengambil batang yang salah.
Ahmad bin Isa Bergelar “Al-Muhajir”?
Ahmad bin Isa, dalam historiografi internal Ba’alwi bergelar “Al-Muhajir”. Gelar ini sebagai alibi bahwa narasi Ahmad bin Isa mempunyai keturunan di Hadramaut itu reliabel, karena ia berpindah dari Bashrah ke Hadramaut dan kemudian menetap di sana, buktinya ia bergelar “Al-Muhajir”. Padahal, tidak ada kitab sezaman atau yang mendekati Ahmad bin Isa yang menyatakan ia berhijrah ke Hadramaut, seperti tidak juga ada dalil bahwa ia bergelar “Al-Muhajir”. Kitab-kitab nasab dari mulai abad ke-5 sampai abad ke-9 tidak ada yang menginformasikan bahwa Ahmad bin Isa berhijrah dari Bashrah ke Hadramaut; tidak ada pula dari kitab-kitab tersebut yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa bergelar “Al-Muhajir”.
Ahmad bin Isa Di Makamkan Di Hadramaut
Ba’alwi ber-hujjah (alasan) hijrahnya Ahmad bin ‘Isa ke Hadramaut itu valid dan relaibel dengan dalil adanya bukti arkeologis berupa makam Ahmad bin ‘Isa di Husaysah, Hadramaut. Pertanyaannya, apakah benar makam yang diklaim sebagai makam Ahmad bin ‘Isa itu asli? Apakah makam itu sudah dikenal sejak wafatnya Ahmad bin ‘Isa tahun 345 H.? Sumber sezaman atau yang mendekati apa yang bisa memberi kesaksian bahwa benar Ahmad bin ‘Isa dimakamkan di Husaysah?
Al-Janadi (w.732 H.), sebagai sejarawan yang gemar merekam adanya makam tokoh yang diziarahi orang, tidak mencatat di Husaysah ada makam Ahmad bin ‘Isa. Ia merekam keberadaan makam dua orang anak yang popular di Shan’a di sebuah masjid yang dikenal dengan Masjid Al-Syahidain;[9] ia juga merekam makam seorang dokter Irak yang dianggap pahlawan di Qinan dan ia berziarah di sana.[10] Tetapi ia tidak merekam adanya makam Ahmad bin ‘Isa. Artinya pada tahun 732 H>. itu, makam Ahmad bin ‘Isa belum dikenal (dibaca ‘tidak ada’) seperti saat ini. Telah berjarak 387 tahun sejak wafatnya, makam Ahmad bin ‘Isa belum dikenal orang.
Lalu kapan mulai adanya cerita bahwa Ahmad bin ‘Isa dimakamkan di Husaysah? Berita awal yang didapatkan adalah berita dari Bamakhramah (w.947 H.) dalam kitabnya Qala>dat al-Nahr Fi Wafiyya>t A’yan al-Dahr. Dalam kitab tersebut disebutkan, ada dua pendapat mengenai makam Ahmad bin ‘Isa: Pendapat pertama mengatakan ia wafat dan dimakamkan di Husaysah; pendapat kedua mengatakan ia wafat di Qarah Jasyib.[11] Lalu berdasar apa makam Ahmad bin ‘Isa ini dipastikan ada di Husaisah seperti yang sekarang masyhur sebagai makamnya? Bamakhromah menyebutkan bahwa makam itu diyakini sebagai makam Ahmad bin ‘Isa karena ada Syekh Abdurrahman menziarahinya, dan ada cahaya yang dapat dilihat dari tempat yang diyakini sebagai makam Ahmad bin ‘Isa itu.[12]
Seperti itulah makam Ahmad bin ‘Isa ditemukan, yaitu bukan berdasarkan naskah yang menyatakan bahwa ia memang dimakmkan di Husaysah, dan bukan karena memang makam itu telah ada sejak hari wafatnya yaitu tahun 345 H., tetapi diitsbat berdasarkan ijtihad. Berarti makam Ahmad bin ‘Isa baru ditemukan, bahkan dibangun, di abad sembilan atau sepuluh Hijriah, yaitu sekitar 602 tahun setelah hari wafatnya. Dari sana, keberadaan makam Ahmad bin ‘Isa di Husaysah ini, berdasar kesimpulan tidak adanya peristiwa hijrah-nya ke Hadramaut, sangat meyakinkan untuk dikatakan bahwa makam itu adalah makam palsu.
