Oleh : Kyai M. Hamdan Suhaemi
Menjadi penceramah itu mulia, karena sudah menyampaikan ajaran agama meski satu ayat. Hikmahnya banyak orang tercerahkan oleh apa yang disampaikannya. Perlu mengapresiasi keistiqomahan para penceramah dalam menyampaikan ajaran. Sebab tablig itu perintah, dan menghargainya pun adalah keutamaan.
Tidak semua orang alim pandai ceramah, tetapi juga penceramah harusnya alim. Keharusan menguasai ilmu-ilmu agama Islam menjadi persyaratan utama, agar tidak keluar dari kebenaran. Disamping penguasaan ilmu, penceramah juga wajib beradab, tidak sombong, tidak songong. Apalagi keras, seoalah tengah mewakili bahwa agama berisi ajaran kekerasan. Sekali lagi Islam itu rahmat sekaligus petunjuk yang benar.
Empat hal dalam penyampaian ceramah agama, yang selama ini depegang dan diwariskan oleh Wali Songo dan para ulama. Pertama, adalah ruuhuddin atau semangat keagamaan. Dalam hal ini, Kiai Said Aqil Siradj mengatakan bahwa penekanan dalam semangat beragama bukan berarti mengkonstitusikan agama menjadi dasar negara atau melegal formalkan agama. Semangat keagamaan yang sesungguhnya adalah terletak pada akhlak. “Innama buistu liutammima makarimal akhlaq “, Agama tanpa akhlak bukanlah prinsip beragama yang sesungguhnya.
Semangat kedua yang perlu dilestarikan adalah semangat nasionalisme. Kali ini contoh yang diangkat adalah sikap dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyári pendiri Nahdlatul Ulama yang berpesan kepada anaknya Kiai Wahid Hasyim agar tidak mempertentangkan antara Islam dan nasionalisme. Karena menurut Kiai Hasyim, dua khazanah itu saling melengkapi. “Islam menjadi kuat di suatu kawasan karena ada semangat kebangsaan yang menyala di dada dan bangsa ini bisa menjadi kokoh karena diisi dengan nilai-nilai Islam “.
Ruuhud taáddudiyah atau semangat kebhinekaan ini adalah bagian ketiga dari semangat melestarikan Islam Nusantara yang harus dijaga. Kebhinekaan merupakan fitrah yang dimiliki oleh bangsa ini dan tidak ada negara lain di dunia ini yang memiliki kekayaan budaya dan begitu banyak suku, budaya, dan adat istiadat. Di atas sajadah Nusantara inilah kita belajar memahami firman Allah : ” walau syaállahu lajaa’lakum ummatawwahidatan “.
Terakhir, bahwa dalam penyampaian ceramah agama perlu ada semangat yaitu ruuhul insaniyah atau semangat kemanusiaan. Penceramah harus melihat ini sebagai hakikat dari pengejawantahan Islam rahmatan lil alamin. Percuma ajaran agama banyak disampaikan namun mengabaikan pendekatan kemanusiaan.
Sementara Mufti jauh di atas kealiman penceramah umumnya, meski penceramah sekalipun penguasaan atas ilmu-ilmu agama Islam sangat komprehensif. Sebab Mufti punya otoritas dalam menentukan keputusan hukum fiqhiyah karena kemampuan istinbath dan istidlal-nya jauh di atas rata-rata yang sekedar paham ilmu agama. Ini harusnya jadi perhatian dan catatan bagi kita, bahwa jangan sembrono menghukumi sesuatu jika belum mampu mencapai maqomat Mufti ( ulama ahli fatwa ). Disamping keilmuannya komprehensif, seorang Mufti punya tanggung jawab atas apa yang difatwakan, baik dampaknya di dunia maupun di akhirat.
Bagi penceramah, jangan lantas memposisikan sebagai Mufti, yang memutuskan suatu perkara hukum yang sifatnya masih dhonny al-dilalati. Paling tidak penceramah hanya bisa menyampaikan ajaran, menyampaikan putusan hukum fiqhiyah yang sudah masyhur diketahui. Jangan lantas sembrono juga memvonis sesuatu itu bid’ah. Sementara masih dangkal soal bid’ah dan ketentuan syariat.
Mufti Syafi’iyah, adalah ulama besar yang faqih, mutafannin, sekaligus musnid dalam ilmu hadits, bahkan harus hafidz dan al-hamil. Kreterium ini tidak harus dipunyai penceramah, cukup penceramah Taslim dan ittiba’ atas fatwa para ulama Mufti.
Serang 8-9-21
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten