Hanif Alatas, membuat buku sanggahan yang kedua terhadap penulis. Buku itu diberi judul “Bingkisan Lebaran Untuk Imaduddin Utsman: Catatan atas jawaban Imaduddin utsman terhadap Risalah Ilmiyah M. hanif Alatas”.
Pertama, Hanif mengatakan:
“Dalam tulisannya Imaduddin mengatakan ‘risalah Hanif ini, belum dapat membantah terputusnya nasab Ba Alwi, karena didalamnya hanya mengetengahkan tentang pembicaraan para ulama terhadap nasab Ba Alawi mulai dari abad sembilan’ kemudian ia juga mengatakan ‘ketika ketersambungan dari 345-996 hijriah ini tidk ada maka semua pujian ulama setelah tahun 996 H tidak berfaidah dalam istbat nasab Ba alawi’ dst. Pernyataan Imaduddin di atas menunjukan bahwa ia tidak betul-betul membaca risalah ilmiyah saya. Padahal siapapun yang membaca risalah tersebut maka akan melihat secara jelas dan gamblang bahwa saya mengutip kesaksian-kesaksian ulama dari kitab mereka sebelum tahun 996 H…”
Pernyataan Hanif ini ada benarnya, saya tidak terlalu serius membaca kalimat yang tidak ada kaitan dengan ketersambungan nasab habib Ba Alawi. Kenapa? Karena memang yang ingin kita gali adalah ittisolurriwayat nasab Habib Ba Alawi yang terputus. yang diperlukan bagi nasab Ba Alawi ini adalah ketersambungan riwayat dari mulai Ahmad bin Isa (w. 345 H) sampai munculnya nama Ubaidillah yang mempunyai anak Alwi pada abad 10 H., yaitu ketika kitab Tuhfatutholib Bima’rifati man Yantasibu Ila Abdillah wa Abi Tholib, karya Sayyid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996) memuat untuk pertama kali. Sedangkan kitab-kitab yang banyak itu walaupun ditulis sebelum 996 H., tetapi tidak menyebut nama Ubaidillah tetapi Abdullah. Menurut penulis keduanya adalah orang yang berbeda.
Semisal, Hanif berhujjah dengan kitab al-Suluk karya al-Jundi (w.732), di sana yang disebut bukanlah Ubaidillah, tetapi Abdullah, dan ini akan saya ulas tersendiri untuk membuktikan bahwa nama Abdullah yang disebut itu memang bukan Ubaidillah leluhur para habib, jadi tidak bisa dijadikan hujjah.
Kedua Hanif menggunakan hujjah kitab al-Yafi’I (w.768) di sana ada syair tentang Ba Alwi di Hadramaut. Sekali lagi Ba Alwi yang disebut itu bukan Ba Alwi para habib, itu Ba Alwi bani Jadid. Tidak tegas menyebut nama Ubaid atau nama-nama keluarga habib Ba Alwi. Tidak bisa menjadi hujjah.
Ketiga, Hanif menggunakan kitab Imam al-Rasuli (w. 778 H). Di sana yang disebut adalah Abdullah, bukan Ubaidillah. Abdullah itu bukan Ubaidillah. Kitab ini tidak bisa menjadi hujah.
Keempat, Hanif menggunakan kitab Imam al-Khozroji (w. 812). Lagi, yang disebut Abdullah. Kitab ini tidak bisa menjadi hujjah pula.
Kelima, Hanif menggunakan kitab al-Imam al-Ahdal (w. 855 H) kitab ini adalah ikhtisar al-suluk, akan penulis bahas bersama al-Suluk dalam penelusuran perbedaan antara Abdullah dan Ubaidillah. Tidak bisa menjadi hujjah pula karena namanya masih Abdullah.
Keenam, Hanif menggunakan kitab al-Imam Abdurrahman al-kahtib (w. 855), kitab al-Jauhar al-Syafaf, konon menyebut nama Ubaidillah, tetapi kitabnya belum dicetak, katanya masih manuskrip. Manuskrip ini ada di Huraidah, Yaman, di perpustakaan Ahmad bin Hasan Al-Athos (habib Ba Alawi). Perlu diketahui al-Jauhar al-syafaf pula, adalah manuskrip yang terdapat di perpustakaan Malik Abdullah bin Abdul Aziz Saudi, dengan nama pengarang Abdullah Ibnul Hadi. Kitab manuskrip belum bisa dijadikan hujjah kecuali telah dipublikasikan dan bisa diverifikasi keasliannya oleh seorang muhaqqiq terpercaya.
