Penulis: Kgm. Rifky Zulkarnaen
Tulisan ini mengurai bagaimana Politik Bahasa Klan Habib Baalwi Keturunan Imigran Yaman bin Yuya Dukun Firaun dalam upaya mempengaruhi, mendominasi, dan memperbudak alam pikir dan keyakinan masyarakat Pribumi Nusantara serta Merebut Otoritas Tunggal Sosial-Keagamaan.
Table of Contents & Objectives
Tulisan ini disajikan dengan tujuan agar pembaca:
- Memahami struktur hipernim-hiponim dan implikasi psikologisnya;
- Memahami chunking up method dan implikasi psikologisnya;
- Mampu mengurai alur nalar politik bahasa pada 5 studi kasus politik bahasa Klan Habib Baalawi;
- Mampu membedakan antara politik bahasa yang baik dan yang jahat terlaknat;
- Lebih peka dengan penggunaan bahasa, implikasinya, dan nilai etika para aktor.
Hipernim-Hiponim dan Chunking Up Method
Kita mulai dari mengidentifikasi persamaan dari beberapa frase yang digunakan oleh Klan Habib Baalwi yaitu Imam Besar Umat Islam, Haul Kota Gersik dan lain-lain sejenis, kemudian Ijtima Ulama, Kriminalisasi Ulama, Alawiyin, maqam Al Habib Al Qutb dan sebagainya.
Apa persamaan dari beberapa frase itu?
Persamaannya adalah mereka menggunakan kata umum general dan superlatif. Mari kita bedah ini menggunakan pisau analisis sosiolinguistik, psikolinguistik dan antropolinguistik.
Kita mulai dari mendasar yaitu dari memahami apa yang dimaksud dengan kata umum atau hipernim atau kata general. Kata umum adalah kata yang bersifat mencakup dan atau memayungi dan atau merangkum kata-kata khusus atau spesifik yaitu kata hiponim. Sehingga posisi kata umum itu berada paling atas atau lebih atas secara struktur.
Saya tampilkan slide di atas. Yaitu kendaraan merupakan kata umum kemudian kendaraan itu bisa dispesifikkan lagi menjadi mobil, sepeda motor, pesawat. Mobil, sepeda motor, pesawat, ini merupakan kata khusus dari kata umum kendaraan. Kemudian kata ‘mobil’ ini bisa bisa kita spesifikkan lagi menjadi BMW, Honda, Nissan dan lain sebagainya. Nah, BMW, Honda, Nissan, ini adalah kata khusus dari mobil sehingga mobil kemudian menjadi berposisi sebagai kata umum. Pergerakan dari kata-kata khusus partikular yang spesifik itu kemudian dirangkum dalam sebuah kata yang lebih umum lagi, itu disebut chunking up method atau chunking up model. Dan inilah teknik yang digunakan oleh Klan Habib Baalwi.
Selanjutnya, kita akan membahas mengenai apa dampak psikologis dari penggunaan hipernim dan chunking up method. Teruslah membaca.
Dampak Psikologis Hipernim dan Chunking Up Method
Yang pertama implikasi linguistik ke psiko-sosiologis masyarakat dari penggunaan hipernim.
Yang harus kita pahami terlebih dahulu adalah kata dan strukturnya itu membentuk struktur logika dan kemudian persepsi di benak manusia atau masyarakat. Struktur hipernim dan hiponim membentuk persepsi posisi atau positioning dan keyakinan mengenai struktur vertikal otoritas. Mana yang di atas mana yang di bawah, mana yang menguasai mana yang dikuasai, mana yang disupport mana yang mensupport, mana yang dicakup mana yang mencakup, dan seberapa luas dan tinggi nilai atau bobot pada skala cakupannya. Hal ini sudah lazim diketahui dan diimplementasikan di brand architecture corporate seperti main brand dan sister brand dalam upaya menanam atau membangun persepsi melalui positioning dan diferensiasi serta advertising melawan brand kompetitor.
Itu tentang implikasi linguistik struktur hipernim dan hiponim. Mari kita lanjutkan ke implikasi chunking up method ke sosio-psikologis atau paradigma masyarakat.