Historiografi Tokoh Ba’alwi Yang Tidak Terkonfirmasi Kitab Sezaman Atau Yang Mendekati
Cerita tentang Ahmad bin ‘Isa, bahwa ia seorang “imam” dan ulama tidak terkonfirmasi sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya, demikian pula ketokohan Ubaid atau Ubaidillah. Dalam literatur ulama Ba’alwi, Ubaid ditulis wafat tahun 383 Hijriah. Ia seorang Imam yang dermawan; seorang ulama yang “rasikh” (mendalam ilmunya); guru para ”Syaikul Islam”; pembuka kunci-kunci ilmu yang dirahasiakan; Tiada ditemukan yang menyamainya (dizamannya). Demikian sebagian yang ditulis ulama Ba’alwi tentang Ubaidillah hari ini.[13] Anehnya, seorang “Imam Besar”, yang hidup di abad empat Hijriah, sejarahnya gelap gulita pada masanya. Tidak ada satu kitab-pun membicarakannya. Jika ia imam, tidak ada seorang pengikutnya-pun mencatatnya. Jika ia guru para “Syaikhul Islam”, tidak ada seorang ”Syaikhul Islam”-pun menyebut namanya, mengutip pendapat gurunya, bahkan walau hanya menulis namanya dalam silsilah sanad keguruannya. Ia benar-benar “orang besar” yang mastur dan misterius.
“Imam Besar” ini hidup di Abad empat hijriah, katanya, ia lahir dan tumbuh besar di Basrah, lalu umur duapuluh tahun hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut, Yaman. Di Abad itu, di Basrah dan di Yaman, puluhan kitab ditulis, ratusan ulama hidup bergaul satu dengan lainnya, namun, diantara mereka, seorangpun tidak mencatat interaksinya dengan Ubaidillah. Kemanakah Ubaidillah sang “Imam Besar” ini bersembunyi? Nama Ubaidillah dan biografi hidupnya, baru muncul 512 tahun setelah wafatnya. Sosoknya, pertama kali di munculkan oleh ‘Ali al-Sakran (w. 895 H). Bukan hanya menyebut nama dalam rangkaian silsilah, Al-Sakran, bahkan, telah berhasil mengungkap ketokohan Ubaidillah. Sesuatu yang tidak diketahui oleh ulama yang hidup sezaman atau berdekatan dengan Ubaidillah, dapat diketahui oleh Al-Sakran tanpa sumber-sumber pendukung apapun. Al-Sakran adalah pioneer dalam meruntut “sejarah” Ubaidillah, dan sukses menjadikannya sebagai sosok “menyejarah”. Demikian pula tokoh lain dalam silsilah Ba’alwi seperti Alwi pertama, Muhammad dan Alwi kedua, sosoknya yang begitu punya peran penting dalam redaksi kitab-kitab Ba’alwi, tidak terkonfirmasi sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya, semuanya kembali kepada kitab Al-Burqat al-Musyiqat di abad ke-9 Hijriah.
Muhammad bin ‘Ali (w.556 H.) yang diberi gelar “Sohib Mirbat” oleh penulis Ba’alwi. Sosoknya ditulis oleh Muhammad bin ‘Ali Khirid Ba’alwi sebagai “ima>man mutqinan” (imam yang menguasai ilmu dengan dalam); “wahidu asrihi fi al-ilmi wa al-‘amal” (paling berilmu dan beramal di masanya).[14] Tetapi sosoknya sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama, baik ulama nasab maupun ulama sejarah dan tabaqat (biografi ulama). Alwi bin Tahir dalam kitab Uqud al-Almas mengatakan bahwa Muhammad “Sahib Mirbat” adalah penyebar Madzhab Syafi’I di Hadramaut, Difar dan Yaman dan para ulama-ulama di Mirbat adalah murid-murid Muhammad “Sahib Mirbat.[15] Berita semacam itu pun tidak bisa dikonfirmasi oleh sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya. Berbeda dengan ulama di Mirbat lainnya yang terkonfirmasi kitab-kitab sezaman atau yang mendekatinya, seperti Muhammad bin ‘Ali al-Qol’iy (w.577 H.), dari tahun wafatnya kita melihat bahwa ia hidup sezaman dengan Muhammad “Sahib Mirbat”.