Ketujuh, Hanif menggunakan kitab Kadzim al-Musawi (w. 880), didalamnya yang disebut adalah Abdullah, tidak bisa menjadi hujah karena idak menyebut nama Ubaidillah.
Kedelapan, Hanif menggunakan kitab Imam al-Sakhowi (902 H), Ba makhramah (w. 947 H), kitab Ibnu hajar (w. 947 H), Yahya bin Syarafuddin al-hasani (w. 965 H), dan al-Samarqondi (996 H) yang semuanya menyebut nama Ubaidillah. Namun kitab-kitab ini bermuara kepada satu referensi, yaitu kitab al-Burqoh al-Musyiqoh karya Habib Ali al-Sakran (w. 895 H.) dan tidak bisa menyambung kepada kitab yang lebih tua yang menyebut nama Abdullah seperti kitab al-Suluk. Kenapa?
Leluhur Habib Ali Al-Sakran, yang dikenal pada zamannya bernama Ubaid, tanpa idlofah kepada “Allah”. Hal ini diakui oleh Habib Ali al-Sakran dalam kitabnya tersebut dengan ibaroh:
وهكذا هو هنا عبيد المعروف عند اهل حضرموت والمسطر في كتبهم والمتداول في سلسلة نسبهم ونسبتهم انه عبيد بن احمد بن عيسى (البرقة المشيقة: 150)
“Dan demikianlah, ia di sini (bernama) Ubaid yang dikenal penduduk Hadramaut, dan ditulis dalam kitab-kitab mereka dan berkesinambungan dalam sislsilah nasab mereka. Dan penisbatan mereka adalah: Ubaid bin Ahmad bin Isa.” (al-Burqoh al-Mtsiqoh: 150).
Perhatikan, bahwa yang tertulis berkesinambungan bagi penduduk Hadramaut, hanya sampai Isa, belum dilanjutkan kepada Muhammad al-Naqib sebagai ayah Isa.
Untuk menyimpulkan bahwa leluhurnya yang bernama Ubaid, tanpa pakai mudlaf ilaih “Allah”, itu adalah Abdullah, Habib Ali al-Sakran menyebutkan:
وقد فهمت مما تقدم اولا منقولا من تاريخ الجندي وتلخيص العواجي وسبق به الكلام في ترجمة الامام ابي الحسن عَليّ بن مُحَمَّد ابْن أَحْمد جدِيد انه عبد الله بن احمد بن عيسى حيث قال: مِنْهُم ابو الْحسن عَليّ بن مُحَمَّد ابْن أَحْمد بن حَدِيد بن عَليّ بن مُحَمَّد بن حَدِيد بن عبد الله بن أَحْمد بن عِيسَى بن مُحَمَّد بن عَليّ ابْن جَعْفَر الصَّادِق بن مُحَمَّد الباقر بن عَليّ بن زين العابدين بن الْحُسَيْن بن عَليّ ابْن ابي طَالب كرم الله وَجهه وَيعرف بالشريف ابي الْحَدِيد عِنْد أهل الْيمن اصله من حَضرمَوْت من اشراف هُنَالك يعْرفُونَ بَال ابي علوي بَيت صَلَاح وَعبادَة على طَرِيق التصوف انتهى (البرقة المشيقة: 150-151)
“Dan aku memahami dari keterangan yang telah lewat, untuk pertama kali, berdasar apa yang terdapat dari Tarikh al-Jundi (kitab al-Suluk) dan kitab Talkhis al-Awaji, dan telah disebutkan pembicaraan tentangnya, dalam menerangkan biografi sosok al-Imam Abu al Hasan, Ali bin Muhammad bin Ahmad Jadid, bahwa Ubaid itu adalah Abdullah bin Ahmad bin Isa. (yaitu) ketika ia (al-Jundi) berkata: sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin Muhammad bin Jadid (Hadid, dua riwayat manuskrip) bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarekat tasawwuf”. (al-Burqah al-Musiqah: 150-151)
Perhatikan kalimat “waqad fahimtu mimma taqoddama”(dan aku memahami dari yang telah lewat itu), dilanjut kalimat “annahu Abdullah bin Ahmad bin Isa” (bahwa Ubaid bin Ahmad bin Isa itu adalah (orang yang sama dengan) Abdullah bin Ahmad bin Isa berdasar kutipan kitab sejarah karya al-Jundi… .
