Oleh : Hamdan Suhaemi
Kawedanan Pontang
Sejak Banten menjadi karesidenan yang dibentuk 1816 oleh Gubernur Jenderal Rafless, hanya baru ada beberapa kadipaten ( regenschaft ) antara lain kadipaten Serang, yang dipimpin seorang Adipati atau Bupati. Kadipaten tersebut membawahi beberapa Kawedanan seperti Kawedanan Pamarayan, daerah selatan yang berdekatan dengan Rangkas Bitung, dan Kawedanan Pontang bagian Utara dari Kadipaten Serang.
Pontang akhir abad 19, adalah daerah Kawedanan yang dikepalai seorang Wedana. Wedana biasanya pribumi keturunan bangsawan (aristokrat), yang punya gelar Raden, Mas Arya, Pangeran Mas, atau Tubagus dan hampir rata-rata itu diawasi oleh asisten Residen yang orang Belanda. Mungkin penempatan pemimpin Kadipaten dan Kawedanan oleh pribumi bangsawan itu berasal dari kebijakan politik etis Kolonial Belanda yang ditetapkan oleh Van Den Bosch.
Wedana Pontang dulu kebetulan sangat menghargai ulama dan menempatkan pada kedudukannya yang tinggi dalam strata sosial masyarakat Pontang, ulama yang terkenal dan dihormati sang wedana adalah KH. Darda dan KH. Tubagus Qosim. Nama terakhir ini adalah ulama kharismatik yang pakar ilmu Qiroat, disamping seorang sufi yang garis keturunannya berasal dari Cikaduen Pandeglang Banten.
Kharisma KH. Tubagus Qosim bukan saja ia seorang bangsawan, bukan saja seorang ulama tetapi lebih karena keterkenalannya ikut berperan pada perang Geger Cilegon 1888, yang meletus di Cilegon dan satu-satunya ulama yang lolos dari hukum pembuangan Belanda.
Kediamannya di Kampung Sampang ikut jejak ayahnya Tubagus Najmuddin, telah mengantarkannya sebagai tokoh ulama yang disegani serta diangkat sebagai Penghulu Onder di Kawedanan Pontang. Orang Sampang memanggilnya Ama Puh singkatan dari Mama Sepuh. Mama Sepuh KH. Tubagus Qosim inj memperistri Nyi Kasum anak dari KH. Sayuda Sondol Rangkasbitung.
Kelahiran
Pasangan KH. Tubagus Qosim dan Nyi Kasum telah dikaruniai anak perempuan bernama Maryam, Salhah dan anak laki-laki bernama Asep Abdul Ghani, kelak dikenal KH. TB Asep Abdul Ghani anggota DPRD Fraksi SI ( Syarekat Islam ). Ratu Salhah ini diperkirakan lahir di tahun 1901, sebab saat menikah usianya baru 18 tahun dan punya anak pertamanya lahir tahun 1921. Beberapa tahun kemudian lahirlah adik dari Salhah ini yang diberi nama Asep Abdul Ghani. Sementara Nyi Kasum sebelum menikah dengan KH. Tubagus Qosim sudah punya anak dari orang Rangkas namanya Nurbah dan Nurma yang dibawa ke Sampang saat diperistri Mama Sepuh.
Pernikahan Sayembara
Diceritakan bahwa ada santri Mekkah yang baru pulang, namanya H. Abdul Aziz. Pemuda tampan putera dari Kiai Mardali Ragas. Kepulangannya ke tanah air karena deportasi besar-besaran oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1920 akibat gejolak politik di Hijaz, saat itu Hijaz dikuasai oleh Bani Suudi yang kemudian dirubah menjadi Mamlakah Saudi Arabia ( Kerajaan Arab Saudi ).
Setelah sekian bulan pulang dari Hijaz, H. Abdul Aziz ini ternyata memancing perhatian masyarakat Ragas dan seputarnya, karena ia sosok muda, alim dan soleh yang kebetulan berparas tampan hingga menjadi buah bibir gadis-gadis kampung. Hampir tiap hari tamu berdatangan karena ngalap barokah dari orang yang pulang dari Mekkah, ada pula yang bertamu dengan maksud meminang untuk anak gadisnya, ramainya tamu-tamu dari berbagai kampung untuk melamar puteranya ini, maka Kiai Mardali berniat untuk mengumumkan ke masyarakat jika sanggup mengganti biaya tambang haji maka anaknya diizinkan untuk menikah dengan anak siapapun yang mampu membayarnya tersebut.