Al-Janadi dalam Al-Suluk menyebut ulama-ulama di Mirbat itu adalah murid-murid Imam al-Qol’iy.[16] Al-Janadi banyak menyebut nama-nama ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut ada seorang ulama di Mirbat bernama Muhammad “Sahib Mirbat”. Begitu pula Ibnu Samrah al-Ja’diy (w.587 H.) dalam kitabnya Tabaqat Fuqaha al-Yaman ia menyebut nama Imam al-Qol’iy sebagai ulama di Mirbat, tetapi ia tidak menyebut nama Muhammad “Sahib Mirbat”.[17] Bahkan, gelar Sohib Mirbat, terkonfirmasi bukan gelar untuk Muhammad bin ‘Ali, tetapi ia adalah gelar yang diberikan kepada Penguasa di Kota Mirbat yang bernama Muhammad bin Ahmad al-Ak’hal al-Manjawi. Ia yang disebut terakhir, adalah sosok historis yang hidup satu masa dan satu kota dengan Muhammad bin ‘Ali “Sahib Mirbat” Ba’alwi. Al-Ak’hal adalah penguasa terakhir Kota Mirbat dari Dinasti al-Manjawi. Muhammad al-Ak’hal Sohib Mirbat disebut al-Ak’hal karena memakai celak dimatanya atau karena matanya ada tanda hitam sejak lahir. Ibnul Atsir, pakar sejarah abad ke-7 dalam kitabnya Al-Kamil fi al-Tarikh menyebutkan bahwa di tahun 601 Hijriah, Muhammad al-Ak’hal Sohib Mirbat, digantikan oleh mantan menterinya yang bernama Mahmud bin Muhammad al-Himyari.[18] Sementara Muhamad bin ‘Ali Ba’alwi, namanya tidak tercatat sebagai apapun, dengan gelar ataupun tanpa gelar; dengan disebut ulama ataupun bukan. Jika ia benar-benar sosok historis, kemana ia bersembunyi di Kota Mirbat, sampai ulama pengarang kitab sejarah tak mencatatnya, padahal ulama lainnya tercatat dalam sejarah Mirbat?
Keberadaan makam Muhammad bin ‘Ali “Sohib Mirbat” hari ini pun patut kita telusuri keasliannya. Benarkah makam itu ada di Mirbat sejak abad ke-6 Hijriah? Makam Muhammad “Sohib Mirbat” hari ini mempunyai batu nisan dengan ukiran yang bagus. Inskripsi batu nisan itu berangka tahun 556 Hijriyah. Apakah benar batu nisan itu dibuat tahun 556 H? Di Yaman abad ke enam belum dikenal seni pahat batu. Hal tersebut difahami dari bahwa para raja yang berkuasa di Yaman pada abad enam dan sebelumnya, dari Dinasti Al-Manjawih dan dinasti Al-Habudi, makamnya tidak ada yang berbatu nisan dengan pahatan kaligrafi. Bagaimana “orang biasa” nisannya berpahat indah dengan harga yang mahal, jika rajanya saja tidak?
Sejarah Muhammad bin ‘Ali (w.652 H.) yang kemudian diberi gelar “Al-Faqih al-Muqoddam” oleh penulis-penulis Ba’alwi, kesejarahannya juga tidak tereportase para ulama sezaman. Muhammad Diya’ Sahab dalam Hamisy Syams al-Dahirat menyebutkan tentang Faqih Muqoddam: Ia adalah salah seorang yang paling popular; ia seorang ulama besar yang berhasil mengumpulkan ilmu dan amal; ia adalah ulama yang telah laik berijtihad karena telah mencapai derajat ilmu riwayat dan ilmu logika. Karena itulah ia bergelar “Al-Faqih al-Muqoddam” (Rajanya ahli fikih) dan “Al-Ustad al-A’dzam” (guru besar). Tidak ada ulama sebelumnya yang bergelar seperti dia; Ia adalah seorang “Al-Muhaddits” (ahli hadits), “Al-Mudarris” (dosen), mursyid tarekat, dan juga seorang “mufti” (ahli fatwa). Ia adalah tempat berlindung bagi orang lain.[19] Lalu, apakah ulama-ulama pada zamannya mereportase sosoknya sebagai sosok kesejarahan yang luar biasa seperti disebutkan itu? Sayang, sosok Faqih Muqoddam ini sama sekali tidak tereportase oleh ulama-ulama sezaman sebagaimana fenomena kesejarahanya hari ini yang kita kenal yang penuh dengan keluarbiasaan. Sosoknya sunyi di tengah masifnya kitab-kitab ulama yang ditulis di masa itu. Jangankan di dunia Islam secara luas, di sekitar Yaman saja, namanya di masa itu tidak terkonfirmasi. Kitab Al-Suluk (732 H.) dan kitab Tabaqat Fuqaha al-Yaman (586 H.) pun tidak menulis namanya. Namanya muncul, berbarengan dengan kemunculan nasab Ba’alwi dalam kitab Al-Burqat al-Musyiqat.