Dari situ diketahui, bahwa yang dicatat sebelum itu hanya Ubaid bin Ahmad bin Isa, lalu ketika Habib Ali al-Sakran membaca kitab al-Jundi maka ia memahami (menyimpulkan) bahwa Ubaid ini adalah Abdullah.
Lalu, kenapa Abdullah menjadi Ubaid lalu Ubaidillah? Habib Ali al-Sakran berargumen bahwa Abdullah bin Ahmad seorang yang tawadlu, ia merasa tidak pantas bernama Abdullah (hamba Allah), maka ia menyebut dirinya (Ubaid) hamba kecil, tanpa lafadz “Allah”.
Perhatikan ibarah di bawah ini!
والذي يظهر عندي ان الشيخ الامام عبد الله بن أَحْمد بن عِيسَى بن مُحَمَّد بن عَليّ ابْن جَعْفَر كان من عظيم تواضعه … ويستحسن تصغير اسمه ومحو رسمه تحقيرا لها وتصغيرا لما ينسب اليها وافناء للدعوى ومقتضيات الهوى بحسب التسمية له بعبيد (البرقة المثيقة:151)
“Dan sesuatu yang dzahir bagiku, bahwa sesungguhnya Syekh Imam Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far, karena tawadu’nya… ia menganggap baikdi tasgirnya (dikecilkan secara lafadz) namanya dan dihapusnya tanda (keagungannya), karena menganggap hina dirinya dan mengaggap kecil susuatu yang dinisbahkan kepadanya (nasab atau lainnya) dan melebur pengakuan dan kebiasaan nafsu, dengan mencukupkan nama baginya Ubaid.” (al-Burqoh: 151).
Dari keterangan di atas disimpulkan, bahwa dikalangan keluarga Ba Alawi sendiri, nasab yang masyhur hanyalah “Ubaid bin Ahmad bin Isa”, lalu ketika Habib Ali al-Sakran melihat kitab al-Suluk, yang menyebut nama Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, ia berkesimpulan bahwa nama itu adalah nama lain dari Ubaid bin Ahmad bin Isa.
UBAIDILLAH DAN ABDULLAH BUKAN SATU ORANG BERDASAR KITAB AL-SULUK
Kitab al-Suluk, adalah salah satu andalan para Habaib untuk menisbahkah ketersambunan nasab mereka kepada Rasulullah. Walaupun kitab ini masih jauh dari masa wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H. minimal, menurut usaha para Habaib, kitab ini, menjadi matarantai ketersambungan, sehingga tidak putus terlalu panjang sampai 651 tahun, terhitung dari wafatnya Ahmad sampai ditulisnya nama merek a di kitab Tuhfat al Tholib tahun 996 H.
Para pembela nasab para habib Ba Alawi di Indonesia mengatakan bahwa Ubaidillah sudah dicatat pada abad delapan. Yang demikian itu, katanya, terdapat di kitab al-Suluk karya al-Jundi (w.730 H.), yaitu ketika ia menyebut nama Abdullah sebagai anak Ahmad. Apakah benar Abdullah yang disebut al-Jundi itu sosok yang sama dengan Ubaidillah leluhur para habaib?.
Menurut penulis, jika seandainya-pun benar, bahwa Ubaidillah adalah sosok yang sama dengan Abdullah, tetap masih terputus riwayat selama 385 tahun dihitung berdasar wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H sampai wafatnya al-Jundi pengarang kitab al-Suluk yang wafat tahun 730.
Apalagi, yang penulis temukan justru menunjukan bahwa Abdullah ini sama sekali bukan Ubaidillah. Ia orang yang berbeda.