Chunking up method itu memiliki dampak di pikiran dan keyakinan publik. Perhatikan dengan tekanan lebih: pikiran dan keyakinan publik. Saya iktisarkan 5 dampaknya:
Yang pertama adalah memposisikan diri di puncak piramida sosial atau superior yang lain di bawah; secara simultan memposisikan pihak lain itu berada di bawahnya. Kemudian;
Yang kedua adalah memposisikan diri sebagai pihak otoritatif tertinggi dan yang lain di bawah.
Yang nomor tiga adalah mempengaruhi dan menanam belief and perception ke publik bahwa dia adalah poin satu dan dua di atas.
Yang keempat adalah mendominasi wacana publik sekaligus diam-diam secara sangat halus mendegradasi atau menenggelamkan posisi dan pengaruh pihak lain melalui subliminal advertising (subliminal message atau subliminal narrative).
Lima. Memprogram pikiran dan keyakinan publik melalui pengasosiasian suatu kata atau frase umum hipernim yang digunakan dengan Klan Habib Baalwi. Ini merupakan teknik dan mekanisme trans-derivative search (TDS).
Kita masuk ke studi kasus.
Sekarang kita lebih advance lagi yaitu memahami kata dan strukturnya membentuk struktur logika dan kemudian persepsi di benak manusia atau masyarakat kemudian melahirkan perilaku, baik itu individu atau pun secara komunal, dan perilaku publik itu kemudian membentuk budaya atau konvensi sosial.
Studi Kasus: Imam Besar Umat Islam
Contoh yang pertama adalah bagaimana frase ‘Imam Besar Umat Islam’. Penggunaan frase ‘Imam Besar Umat Islam’ ini memposisikan Klan Habib Baalwi: (1) Pertama, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang mewakili seluruh umat Islam dan elemen-elemen di dalamnya, (2) Yang kedua, Klan Habib Baalwi memposisikan diri sebagai yang terbesar, sebagai pihak yang paling berhak dan paling diakui, karena diangkat oleh seluruh umat Islam di Indonesia. Konstruksi kesan yang diciptakan seperti itu persepsinya. Konstruksi persepsi dan keyakinan yang hendak ditanamkan ke publik.
Kemudian Anda lihat strukturnya: NU, MD dan umat Islam lainnya berada di bawah struktur Imam Besar Umat Islam. Nah, di level persepsi dan keyakinan publik NU, MD dan umat Islam lainnya itu diposisikan lebih kecil atau lebih kerdil dan berada di bawah instruksi kekuasaan imam buncit. Memang tidak dinyatakan secara lugas dan terbuka telanjang begitu tetapi melalui cara yang halus dan tersembunyi menembus alam bawah sadar publik; ini disebut subliminal advertising atau subliminal message (subliminal narrative).
Hampir di keseluruhan aktifitas bahasa Klan Habib Baalwi polanya seperti itu: bahasa iklan subliminal. Copywriting minded, marketing minded, branding minded.
Meski sekarang kita sudah memahami polanya, tetapi mari kita lanjutkan ke studi kasus berikutnya yaitu bagaimana frase ‘Ijtima Ulama’ yang digunakan Klan Habib Baalwi.
Studi Kasus: Ijtima Ulama
Frase ‘Ijtima Ulama’ memberikan struktur logika dan persepsi Klan Habib Baalwi sebagai, seolah-olah: (1) Seluruh ulama dari berbagai elemen ormas kumpul pada forum ijtima ulama itu dan menyepakati tentang sesuatu, yang kita tahu sifatnya politis; (2) Yang kedua adalah mereka memposisikan pihak yang beroposisi berarti melawan seluruh ulama se-Indonesia; (3) Kemudian, karena ‘ijtima ulama’ sebagai kata umum maka secara logika strukturnya ulama NU berada di bawah mereka, ulama Muhammadiyah berada di bawah mereka dan lain sebagainya semuanya berada di bawah pengaruh, kendali dan kekuasaan mereka. Sehingga secara simultan ulama-ulama lain di luar golongan Klan Habib Baalwi — ulama NU, ulama MD, dan lainnya—itu diposisikan sebagai bukan ijtima ulama atau otoritasnya lebih rendah atau sudah termasuk ke ijtima ulama.
Frase ‘ijtima ulama’ adalah frase konotatif bersayap, ambivalen, dan lagi-lagi melalui subliminal advertising atau subliminal message (subliminal narrative).
Contoh berikutnya adalah studi kasus ‘Haul Kota Gersik’ dan kota-kota lainnya.