Interpolasi dan Moral Ilmiyah Ba’alwi
Kajian literasi nasab Ba’alwi yang penulis lakukan mengarah kepada kesimpulan adanya pola dan algoritma dari sebuah kontruksi sejarah yang sengaja diciptakan bukan berdasar fakta sejarah sesungguhnya. Historiografi dari sebuah hipotesa dari sebuah komunitas tertentu yang memiliki irisan dengan kepentingan tertentu, patut dicurigai validitasnya. Yusuf jamalulail men-tahqiq kitab Abna’ al-Imam fi Mishra wa Syam al-Hasan wa al-Husain. Kitab tersebut karya Ibnu Tabataba. Mengenai hari wafatnya pengarang ini, pen-tahqiq atau penerbit memuat dua angka tahun wafat pengarang. Dalam halaman ketujuh disebut wafat tahun 199 H. dalam halaman lain disebut 478 H. Dan dalam cover ditulis tahun 478 Hijriah. Kitab ini bisa disebut palsu karena kitab ini tertulis dengan judul Abna’ al-Imam, namun isinya bukan semata kitab tersebut, namun telah diinterpolasi (tambah) kalimat para penyalin dan pen-tahqiq. Kitab ini isinya telah diinterpolasi oleh 4 orang yaitu: Ibnu Shodaqoh al-Halabi (w. 1180 H.), Abul Aun As-Sifarini (1188 H.), Muhammad bin Nashar al-Maqdisi (w. 1350 H.) dan Yusuf jamalullail (1938 M). Tambahan itu tidak diberikan pembeda, jadi seakan seluruh isi kitab itu karya pengarang yang asli yaitu Ibnu Thabathaba. Dalam kitab itu, nama Ubaidillah/Abdullah disebut anak Ahmad. Namun kalimat itu jelas bukan dari kalimat pengarang kitab.
Kitab Tarikh Hadramaut, atau disebut juga kitab Tarikh Sanbal, karena, katanya, ia karya Syekh Syanbal Ba’alwi (w. 920 H), didalamnya, diantaranya, menerangkan tentang bahwa Al-Fakih al-Muqoddam adalah seorang “Al-’Alim al-Robbani” (ulama yang menguasai seluruh ilmu), “‘umdat al-muhaqiqin” (tumpuan para ahli tahqiq), dan salah seorang “Wali Kutub”. Kitab ini dicetak oleh Maktabah San’a al-Atsariyah tahun 1994 M/1414 H, di-tahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi. kitab ini dicurigai menjiplak dari kitab Tarikh Ibnu Hisan, terlebih Syekh Sanbal adalah orang yang tidak dikenal para ulama, sepertinya naskah tersebut baru saja disalin dan penulisnya tidak hidup pada abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana disebutkan oleh pen-tahqiq, Abdullah Al -Habsyi.