Sebelum penulis lanjutkan, mari kita lihat ibaroh yang ada pada kitab al-Suluk karya al-jundi yang menyebut nama Abdullah bin Ahmad bin Isa. Ada beberapa ibaroh di halaman berbeda yang menyebut tentang Abdullah dan Banu Alawi:
Ibaroh pertama:
مِنْهُم ابو الْحسن عَليّ بن مُحَمَّد ابْن أَحْمد بن حَدِيد بن عَليّ بن مُحَمَّد بن حَدِيد بن عبد الله بن أَحْمد بن عِيسَى بن مُحَمَّد بن عَليّ ابْن جَعْفَر الصَّادِق بن مُحَمَّد الباقر بن عَليّ بن زين العابدين بن الْحُسَيْن بن عَليّ ابْن ابي طَالب كرم الله وَجهه وَيعرف بالشريف ابي الْحَدِيد عِنْد أهل الْيمن اصله من حَضرمَوْت من اشراف هُنَالك يعْرفُونَ بَال ابي علوي بَيت صَلَاح وَعبادَة على طَرِيق التصوف (السلوك، المكتبة الشاملة: 2/136-137)
“Sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin Muhammad bin Jadid (Hadid, dua riwayat manuskrip) bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin ( seharusnya tidak ada bin, karena Zainal Abdin adalah laqob Ali) bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarekat tasawwuf”. (al-Suluk, al-Maktabah al-syamilah: 2/136-137).
Perhatikan! Ketika al-jundi menyebutkan nama-nama ulama yang datang ke Taiz, ia menyebut nama Abul Hasan Ali. Siapa Abul Hasan Ali? disebut oleh al-Jundi, bahwa ia dikenal dengan al-Syarif Abil Jadid bagi penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut berasal dari para syarif di sana. Mereka dikenal dengan keluarga Abu Alwi, keluarga kesalihan dan ibadah yang berjalan dalam tarekat tasawwuf.
Al-Jundi, dalam kitabnya tersebut, menyebut silsilah Abul Hasan Ali sebagai berikut:
- Ali bin Abi Talib k.w.
- Husain
- Ali Zainal Abidin
- Muhammad al-Baqir
- Ja’far al-Shadiq
- Ali al-Uraidi
- Muhammad al-Naqib
- Isa al-Rumi
- Ahmad
- Abdullah
- Jadid
- Muhammad
- Ali
- Hadid
- Ahmad
- Muhammad
- Abul Hasan Ali (617 H)
Abu Hasan Ali ini dikenal dengan nama Syarif Jadid yang berasal dari Hadramaut.
Lalu perhatikan nasab para habib Ba Alawi sampai generasi ke-17 dibawah ini!
- Ali bin Abi Talib k.w.
- Husain
- Ali Zainal Abidin
- Muhammad al-Baqir
- Ja’far al-Shadiq
- Ali al-Uraidi
- Muhammad al-Naqib
- Isa al-Rumi
- Ahmad
- Ubaidillah
- Alwi
- Muhammad
- Ali
- Alwi
- Ali khali Qosam
- Muhammad Sohib mirbat (w.550 H)
- Ali Waldul Faqih (w.590 H.)
- Muhammad Faqih al-Muqoddam (653 w. H)
Perhatikan! Abul Hasan Ali, hidup segenerasi dengan Muhammad sohib mirbat, Ali Walidul faqih, dan Faqih al-Muqoddam. Kenapa ketika menyebut bahwa Abul Hasan berasal dari syarif-syarif di Hadramaut, al-Jundi tidak menyebut nama Muhammad Sohib Mirbat atau Faqih al-Muqoddam? Padahal, al-Jundi wafat tahun 730 H., seharusnya al-Jundi mengenal Muhammad Sohib Mirbat atau Faqih al-Muqoddam, karena disebut dalam literasi para habib, semisal Syamsu Dzahirah (h.72), bahwa Muhammad Sohib Mirbat adalah ulama besar dan “syaikhul masyayikh al ajilla’ al- a’lam”, gurunya para guru yang agung dan menjadi tokoh, juga disebut dalam kitab yang sama ia sebagai “Imam al-a’immah”, imamnya para imam. Faqih al-Muqodam, menurut Solih bin Ali al-hamid Ba Alawi dalam kitabnya, Tarikh Hadramaut (h.709), adalah ulama besar yang sampai tingkatan mujtahid mutlak.