Studi Kasus: Haul Kota Nusantara Isinya Habib Baalwi
Haul Kota Gresik, Haul Kota Solo, dan frase-frase model seperti itu mekanisme kerjanya sama. Kita ambil contoh frase ‘Haul Kota Gresik’. Frase ‘Haul Kota Gresik’ ini memposisikan Klan Habib Baalwi sebagai yang paling terbesar atau yang terhebat citra dan pengaruh namanya karena paling berjasa atau berpengaruh sehingga merekalah yang diakui otoritasnya oleh seluruh masyarakat Gresik. Karena dikesankan diakui otoritas sosialnya oleh seluruh warga Gresik maka merekalah yang paling berhak berkuasa dan memiliki kota tersebut sementara warga pribumi berada di bawah kekuasaan mereka. Ini tidak realitasnya begitu tetapi saya memberi sebuah penjelasan analitikal itulah psikologis persepsi yang (hendak) ditanam, dibangun, didoktrinkan, disugestikan, ke seluruh warga kota tersebut secara skup kecil (lokal) dan secara luas ke seluruh warga Nusantara (nasional) bahkan masyarakat internasional.
Frase ‘Haul Kota Gresik’ itu dinisbatkan (diasosiasikan) kepada (katanya Klan Habib Baalwi) Al Qutb Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Artinya secara logis, Sunan Gersik dan Sunan Giri dan lain sebagainya yang berada di kota Gersik dan kota-kota lainnya tentunya itu berada di bawah Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Secara simultan Sunan Gresik dan Sunan Giri serta lainnya diposisikan lebih kecil atau lebih kerdil atau dikerdilkan dan berada di bawah Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Tentu saja, tidak diungkapkan secara eksplisit melainkan melalui teknik subliminal advertising, subliminal message, subliminal narrative.
Penggunaan frase ‘Haul Kota Gresik’, haul kota anu, haul kota anu, merupakan upaya menenggelamkan nama, posisi, dan pengaruh Wali Nusantara di memori publik bahkan menghapuskannya; jika kita tinjau pada skala jangka waktu yang panjang.
Saya rasa ini harus segera diatasi oleh warga dan pemerintahan setempat masing-masing kota. Sebab, jika dibiarkan terus berlangsung, psikologismu, anakmu, dan kita semua akan terjajah oleh Klan Habib Baalwi.
Kecuali itu, penggunaan frase ‘Haul Kota Gresik’ (dan sejenisnya) sebagai judul haul dari Habib yang dihauli itu merupakan perilaku su’ul adab. Memang secara kata-kata mereka mungkin sopan, secara perilaku fisik, gesturnya, sopan mungkin, tetapi dari keputusan pikiran yang berani menggunakan frase ‘Haul Kota Gresik’ itu bermuatan politis dan bernilai su’ul adab. Ini seperti seperti melangkahi kepala tuan rumah, sesepuh yang berada di daerah tersebut, dengan langkah yang sangat sopan. Bayangkan begini: “Permisi ya, Mbah, ndasmu saya injak”. Permohonan izin sebelum melakukan—itu sesuatu yang sopan, ia pun diucapkan dengan nada suara yang halus, lembut, dan gestur yang penuh kesopanan. Meskipun gestur pola komunikasinya halus, sopan dan santun, tetapi perilaku melangkahi kepala tetap bernilai su’ul adab, kurang ajar. Klan Habib Baalwi adalah Klan yang su’ul adab, tidak tahu adab sopan santun.
Studi Kasus: Habib di Atas Sayyid-Syarif
Contoh berikutnya yaitu Habib diposisikan di atas Sayid dan Syarif. Ini bisa kita cermati dari penjelasan Rabithah Alawiyah di detik.com dan penjelasan-penjelasan lain senada itu di media sosial dari Klan Habib Baalwi.
Saya kutipkan dari artikel di Detik.com[2] penjelasan dari Habib Zen (Ketua RA saat itu) mengenai Habib yang menghina KH. Ma’ruf Amin dengan sebutan babi:
Rabithah juga menyayangkan penyematan gelar ‘habib’ kepada Jafar. Menurutnya, ‘habib’ adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang punya kapasitas keilmuan dan akhlak yang tinggi. “Dia kurang akhlak dan dalam ceramahnya tidak berdasarkan keilmuan. Ini bukan habib tapi sayyid (orang Arab keturunan Nabi Muhammad atau tuan) yang perlu pendidikan akhlak,” kata Habib Zen.
Artinya, Rabithah Alawiyah (RA) dan Klan Habib Baalwi memposisikan gelar Habib sebagai keturunan Rasul sama dengan Sayid-Syarif namun Habib berposisi di atas Sayyid-Syarif secara kualitatif; atau dengan kata lain adalah habib adalah gelar tertinggi di antara gelar bagi keturunan nabi. Gelar Sayyid-Syarif secara simultan didegradasi sebagai gelar bagi keturunan nabi yang tidak memiliki kapasitas keilmuan dan akhlak yang tinggi. Mengenai ‘Habib, Sayid dan Syarif’ ini saya ulas lebih panjang di tulisan yang lain.
Studi Kasus: Thariqoh Alawiyyin (yang isinya Alawiyah)
Studi kasus berikutnya adalah bagaimana frase ‘Thariqoh Alawiyyin’.
Saya menganalisa ini dari video berjudul ‘Baiat Dalam Thariqoh Alawiyah’[3] di mana Habib Luthfi bin Yahya menjelaskan dan menginstruksikan menyebar-nyebarkan Thariqoh Alawiyyin kepada masyarakat sebagai Thariqoh pertama yang datang ke Indonesia dan menyebarkan Islam pertama kali di Indonesia.
Penggunaan frase ‘Thariqoh Alawiyyin’ ini bermakna bahwa:
Satu. Klan Habib Baalwi ini memposisikan Thariqoh Alawiyyin sebagai yang tertinggi, origin dari seluruh Thariqoh dan Thariqoh paling atas ini adalah milik Klan Habib Baalwi Imigran Yaman. Yang pada saat itu (diucapkan) sebelum ada polemik nasab ini yang membuktikan bahwa para Habib itu bukan keturunan Nabi Muhammad SAW; yang pada saat itu presuposisi atau asumsi yang tak terucap atau tersembunyi di masyarakat adalah habib sama dengan dzurriah Sayyidina Ali dan tentu saja otomatis dzurriah nabi. Dalam bahasa matematis: Habib (Alawiyah) = dzuriah Ali (Alawiyyin) = dzuriah Nabi.
Yang kedua adalah memposisikan thariqah yang lain hanya derivasi dari Thariqoh Alawiyyin (Alawiyah) dan thariqoh Alawiyah diposisikan sebagai induk dan pusat dari seluruh thariqoh.
Yang ketiga, ‘ikut thariqah alawiyah saja karena ini lebih top, khususiah, daripada yang lain’. Baik eksplisit maupun implisit, pesan dan keyakinan itulah yang (hendak) disebarkan ke masyarakat.
Yang keempat. Thariqah Alawiyyin (Alawiyah) merupakan yang masuk pertama kali ke nusantara dan yang lainnya adalah berikutnya.
Sehingga dari struktur logika itu Thariqoh-Thariqoh lain diposisikan di bawah thariqoh Alawiyyin (Alawiyah) atau diposisikan lebih kecil atau lebih kerdil dan berada di bawah Thariqoh Alawiyyin (Alawiyah).
Dan ya, tentu saja, ini teknik subliminal advertising, subliminal message, subliminal narrative, sebagaimana pattern pada part-part lainnya.
Mungkin ada sebagian pembaca yang kebingungan atau merasa rancu dengan penggunakan kata ‘Alawiyyin’ dan ‘Alawiyah’ yang digunakan bergantian di atas (interchangeable terms). Kebingungan yang Anda alami merupakan hal yang wajar. Yang bingung tidak hanya Anda, masyarakat luas pun bingung dan mungkin 80% masyarakat bingung. Oleh karenanya, izinkan saya menguraikan persoalan yang menjadi penyebab kebingungan Anda.
Uraian lebih detailnya:
Yang pertama: perhatikan di sebelah kiri itu frase ‘thariqoh alawiyin’ pada diksi ‘alawiyin’ itu. Kata ‘alawiyyin’ ini tidak stabil, belum stabil di benak masyarakat bahkan kata ini tidak dikenal atau populer di masyarakat. Pada saat ini ditulis, kita masih mengalami kerancuan dan keterpelesetan-keterpelesetan antara kata ‘alawiyin’, ‘alawiyah’, ‘bani alawiyyin’, ‘bani alawi’, ‘ba alwi’, ‘Baalawi’. Kita masih mengalami kerancuan, distorsi, dan kebingungan. Ini apa yang benar dan apa bedanya antara satu dengan lainnya. Sehingga dari situ kita bisa memetakan situasinya.
Situasi yang pertama adalah secara origin kata ‘alawiyyin’ ini memang nisbatnya ke Sayyidina Ali—untuk keturunan Sayyidina Ali kw. Namun, nyatanya di Indonesia di samping belum stabil maknanya, asosiasi diksi ‘alawiyyin’ di benak publik cenderung nisbat ke Habib karena ada kemiripan dan kerancuan dengan kata ‘alawiyah’ yang notabenenya adalah Baalwi (Klan Habib). Maka yang berlaku sebagai landasan analisa adalah realitas sosial itu bukan origin.
Situasi yang kedua adalah kata ‘alawiyyin’ atau ‘alawiyah’ tidak dikenal atau populer dipahami di masyarakat luas. Situasi ini merupakan celah dan kesempatan memasukkan dan menetapkan makna sebagai konvensi sosial sekali pun tidak sesuai dengan originnya. Hal ini merupakan upaya membuat budaya bahasa yang baru juga membuat sebuah konstruksi sosial yang baru. Hal ini saya jelaskan pada tulisan lain.
Situasi yang ketiga adalah kata ‘alwiyyin’ ini ditetapkan atau dipopulerkan atau disebarkan oleh figur yang dianggap otoritatif dan dipahami masyarakat sebagai keturunan nabi juga keturunan Sayyidina Ali kw; yang karena demikian itu, figur otoritatif yang padanya melekat asumsi (presupposisi) bahwa dia cucu nabi juga keturunan Sayyidina Ali kw, situasi itu mengarahkan pikiran masyarakat bahwa maksud kata ‘alawiyyin’ adalah kepada sang pengucap yaitu Klan Habib Baalwi (alawiyah); padahal pada realitasnya bukan. Dalam situasi belum stabilnya makna kata ‘alawiyyin’ itu kemudian secara halus diarahkan kepada bahwa: ‘alawiyyin’ itu adalah kami, Klan Habib Baalwi (Alawiyah).
Jika upaya itu gagal maka ruang untuk berkelit sangat luas. Mereka mungkin saja akan berkelit; maksud saya adalah Sayyidina Ali, keturunan Sayyidina Ali, bukan Alawi[4] (Alawiyah, Klan Habib Baalwi). Tapi yang terjadi di realitas sosial adalah ‘alawiyyin’ itu adalah Klan Habib itu. Mengenai hal ini lebih panjang bisa mempelajari tentang strukturalisme, post- strukturalisme dan dekonstruksi Jacques Derrida dan language arbitrariness. Ini akan penulis uraikan pada tulisan lain.
Kekuatan Makna Bahasa dan Politikus Bahasa
Mengenai apa yang telah diuraikan di atas, saya tertarik mengajak pembaca untuk memahami pula uraian dari Tranggono pada Moh. Rosyid, dosen STAIN Kudus, pada jurnal ilmiahnya yang berjudul ‘Kekuatan Makna Bahasa Dalam Politik Konspirasi’[5]. Beliau menuliskan:
Politik bahasa sebagai gejala kebudayaan dapat dilakukan untuk membangun persepsi dan kesadaran publik. Politik selalu berbicara soal persepsi bukan semata-mata fakta dan data. Kekuatan persepsi bahkan mampu menembus dan mengatasi fakta dan data.
Politik yang diartikan seni untuk berkuasa atau menguasai selalu memandang persepsi publik sebagai faktor utama dan menentukan dalam memaknai realitas. Politikus melakukan dua hal yakni membangun persepsi dan menghancurkan persepsi (melalui bahasa, pen). Politik bahasa selalu digunakan untuk dua kepentingan membangun pencitraan yang baik oleh (1) lembaga (institusi) atau (2) aktor politik.
Politik bahasa menggunakan kata atau kalimat tidak hanya sebagai piranti komunikasi netral yang melahirkan semantika umum dan normatif, tapi juga alat untuk menyampaikan pesan dan membangun persepsi tertentu tentang realitas. Diharapkan PERSEPSI PUBLIK DIKUASAI. Opini publik bisa dibangun berdasarkan kepentingan politikus bahasa (Tranggono, 2013:6).