Terdengarlah kabar tersebut sampai kampung Sampang. Disana ada seorang paruh baya bernama Nyi Kasum istri KH. Tubagus Qosim mendengar kabar itu dari salah satu keponakannya yakni Abdul Barri ( belakangan adalah kakek dari Lilip Tanara ) dan berniat untuk mengunjungi pemuda H. Abdul Aziz itu, singkat cerita Nyi Kasum yang datang langung ke Ragas untuk memastikan kabar tersebut.
Nyi Kasum saat di rumah Kiai Mardali melihatnya bahwa H. Abdul Aziz adalah memang tampan dan berakhlak baik, sopan dan tawadlu’. Nyi Kasum teringat anak gadisnya yaitu Ratu Salhah, terbesit di hati Nyi Kasum untuk menjodohkan H. Abdul Aziz dengan anaknya. Namun sebelum niat Nyi Kasum diwujudkan terdengar kabar bahwasannya ada sayembara yang diucapkan oleh Kiai Mardali sendiri yang mengatakan apabila hendak mengambil anaknya harus sanggup mengganti harga tambang haji.
Nyi Kasum tak berpikir panjang mengatakan kepada orang tua H. Abdul Aziz untuk mengambilnya sebagai menantu. Orang tua H. Abdul Aziz sesuai dengan ketentuan sayembara tersebut telah mengizinkan anaknya diambil menantu oleh Nyi Kasum karena Nyi Kasum lah yang telah sanggup mengganti biaya tambang hajinya.
H. Abdul Aziz pun akhirnya bersedia memperistri Salhah putri dari Nyi Kasum. Proses itu tidak berlangsung lama hingga walimahan antara H. Abdul Aziz yang putra Kiai Mardali dengan Salhah yang putri Kiai Qosim. Saat pernikahan itu datanglah keluarga Nyi Kasum dari Sondol Rangkas Bitung, antara lain KH. Sayuda. Kiai ini sempat mendoa’kan kedua mempelai dengan ucapan seperti ini “ mudah-mudahan iyeu pangantin dibere keturunan nu soleh jeung solehah, jeung menfaat ka sadayana, amin.”
Buah pernikahannya ini, keduanya dikarunia 7 orang anak yaitu Robi’ah Adawiyah ( Ma Ot ) Abdullah ( Abah Yoyoh ), Muhammad Syanwani ( Abah Mamat ), Romlah, Muhammad Sya’roni ( Abah Muhammad), Muhammad Syibli ( Abah Sibli ), Muhammad Syadili ( Abah Cok ).
Robi’ah Adawiyah dilahirkan tahun 1921, disusul tahun 1924 lahirlah Abdullah. Pada tahun 1926 lahir anak ketiganya yang diberi nama Muhammad Syanwani. Dua tahun kemudian lahir anak perempuan yang diberi nama Romlah, dan dua tahun kemudian lahirlah Muhammad Sya’roni yaitu tahun 1930. Tahun 1932 lahir anak laki-laki dari pasangan KH. Abdul Aziz dan Nyi Ratu Salhah yang diberi nama Muhammad Syibli. Dua tahun berikutnya lahir anak laki-laki yang diberi nama Muhammad Syadili di tahun 1934.
Wafat
Nyi Ratu Salhah binti KH. Tubagus Qosim ini sosok ibu yang sangat welas, sangat adil terhadap putera-puteranya hingga semuanya mendapatkan pendidikan yang baik. Menurut penuturan Almarhumah Ibu Hj. Afifah Alawiyah ( ibunya penulis ) ketika tahun 2013 saya wawancarai, beliau mengatakan begini ” Ibu Gede Salhah mah wong tue sing bener-bener adil ning anak-anake, loman, lan bijaksane “.
Ibu dari anak-anak yang semuanya kiai ini tutup usia di tahun 1978, dalam usia 77 tahun. Figur perempuan bangsawan Banten yang kepada tetangganya begitu sangat welas asih. Figur perempuan hebat yang terlahir bak kuntum bunga yang wanginya tak pernah hilang. Terkenang sebagai istri KH. Abdul Aziz yang Solehah. Semoga surga adalah tempatnya yang paling layak.
Bolang 8-5-2022
Penulis min sibti Nyi Ratu Salhah