Seharusnya, dengan sebesar penyebutan itu, al-Jundi mengenal keduanya, karena al-Jundi tinggal Aden, Yaman. Yang demikian itu misalnya, al-Jundi menyebutkan: “Syarif Abul Hasan ini berasal dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi satu keluarga dengan Sohib Mirbat dan Muhammad al-Faqih al-Muqodam”. Tetapi al-Jundi tidak menyebutkan demikian. Ia hanya menyebut Abul Hasan Ali.
Hanif menyatakan bahwa al-Jundi menyebut Faqih al-Muqoddam, Ali Khali Qosam, putra solih Muhammad bin ali bin alwi, dan sayyid Abdullah bin Alwi. Benarkah klaim itu? Mari kita uji!
Sebelumnya, mari kita baca ibaroh kitab al-jundi berikut ini!
ومِنْهُم أَبُو مَرْوَان لقبا واسْمه عَليّ بن أَحْمد بن سَالم بن مُحَمَّد بن عَليّ كَانَ فَقِيها خيرا كَبِيرا عَنهُ انْتَشَر الْعلم بحضرموت انتشارا موسعا لصلاح كَانَ وبركة فِي تدريسه وَكَانَ صَاحب مصنفات عديدة وَهُوَ أول من تصوف من بَيت أَبَا علوي اذ هم أَنما يعْرفُونَ بالفقه وَلما بلغ الْفَقِيه ذَلِك وَإِن هَذَا تصوف هجره. وَمِمَّنْ تفقه بِأبي مَرْوَان أَبُو زَكَرِيَّا خرج مقدشوه فنشر الْعلم بهَا وبنواحيها نشرا موسعا وَلم أتحقق لأحد مِنْهُم تَارِيخا.
“Sebagian dari mereka (tokoh Hadramaut) adalah Abu Marwan, sebagai laqob, adapun namanya adalah Ali bin Ahmad bin Salim bin Muhammad bin Ali. Ia seorang ahli fikih yang terbaik yang besar, darinya meyebar luas ilmu di Hadramaut., Karena kesalihannya dan keberkahan pengajarannya. Ia mempunyai karangan yang banyak. Ia adalah awal orang yang bertasawuf dari keluarga Aba Alwi. Mereka (sebelumnya) dikenal dengan fikih. Dan ketika sampai kepadanya tentang itu dan sesungguhnya ini telah bertasawuf lalu ia menjauhinya. Dan sebagian yang telah belajar fikih kepada Abu Marwan adalah Abu Zakaria, ia keluar ke Maqdisyu lalu menyebarkan ilmu di sana dan di peloksoknya dengan penyebaran yang luas dan aku tidak mengetahui seorangpun sejarah mereka.”
Dari ibaroh ini, kita menemukan secara dzahir, bahwa Abu Marwan sebagai keluarga Ba Alawi, dan ia merupakan orang pertama yang menjalani tarekat tasawuf. Dan nama Abu Marwan ini tidak lazim dipakai keluarga Habib Ba Alawi. Tapi menurut Hanif, di sini, ada kalimat yang hilang, yaitu setelah kalimat “musonnafat adidat” terdapat kalimat “Wabihi tafaqqaha Muhammad bin Ali Ba Alwi” lalu baru dilanjutkan kalimat “wahua awwalu…” jadi yang benar menurut Hanif, “belajar kepadanya (Abu Marwan), (orang yang bernama) Muhammad bin Ali Ba Alwi (Faqih Muqoddam)…”. Hal itu, menurut Hanif, disyahidi oleh kitab Husen bin Abdurrahman al-Ahdal yang bernama Tuhfatuzzaman fi Tarikhi Sadat al Yaman. Setelah penulis mencari kitab ini, memang ada seperti yang disebut Hanif, ada tambahan Muhammad bin Ali. Kekurangannya, kitab ini di tahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Habsyi dari keluarga Ba Alawi sendiri. Bukan penulis meragukan pentahqiq tanpa alasan, tetapi beberapa pengalaman pentahqiqan yang dilakukan kalangan internal Ba Alawi, mulai dari kitab Abna’ al-Imam dan al-Raud al-jaliy, selalu ada masalah. Taruhlah itu betul, bahwa ada nama Muhammad bin Ali Ba Alwi, tetapi apakah betul itu al-Faqih al-Muqoddam? Kita lanjutkan ibaroh al-Jundi berikut!