Perhatikan penjelasan di atas lalu pertemukan dengan realitas pada bagaimana Klan Habib Baalwi memutuskan perilaku-perilaku bahasa atau narasinya. Kita bisa memperhatikan, mengobservasi, bagaimana Klan Habib Baalwi selama ini mengandalkan pembangunan persepsi dan keyakinan publik dibandingkan menggunakan fakta dan data-data. Melalui bahasa dan framing media mereka membuat bangunan kesan-kesan, persepsi-persepsi, untuk mengatasi fakta dan data-data.
Masih pada literatur yang sama:
Dalam politik bahasa selalu dimainkan kata-kata konotatif yang diharapkan dengan kata bersayap yang diharapkan dengan kata bersayap tersebut ‘menerbangkan’ pesan penting yang melahirkan PERSEPSI TANDINGAN atau KESADARAN BARU terkait realitas tertentu. Para politikus bahasa amat sadar pada KEKUATAN KATA-KATA KONOTATIF yang mampu MENGARAHKAN LOGIKA DAN PERASAAN PUBLIK (Tranggono, 2013:6).
Persepsi tandingan, sejarah tandingan, kesadaran baru yang hendak ditanam oleh Klan Habib Baalwi, kemudian makam tandingan, dan Baalwisasi-Yamanisasi lainnya sangat jelas bisa kita amati dan perhatikan di dalam kawah candradimuka polemik nasab Klan Habib Baalwi bukan keturunan Rasulullah Muhammad SAW melainkan Cucu Yuya Dukun Firaun.
Melanjutkan kutipan sebelumnya:
Politik bahasa bisa bermakna baik dan mulia ketika politik digunakan untuk MEMBANGUN MARTABAT MANUSIA DENGAN CARA YANG BERADAB. Sebagai piranti sosial, bahasa selalu netral dan bebas nilai. Para pelaku komunikasi verballah yang mengubah bahasa menjadi produk kebudayaan yang berpotensi MENGUBAH PERSEPSI DAN KESADARAN PUBLIK (Tranggono, 2013:6).
Maka inilah pembeda antara politikus bahasa yang baik dengan mereka yang jahat nan licik terlaknat yaitu apakah ia menggunakan bahasa untuk membangun martabat masyarakat atau kah sebaliknya untuk merusak, menyakiti, menginjak menghina, martabat masyarakat.
Bagaimana Anda menilai sepak terjang politik bahasa Klan Habib Baalwi itu berada sepenuhnya di keputusan dirimu dan saya harap Anda bisa membaca situasi dan menilai segala sesuatu menggunakan nilai-nilai mendasar yaitu etika dan secara jujur mengakui menggunakan hati nurani masing-masing.
[1] Publish di YouTube tanggal 26 November 2023 dengan perubahan minor pada naskah https://youtu.be/ZyXmcOBUIfg?si=6Mz11z5XvKXp-nhT
[2] https://news.detik.com/berita/d-4811435/jafar-shodiq-hina-maruf-amin-rabithah-alawiyah-dia-bukan-habib ; https://www.instagram.com/p/CuzNIWxPpxc/?igshid=MzRlODBiNWFlZA==
[3] https://youtu.be/PoxBVbyadYQ?si=pJMhm11Z2Que7tJi
[4] Pada perkembangan berikutnya semenjak tulisan ini dipublish pertama kali, kelitan ini kemudian betul-betul terjadi dilakukan Habib Muhdor Tanggul ketika mengklarifikasi kebohongannya bahwa Imam 4 Mazhab tidak pernah membatalkan nasab Baalwi. Kebohongan Habib Muhdor Tanggul bahwa Imam 4 Mazhab Mengakui Nasab Alawiyah https://youtu.be/RfQOL9NyHZQ?si=uBBg477SmijReVSL ; klarifikasi Habib Muhdor Tanggul menggunakan kelitan ‘maksud saya Alawiyyin’ https://www.youtube.com/live/G4jvW1TqKw8?si=KN89dFsGRDeQcJw6
[5] Moh. Rosyid. Kekuatan Makna Bahasa. Arabia Vol. 6 No. 1 Januari-Juni 2014.