Kitab Al-Baha fi Tarikh Hadramaut, karya Abdurahman bin ‘Ali bin Hisan (w. 818 H), di-tahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi, diterbitkan oleh Darul Fatah tahun 2019. Kitab ini merupakan kronik sejarah Hadramut dari tahun 424 -926 Hijrah, menurut pengakuan pen-tahqiq-nya, dicetak dari manuskrip yang tidak lengkap. Ada beberapa tahun yang hilang, lalu pen-tahqiq melengkapinya dari kitab Tarikh Sanbal yang terindikasi palsu di atas.. Kendati ada pengakuan bahwa kitab yang di-tahqiq-nya itu ada tambahan, tetapi Al-Habsyi tidak memberi pembeda mana redaksi asli dari manuskrip kitab Al-Baha, dan mana redaksi yang merupakan tambahan dari pentahqiq. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Fakih Muqoddam wafat tahun 652 H.,[20] seakan benar sosok Faqih Muqoddam itu telah dicatat penulis sejarah, tetapi ketika dilihat dalam footnote-nya, Abdullah Al-Habsyi menyatakan bahwa informasi tentang wafatnya Faqih Muqoddam itu tidak disebut dalam manuskrip “hamzah” (أ) karena kertasnya rusak, seakan ia ingin mengatakan bahwa yang berada dalam versi cetak itu berasal dari manuskrip “ba” (ب), padahal manuskrip kitab Ibnu Hisan itu hanya ada satu dan itupun tidak lengkap. Apabila ia pen-tahqiq yang jujur, maka seharusnya ia biarkan tempat itu tanpa keterangan, tidak kemudian ia isi sendiri sesuai dengan kemauan dan kepentingannya. Oleh karena itu, kitab ini tidak bisa menjadi rujukan sebagaimana kitab Abna’ al-Imam.
Kitab Al-Imam al-Muhajir, ditulis oleh Muhamad Dhiya Syihab dan Abdullah bin Nuh. Kitab ini terdiri dari sekitar 244 halaman, diterbitkan oleh Penerbit Dar al-Syarq tahun 1400 H/1980 M. kitab ini merupakan biografi dari Ahmad bin ‘Isa yang oleh kalangan Ba’alwi kemudian di berikan gelar “Al-Muhajir”. Kitab ini di awali dengan mengutarakan keadaan Kota Basrah abad ke-4 Hijriyah yang gemilang dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Latar belakang sejarah ini dipetik dari referensi sejarah yang kredibel seperti kitab-kitab karya Ibnu Khalikan, Ibnul Atsir, Al-Mas’udi, Ibnu Jarir, Al-Sayuti dan sebagainya. Tetapi, ketika menjelaskan tentang biografi dari Ahmad bin ‘Isa sendiri, penulisnya tidak mencantumkan refernsi dari mana ia mendapatkan berita itu. Seperti ketika ia menyebutkan bahwa Ahmad bin ‘Isa mulai belajar dari kedua orangtuanya. Tentu semua anak akan belajar dari kedua orangtuanya. Ini masih bisa difahami walau tanpa referensi. Kemudian dilanjutkan, bahwa Ahmad bin ‘Isa gemar menuntut ilmu dari para ulama, baik di Basrah maupun di kota-kota lainnya di Irak. Penjelasan ini seharusnya sudah menyebutkan siapa ulama-ulama yang didatangi oleh Ahmad bin ‘Isa, dan dari mana penulis kitab ini mengetahui berita itu, namun paragraph ini tanpa referensi, agaknya ia keluar dari imajinasi penulis tentang banyaknya ulama di Irak waktu itu, dan asumsi bahwa kemungkinan besar itulah yang dilakukan remaja seusia Ahmad bin ‘Isa ketika berada di lingkungan para ulama. Referensi kemudian disebutkan pada paragraph yang lain, diambil dari kitab Saurah al-Zanji, yaitu ketika menerangkan bahwa Basrah ketika itu merupakan pusat pemikiran yang besar. Kota tempat bersinggungannya berbagai macam ‘Aliran filsafat, keyakinan dan pemikiran.