وَمن بَيت أبي علوي قد تقدم لَهُم بعض ذكر مَعَ ذكر أبي جَدِيد مَعَ واردي تعز وهم بَيت صَلَاح طَرِيق وَنسب فيهم جمَاعَة مِنْهُم حسن بن مُحَمَّد بن عَليّ باعلوي كَانَ فَقِيها يحفظ الْوَجِيز للغزالي غيبا وَكَانَ لَهُ عَم اسْمه عبد الرَّحْمَن بن عَليّ بن باعلوي.
“dan sebagian dari keluarga Abi Alwi, telah terlebih dahulu disebutkan sebagian mereka, ketika menyebutkan Abi Jadid beserta orang-orang yang datang ke Taiz, mereka adalah keluarga kesalihan, tarekatnya dan nasabnya, diantara mereka adalah Hasanbin Muhammad bin Ali Ba Alawi, ia seorang ahli fikih, ia menghafal kitab al-Wajiz karya Imam gazali, ia punya paman namanya Abdurrahman bin Ali Ba Alawi.”
Dari ibaroh ini ada nama yang disebut al-jundi merupakan keluarga Ba Alawi, yaitu Hasan bin Muhammad bin Ali Ba Alawi. Nama Muhammad bin Ali Ba Alwi yang disebut kembali, ia mempunyai anak bernama Hasan. Pertanyaannya, kalau Muhammad bin Ali Ba Alwi itu al-Faqih al-Muqoddam, seperti interpretasi Hanif, apakah al-Faqih al-muqoddam mempunyai anak bernama Hasan?
Mari kita lihat kitab nasab Ba Alawi Syamsu al-Dzahirah, apakah al-faqih al-muqoddam mempunyai anak bernama Hasan?
Perhatikan ibaroh di bawah ini!
وله (اي الفقيه المقدم) من الولد خمسة بنين: علوي وأحمد وعلي وعبد الله المتوفي بتريم سنة 663 وعبد الرحمن المتوفي بين الحرمين…(شمس الظهيرة: 78)
“ia (al-Faqih al Muqoddam) mempunyai anak laki-laki lima: Alawi, Ahmad, Ali, Abdullah yang wafat di Tarim tahun 663 H, dan Abdurrahman yang wafat antara Makkah- Madinah.” (Syamsu al-Dzahirah: 78)
Jelas di sini disebutkan bahwa al-Faqih al-Muqoddam tidak punya anak bernama Hasan. Jadi jelas pula bahwa Muhammad bin Ali yang disebut al-Jundi itu bukan al-Faqih al-Muqoddam.
Penguat kedua bahwa Muhammad bin Ali yang disebut al-Jundi itu bukan al-Faqih al-Muqoddam adalah kalimat “Ia (Hasan bin Muhammad) mempunyai paman bernama Abdurrahman bin Ali …” pertanyaanya, apakah Ali ayah al Faqih al-Muqoddam mempunyai anak bernama Abdurrahman? Mari kita lihat kitab Syamsu al-dzahirah dengan ibaroh di bawah ini!
له ابن واحد هو الشيخ الامام محمد الشهير بالفقيه المقدم رضي الله عنه…(شمس الظهيرة: 77)
“ia (Syekh Ali bin Muhammad sohib Mirbath) mempunyai anak satu, yaitu syekh Imam Muhammad yang masyhur dengan (nama) al-Faqih al-Muqoddam…” (Syamsu al-dzahirah: 77)
Dikatakan dalam kitab Syamsu al-Dzahirah, bahwa Ali (ayah al-Faqih al-Muqoddam) hanya mempunyai anak satu, berarti Hasan yang disebut al-Jundi mempunyai paman bernama Abdurrahman jelas bukan anak al-Faqih al-Muqoddam dan bukan keluarga Habib Ba Alwi.
وَمِنْهُم عَليّ بن باعلوي كَانَ كثير الْعِبَادَة عَظِيم الْقدر لَا يكَاد يفتر عَن الصَّلَاة ثمَّ مَتى تشهد قَالَ السَّلَام عَلَيْك ايها النَّبِي ويكرر ذَلِك فَقيل لَهُ فَقَالَ لَا ازال افْعَل حَتَّى يرد النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فَكَانَ كثيرا مَا يُكَرر ذَلِك ولعلي ولد اسْمه مُحَمَّد ابْن صَلَاح وَله ابْن عَم اسْمه عَليّ بن باعلوي بعض تفاصيل ابا علوي احْمَد بن مُحَمَّد كَانَ فَقِيها فَاضلا توفّي سنة ٧٢٤ تَقْرِيبًا وَعبد الله بن علوي بَاقٍ الى الْآن حسن التَّعَبُّد وسلوك التصوف. (السلوك: المكتبة الشاملة: 2/463)
“dan sebagian dari mereka adalah Ali bin Ba Alwi, ia banyak ibadahnya, agung pangkatnya, ia selalu solat, dan ketika membaca tasyahhud, ketika ia membaca ‘assalamualaika ayyuhannabiyyu’, ia mengulang-ulangnya, maka ditanyakan kepadanya (kenapa ia mengulang-ulang kalimat tersebut?), (ia menjawab): ‘aku melakukannya sampai Nabi s.a.w. menjawabnya’, maka banyak sekali ia mengulang-ulang itu. Dan Ali mempunyai anak namanya Muhammad Ibnu Solah, ia punya paman namanya Ali bin Ba Alwi, sebagian rincian keluarga Aba Alwi adalah Ahmad bin Muhammad, ia seorang ahli fikih yang utama, ia wafat kira-kira tahun 724 H; dan Abdullah bin Ba Alwi, ia masih hidup sampai sekarang, ia bagus ibadahnya dan menjalani tasawuf”.
Benarkah nama-nama ini seperti yang disebutkan Hanif, merupakan keluarga habib Ba Alwi?, Mari kita lihat satu persatu
Pertama, Alwi bin Ba Alwi, sangat banyak keluarga Habib Ba Alwi yang bernama Alwi, sementara bin Ba Alwi tidak menunjukan ayah, tetapi menunjukan kabilah. Jadi sulit untuk menelusuri siapa dia. Tetapi Hanif, menyatakan bahwa maksudnya itu adalah Ali Khali Qosam, dan penyebutan bin Ba Alwi itu maksudnya adalah bin Alwi tanpa Ba. Lagi-lagi, Hanif bersyahid kitab Tarikh al-Ahdal yang di tahqiq Ba Alawi sendiri. Tapi mari kita coba telusuri dengan kalimat-kalimat berikutnya. Disitu dikatakan bahwa, Ali bin Ba Alwi ini punya anak paman bernama Ali juga. Berarti jika dia adalah Ali Khali qosam, maka kita telusuri apakah ayah Ali Khali qosam ini punya adik yang mempunyai anak bernama Ali, sehingga Ali inilah yang disebut anak paman Ali Kali Qosam. Mari kita lihat kitab Syamsu al-Dzahirah!
ولعلوي هذا ابنان: سالم لا عقب له وعلي المعروف بخالع قسم (شمس الظهيرة: 70)
“Alawi ini mempunyai dua putra: salim tidak punya keturunan dan Ali yang dikenal dengan Khali’ Qosam”. (Syamsu al-Dzahirah: 70)
Jelas, nama Ali bin Ba Alwi itu bukan Ali Khali Qosam, karena Ali Khali qosam pamannya tidak punya anak, bagaimana ia punya anak paman (sepupu) jika pamannya tidak punya anak. Jadi klaim hanif bahwa keluarga Habin Ba Alwi disebut ditarikh al-Jundi itu terbantahkan. Begitu pula klaim Habib Ali al-Sakran dalam kitabnya al-Burqoh al-Musyiqoh, yang menyatakan bahwa leluhurnya Ubaid bin Ahmad itu adalah sama dengan Abdullah bin Ahmad dengan berhujjah dari apa yang disebut oleh al-Jundi itu menjadi terbantahkan pula. Maka dari sini, nasab Habib Ba Alawi sangat sulit untuk bisa disambungkan dengan nasab Nabi Muhammad s.a.w. karena dalil mereka adalah hanya asumsi kemiripan nama antara Ubaid bin ahmad dan Abdullah bin Ahmad.
Lalu siapa Abu Alwi yang dimaksud itu? Abu Alwi yang dimaksud itu hanyalah keturunan Jadid bin Abdullah.
