Tertolaknya nasab Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW secara ilmiyah, masih belum diterima secara legawa oleh para Ba’alwi. DNA mereka yang terbukti bukan DNA orang Arab, berusaha untuk dilawan sekuat tenaga, bahkan untuk para ‘budak’ mereka, mereka mengatakan siapa yang percaya hasil DNA, berarti ia percaya bahwa manusia berasal dari kera, bukan dari Nabi Adam. Dengan hanya bermodalkan narasi murahan itu saja, para ‘budak’ masih ada yang percaya.
Mereka mempengaruhi para ‘budaknya’ untuk tetap percaya bahwa: mereka adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. karena, jika mustika paling berharga itu hilang, maka para ‘budak’nya akan tersadar dan akan merasa sama dengan tuannya, dan dengan itu para Ba’alwi tidak akan mempunyai keistimewaan lagi. Hilanglah kemudahan hidup yang didapat mereka selama ini dengan menjual privelge sebagai keturunan Nabi.
slave mentality (mentalitas budak) yang masih ada di sebagian bangsa kita, harus diinsyafi oleh para pejuang, agar tetap bersabar sedikit demi sedikit memberi kesadaran itu. Sejarah panjang penjajahan bangsa kita oleh asing, tidak bisa dipisahkan dari dua jenis mental yang memperpanjangnya yaitu: slave mentality (mentalitas budak) dan traitor mentality (mentalitas penghianat). Pendidikan dan genetic bisa menjadi factor masih tersisanya dua mental masa penjajahan itu. Khusus untuk genetic, menurut penulis, signifikansi dalam merawat mentalitas budak dan mentalitas pengkhianat bisa hilang dengan pendidikan yang melahirkan kesadaran akan hakikat kebenaran.
Sungguh Tuhan tidak adil, jika genetic menjadi penyebab tidak bisa hilangnya mentalitas budak dan mentalitas pengkhianat. Buktinya Musa yang lahir dari keluarga budak Fir’aun (Israil), setelah “dididik” sebagai tuan oleh Fir’aun, lalu tumbullah mentalitas tuan dalam diri Musa, yang menggerakannya untuk mengajak saudara-saudaranya yang lain untuk berlari dari perbudakan Fir’aun walau harus menanggung resiko penderitaan bertahun-tahun dalam perjalanan menuju Palestina, namun akhirnya, mereka dan anak keturunan mereka menjadi manusia yang merdeka. Walau memang jika dilihat di hari ini, di mana para pejuang pelurusan nasab dan sejarah dilakukan oleh putra-putri para pejuang, para wali dan para raja di masa lalu, tetapi bukan berarti hal itu suatu pola yang baku.
Satu yang selalu harus terus digaungkan bahwa : agama Islam adalah agama kemerdekaan. Bagi Islam semua manusia sama. Semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk dimulyakan manusia lainnya, dihormati, diagungkan, dicintai, mendapat kehidupan yang layak, mobil mewah, rumah besar, harta banyak, bisa menikahi wanita mana saja yang diinginkannya dsb. Semua itu bukan hanya untuk “sang tuan” tapi “saya pun harus mendapatkannya”, itu yang harus digumamkan dalam hati sang budak jika ingin segera merdeka. Dalam ajaran Islam, tidak ada manusia yang dilahirkan sebagai budak; hanya sebagai penggembira tuannya; hanya pelengkap jamaah. jika tuannya ada acara, maka ia harus hadir agar tuannya nampak banyak jama’ahnya. Agar tuannya semakin mulia, sementara ia, anaknya, cucunya dan seluruh keturunnanya sampai kiamat, tetap akan menjadi budak.
Penulis akan memperkenalkan beberapa ciri mental budak sebelum melanjutkan tulisan ini. Ciri-ciri mental budak diantaranya adalah: memiliki mental cepat patuh kepada orang lain; melihat orang lain lebih baik dari dirinya secara kodrati; lebih mendahulukan mencintai orang lain daripada mencintai diri sendiri; hidup bukan untuk mengerjakan fikiran dan keinginan sendiri tetapi keinginan dan fikiran orang lain;
Anda berhak mendapat kebahagiaan. Anda berhak memperlakukan diri sendiri dengan hormat. Anda berhak mendesak agar orang lain memperlakukan Anda dengan hormat. dengan memperlakukan diri sendiri dengan hormat, maka harga diri Anda akan tumbuh. Dan ketika harga diri Anda tumbuh, Anda merasa lebih memegang kendali dan mulai mengendalikan kebahagiaan Anda sendiri. Anda menyadari bahwa orang lain tidak dapat menyengsarakan Anda, jika Anda tidak berpartisipasi. Orang yang tidak mampu mengembangkan pikirannya akan menjadi budak orang lain yang menggunakan pikirannya. Dengan anda mengingat semua kebahagiaan yang diarahkan pada diri sendiri, hal-hal kecil yang dulunya “membuat Anda tidak bahagia” tidak lagi akan berlaku. Potensi sejati akan ditemukan saat kita memutuskan untuk melangkah ke hal yang belum diketahui. Apa yang tidak diketahui? Ini kebalikan dari zona nyaman Anda.