Rupanya, penulis kitab ini sangat bersusah payah mencari sosok Ahmad bin ‘Isa dalam kitab-kitab sejarah atau kitab lainnya. Ketika menemukan nama Ahmad bin ‘Isa, lalu tanpa diteliti lebih lanjut, langsung saja diambil. kesalahan fatal-pun terjadi, ketika mengutip sosok Ahmad bin ‘Isa yang terdapat dalam kitab Tarikh Bagdad, disebutkan dalam kitab itu: Ibnu Jarir al-Tabari menerima surat dari Ahmad bin ‘Isa al-Alwi dari Kota Bashrah, lalu Ibnu Jarir membalasnya dengan kalimat “wahai amirku”. Penulis kitab ini kemudian menyatakan: cukuplah untuk mengetahui betapa agung kedudukan Ahmad bin ‘Isa, dari penyebutan Ibnu jarir terhadapnya “wahai amirku”. Penulis tidak teliti, atau pura-pura tidak mengerti, bahwa Ahmad bin ‘Isa al-Alwi yang dimaksud dalam kitab Tarikh Bagdad itu, bukanlah Ahmad bin ‘Isa al-Naqib, tetapi sosok lain, yaitu Ahmad bin ‘Isa bin Zaid. Lalu tentang hijrahnya Ahmad bin ‘Isa ke Hadramaut, penulis kitab ini sama sekali tidak menyebutkan sumber, kecuali dari Majalah Al-Rabitah tulisan ‘Ali bin Ahmad al-Athas. Kejadian tahun 317 Hijriah diceritakan oleh orang yang hidup seribu tahun lebih setelah wafatnya, dengan tanpa sumber dari mana ia mengetahui berita itu. Pola penulisan seperti itu, kita jumpai dalam kitab tersebut pada halaman-halaman selanjutnya sampai akhir kitab.
Kitab Gurar al-Baha al-Dhau’I wa Durar al-Jamal al-Bahiy, yang lebih dikenal dengan nama kitab Al-Gurar, karya Muhammad bin ‘Ali Khirid Ba’alwi (w. 960 H), diterbitkan oleh Maktabah al-Azhariyah, tahun 2022, tanpa pen-tahqiq. Dalam kitab ini disebutkan bahwa Ahmad bin ‘Isa hijrah dari Irak ke Hadramaut tahun 317 H. penyebutan itu tidak bersumber referensi apapun. Cerita tentang orang di masa lalu tanpa adanya sumber disebut dengan “dongeng”. Disebutkan pula, bahwa Ahmad bin ‘Isa mengungguli teman-temanya dalam kebaikan, untuk kisah ini dan sebab hijrahnya Ahmad bin ‘Isa, Al-Gurar mengutip dari kitab Al-Jauhar al-Syafaf, kitab karya al-Khatib yang telah penulis sebut dalam berbagai tulisan sebagai kitab yang tidak laik dijadikan rujukan karena penulisnya tidak jelas. Dilihat dari segi isi pun, kitab itu penuh dengan cerita-cerita dusta. Dapat dikatakan, kitab Al-Gurar ini, mengenai nasab dan sejarah Ba’alwi, bersumber pokok kepada satu kitab abad Sembilan, yaitu: Al-Burqat al-Musyiqat karya al-Sakran (895 H), ditambah kitab Al-Jauhar al-Syafaf (855 H) yang problematis itu.
Kitab Uqud al-Almas, karya Alwi bin Tahir bin Abdullah al-Haddad, diterbitkan oleh Matba’ah al-Madani tahun 1388 H/1968 M. kitab ini merupakan biografi dari Ahmad bin Hasan al-Athas. Ketika menjelaskan tentang nasab Ba’alwi, kitab inipun mentok kepada kitab Al-Jauhar al-Syafaf . Tidak bisa mencari yang lebih tua agar ketersambungan itu masuk akal. Dalam kitab inipula, disebutkan bahwa nasab Ba’alwi telah di itsbat oleh Raja Yaman pada tahun 1351 H, sekitar 90 tahun yang lalu. Peng-itsbat-an itu, menurut kitab ini, setelah timbulnya celaan dari orang-orang khawarij akan nasab mereka. Dari sini diketahui, setidaknya telah beberapa kejadian keraguan dan gugatan kaum muslimin terhadap nasab Ba’alwi yang dapat dibaca dari kitab-kitab Ba’alwi sendiri. Bersamaan dengan itu, Ba’alwi selalu dapat melewatinya dengan meminta secarik kertas itsbat dari orang atau lembaga yang mau membantunya. Zaman dahulu itu, untuk keraguan nasab akan berakhir dengan itsbat demikian, karena ilmu genetika belum mapan. Hari ini, setiap persengketaan nasab akan dapat dikonfirmasi dengan melakukan tes DNA yang akan dapat menelusuri sambungan darah seseorang sampai ribuan tahun ke atas. Maka ketika hari ini Ba’alwi telah terbukti putus nasabnya kepada Nabi Muhammad SAW secara kajian Ilmu Nasab, sejarah dan DNA berdesar sampel anggota Ba’alwi yang telah melakukan tes DNA, jika mereka bergeming bahwa nasab mereka tersambung, untuk membuktikannya tidak ada jalan lain kecuali tes DNA satu persatu. Siapa tahu ada di antara mereka yang terkonfirmasi secara DNA.
Kesimpulan
Nasab Ba’alwi tidak laik lagi untuk diperdebatkan secara Studi Sejarah dan Ilmu Nasab karena hasil tes DNA mereka terbukti behaplogroup G, tidak tersambung kepada Nabi Muhammad SAW secara garis ayah. Sedangkan para ahli DNA telah memitigasi haplogroup Nabi Muhammad SAW adalah Haplogroup J1. Secara Ilmu Nasab, nasab mereka batal dan mardud (tertolak) karena tidak terkonfirmasi oleh kitab-kitab nasab yang banyak ditulis dari abad ke-4-9 Hijriyah; Ubaid tidak terkonfirmasi sebagai anak Ahmad bin Isa. Kitab-kitab sejarah yang ada di masa Ubaid sampai Faqih Muqoddam tidak mencatat ketokohan mereka sama sekali, bahkan, dari Faqih Muqoddam sampai Ubaid terindikasi sebagai sosok-sosok yang fiktif dan ahistoris. Tulisan ini sebagain besar disarikan dari buku penulis “Membongkar Skandal Ilmiyah Genealogi dan Sejarah Ba’alwi”
[1] Lihat Ali bin Abu Bakar al Sakran, Al Burqat al Musyiqah (Nafaqah Sayyid Ali bin Abdurrahman bin Sahal Jamalullail, Mesir, 1347 H.) h. 122-123
[2] Ali al Sakran…h. 131
[3] https://genoslaboratory.com/kekerabatan-garis-ayah/
[4] Khalil bin Ibrahim , Muqaddimat fi ‘Ilmi al Ansab, , hal. 189-191 (diringkas)
[5] Muqaddimat…hal. 181-185 (diringkas)
[6] Muqaddimat…h.179
[7] Ali al Sakran… hal.148-149, Tahun wafat yang penulis sebutkan tersebut penulis ambil dari sebuah artikel yang berjudul “Inilah Silsilah Habib Rizieq Shihab. Keturunan Ke-38 Nabi Muhammad?” (https://artikel.rumah123.com/inilah-silsilah-habib-rizieq-shihab-keturunan-ke-38-nabi-muhammad-124800). Angka tahun versi Ba’lawi penting ditampilkan untuk mengukur konsistensi dan keakuratan data mereka untuk dikomparasi data dari sumber lainnya.
[9] Al-Janadi…Juz 2 h. 135.
[10]Al-janadi, juz 1 hal. 212
[11] Abu Muhammad al-Tayyib Abdullah bin Ahmad Ba Makhramah, Qaladat al-Nahr Fi Wafayyat A’yan al-Dahr (Dar al-Minhaj, Jeddah, 1428 H.) juz 2 h. 618.
[12] Abu Muhammad… Ba Makhramah… juz 2 h.618.
[13]lihat ‘Ali al-Sakran…h.136 dan Al-Masyra’ al-Rawi juz 1 h.75
[14] Muhammad bin ‘Ali Khirid… h. 131
[15] Alwi bin tahir, Uqud al-Almas (Matba’ah al-Madani, Syari’ al-‘Abasiyah, 1388 H.) juz 2 h.104
[16] Al-janadi…juz 2 h. 170
[17] Umar bin ‘Ali bin Samrah al-Ja’diy, Tabaqat Fuqaha al-Yaman (Dar al-Qalam, Beirut, T.t.) h. 220
[18] Ibnul Asir, Al-Kamil fi al-Tarikh (]Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1407 H.) juz 10 h. 203
[19] lihat Muhammad Diya’ Sahab dalam Abdurrahman Al-Mashur, Shmsu al-Dahirat, (‘Alam al-Ma’rifat, Jeddah, 1404 H.) h. 77.
[20] Ibnu H’Isan, Al-Baha’ fi Tarikh Hadramaut (Dar al-Fatah, Oman, 1441 H.) h. 125