Kedua, Hanif mengatakan:
“Sebetulnya, yang menjadi salah satu focus utama saya dalam risalah adalah mengungkap adanya kesalahan mendasar dalam metode penelitian Imaduddin dalam hal ini yaitu syarat ‘harus adanya kitab yang ditulis di zaman Ahmad bin Isa atau mendekatinya..’”
Sebenarnya sarat itu sarat standar dalam metode penelitian tokoh sejarah. Harus ada kitab sezaman (primer) atau yang mendekatinya (sekunder). Artinya kitab yang ditemukan terdekat yang tidak dibantah oleh kitab terdekat lainnya yang lebih tua. Ketika kitab tahun 606 H. menyatakan bahwa Ahmad hanya mempunyai anak tiga, lalu ada kitab abad 8 menyatakan tambah satu, maka kitab abad ke dealapan ini tertolak. Kecuali jika tidak ada bantahan kitab lainnya di antara rentang masa Ahmad bin Isa dengan kitab abad delapan itu. Inilah sanad. Jika sebuah periwayatan tanpa sanad maka intisari ajaran Islam ini akan semrawut. Nasab keturunan Nabi Muhammad s.a.w. memiliki konsekwensi keagamaan, semisal bab zakat, khumus dan sebagainya.
Hanif mengkritik, kenapa penulis ketika mencari dalil dari Ali al-Uraidi sampai Ali Zainal Abidin hanya menggunakan sebuah sanad hadits riwayat Turmudzi?
Seperti para ahli ilmu mengetahui, bahwa para muhaddits seperti Turmudzi dan lain-lain, memiliki keketatan tersendiri dalam meriwayatkan hadits, lebih dari keketatan para ahli nasab. Dan, masa itu, nasab Ali Zainal Abdin sampai Ali al-Uraidi masih sangat masyhur, dan telah menjadi “syuhrah wal istifadah” baik dikalangan ahli ilmu maupun awam. akan kecil kemungkinan urutan sanad riwayat yang menyebut nama-nama masyhur seperti mereka salah.
Ketiga, Hanif menyatakan bahwa nasab Abdullah sebagai anak Ahmad telah disebutkan oleh al-Ubaidili (w. 435 H), demikian itu terdapat dalam kitab al-Raudl al-Jaliy karya Az-Zabidi (w. 1205). Penulis telah menulis tentang ini dan jelas ada dua kitab cetakan yang berbeda isi. Penulis tidak akan membahas panjang lagi tentang kitab ini, karena telah tercederai oleh riwayat yang saling bertentangan. Dalam bab air, jika ada dua wadah, yang satu berisi air dan yang satu berisi air kencing, kemudian keduanya iltibas (tertukar) maka keduanya tidak boleh kita gunakan untuk wudu. Keduanya harus dibuang lalu kita tayammum. Ditambah, yang diriwayatkan al-Zabidi itu nama Abdullah, bukan Ubaidillah. Jelas tidak mempengaruhi apapun, seperti yang telah penulis jelaskan Abdullah tidak sama dengan Ubaidillah.
Keempat, Hanif menyatakan tentang kitab al-Suluk. Telah penulis jelaskan bantahannya di atas.
Kelima, Hanif mengutip pendapat penulis tentang yang tidak boleh menerima zakat dalam kitab penulis al-Fikrah al-Nahdliyyah. Di dalam kitab tersebut memang penulis menyebutkan bahwa sebagian dari Bani hasyim adalah Ba Alawi dengan silsilah yang sama dengan nasab habib itu, karena memang pengetahuan penulis waktu menulis kitab (tahun 2017) itu demikian. Seakan-akan Hanif ingin mengatakan bahwa penulis tidak konsisten dalam pendapat. Perlu diketahui, perebedaan pendapat seorang ulamadalam kitab-kitabnya yang berbeda-beda itu sudah biasa. Tinggal dilihat titimangsanya. Kitab yang terakhir itulah yang menjadi pegangan jika ada pendapat yang bertentangan. Dan pendapat penulis tentang nasab Ba Alawi itu telah pnulis anulir dalam kitab penulis yang lain, yaitu kitab al-Bayan al-Dzahabi, dan kitab al muktafi, syarah Nihayatuzzain juz 1.
Oleh: KH. Imaduddin Utsman al-Bantani
Editor: Didin Syahbudin