Anda bisa masuk surga hanya dengan menjadi budaknya Allah, tanpa harus menghinakan diri di dunia kepada manusia yang pangkatnya sama: hanya sebagai budaknya Allah. Jika telah hadir dihatimu bahwa anda-pun sebagai manusia berhak mendapat kemuliaan yang dijanjikan Allah tanpa dikendalikan siapapun selain Allah, maka, tidak ada orang yang akan dapat menakuti anda lagi. tidak ada orang yang bisa membohongi anda lagi. Di hadapan orang merdeka yang bermartabat, akan hancurlah narasi palsu bahwa: jika anda tidak menghormatinya, maka anda tidak akan dapat barokah; Di hadapan manusia merdeka, akan hancurlah narasi yang mengatakan bahwa: jika anda tidak mencintai kami, maka anda akan masuk neraka. Jika semua itu telah hadir dalam perasaan dan sukma, maka mentalitas budak sudah benar-benar mati dari diri anda! Anda sudah merdeka.
Nabi Muhammad SAW diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an. Maka ajaran akhlak yang tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, ia bukan ajaran akhlak Islam. Ia adalah jebakan perbudakan satu manusia kepada manusia lainnya. Dulu raja mendapatkan “sujud” dari orang yang datang menghadapnya, wajar, karena ia raja yang bisa memberi banyak uang kepada orang tersebut. Sekarang, ada orang yang ingin dihormati sebagaimana raja tersebut, bersamaan dengan itu, ia juga meminta makan dari “budak” yang sujud kepadanya itu. Ini memalukan. Inilah perbudakan atas nama akhlak Islam yang tidak diajarkan Islam.
Mentalitas budak adalah mentalitas orang kalah, yaitu manusia kerdil yang tidak mampu berpikir bebas untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. “Mentalitas budak” hidup dalam bayang-bayang ketakutan terhadap neraka yang membuat mereka tidak berani menerima realitas kehidupan dunia. Padahal Al-Quran berpesan kepada kita untuk tidak melupakan dunia. Alih-alih untuk realistis, mereka justru menawarkan cara berpikir sederhana, yakni cara melihat setiap persoalan sebagai hitam-putih; baik-buruk. “Mentalitas budak” lalu mengklaim cara berfikir mereka sebagai ciri dari orang baik-baik, dan menganggap orang-orang yang berbeda dengan mereka sebagai orang jahat.
Kita dapat membuang dan menghancurkan fikiran-fikiran yang membuat kita terhina. Jika kita masih sulit membuang sebuah pikiran, maka, kita bisa memilih pikiran lain. Dan tentu saja kita bisa memilih situasi kita. Kita mampu mengubah pemikiran kita dengan mengubah konteksnya. Maka mentalitas budak itu hanya bisa hilang jika kita mau melakukannya. Yaitu, dengan menutup sementara mental budak itu, lalu kita membuka diri dengan memperkenankan fikiran lain untuk kita fahami, lalu kita bandingkan keduanya, mana yang lebih menguntungkan kita dalam kehidupan kita, bahkan kehidupan keturunan kita sampai kiamat nanti.
Oleh karena itu, hal yang dilakukan para “tuan”, agar para budaknya tetap setia dan akal fikiranyya tidak terbuka, biasanya jika ia berperan mengajarkan sebuah ajaran faham keagamaan, maka ia melarang para budaknya untuk mengaji di tempat lain. Agar asupan fikiran kemerdekaan tidak pernah datang ke dalam fikiriannya. Atau biasanya, ia doktrin para budaknya, bahwa kaumnya lebih mulia dari kaum lainnya: setiap pendapat yang keluar dari ulama bertentangan dengan pendapat kaumnya maka pendapat itu salah. Mentalitas budak gagal menangkap pesan-pesan kebajikan dengan enggan mengkoreksi diri sendiri, alih-alih legowo mengakui kekhilafan, mereka justru rame-rame membungkus kesalahannya dengan retorika dan pengalihan alasan-alasan. Tuan mereka yang telah mengerti itu, tinggal mempermainkan fikiran budak yang penjilat itu sedikit, lalu tetap mendapatkan privilege dari budak yang membela-nya itu. Persetan dengan para musuh di luar sana, yang terpenting adalah kesetiaan budak itu.
Geserlah sedikit tapak kakimu ke depan, lihatlah, jika engkau melompat sekali saja, engkau sudah sampai di garis finish. Tapi jika dalam perlombaan ini, engkau ketakutan dan tetap di lorong gelap, maka selamanya engkau ada di sana. Atau engkau memang seorang penakut yang takut bahkan oleh bayangannya sendiri? Orang yang takut oleh bayangannya sendiri maka selamanya ia akan betah berada dalam kegelapan.
Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantanie