Oleh : Hamdan Suhaemi
Peristiwa Geger Pecinan, adalah catatan buruk perjalanan panjang kehidupan etnis Tionghoa di Nusantara. Ribuan nyawa melayang, darah membanjiri kali Ciliwung, dan memerahkan kali kerukut hingga kepala-kepala orang Tionghoa yang jadi korban pembunuhan tersebut bertumpuk di tepi muara Angke, dan jasad yang terbunuh bertumpuk-tumpuk di pabrik-pabrik pengelolaan ikan di Pasar Ikan dan beberapa sudut-sudut kampung Penjaringan.
Tercatat dalam Buku Tina Layang Parahyang yang artinya Catatan dari Parahyang, bahwa kedatangan etnis Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa huru-hara warga Tionghoa di Batavia, yang direspons oleh VOC dengan represi besar-besaran sehingga berujung pada peristiwa pembantaian. Peristiwa yang dikenal dengan istilah “Geger Pecinan” atau “Tragedi Angke” ini terjadi pada 1740.
Pasca tragedi berdarah itu, banyak etnis Tionghoa pergi menyelamatkan diri ke Tangerang dan sekitarnya. VOC juga mengeluarkan kebijakan untuk mengirimkan sisa-sisa orang Tionghoa di Batavia ke Tangerang untuk bertani.
Kehidupan baru etnis Tionghoa di Tangerang, kemudian dikenal sebagai peralihan kehidupan hilir ke kehidupan hulu, mereka bertempat di dekat benteng yang dibuat VOC Belanda tahun 1671 M, untuk belokade serangan pasukan Surosowan Banten. Kehidupan etnis Tionghoa dalam Benteng ini lalu belakangan dikenal China Benteng.
Dari pemukiman Benteng ini, keluarga Tionghoa beranak Pinak, hingga beberapa keturunannya bermukim di Leuweung Gede Balaraja. Kebanyakan etnis tersebut bermarga Liem, dari Leuweung Gede inilah lahir seorang bernama Liem Kiam Ong tahun 1901 M yang kelak di kemudian hari menjadi tokoh sejarah, meski dilupakan.
Liem, kemudian terkenal di kalangan orang Banten bagian Timur dan Selatan, dari Jayanti hingga Ciomas, dari Maja hingga Serang sebagai Dalang Ruwat, mendalang tapi juga meruwat. Liem Kiam Ong adalah seorang keturunan Tionghoa yang punya keterampilan dan kemampuan mendalang, wayang golek yang dibuatnya dan tutur dalam cerita pewayangannya justru menarik simpatik masyarakat. Ia berdakwah dengan cara mendalang. Sebagai muslim tentu ia punya kewajiban untuk berdakwah, meski satu huruf. Kebiasaan Dalang Kiem Ong ini tidak lepas selalu membaca manaqib kanjeng Syaikh Abdul Qadir Jailani apabila mau pertunjukan wayang, orang mengenalinya dalang yang biasa ruwat.
Menurut keterangan Liem Guan Lie, yang saya temui di Solo beberapa waktu yang lalu di salah satu gedung seni tari dekat Gereja Pondok Daud, ia merupakan keponakan cucu dari Dalang Kiem Ong, ia menuturkan bahwa Kiem Ong mulai mendalang sejak tahun 1940 M, masih di era penjajahan Belanda. Ketenaran Dalang Kiem Ong dengan wayang golek-nya hingga ke telinga Masyarakat yang bermukim di Tangerang, Cikupa, Cikande, Pamarayan, Ciomas, Waringin Kurung hingga Serang.
Sebelum tampil mendalang, ia mengawalinya dengan ruwatan terlebih dahulu, yang dibaca adalah manaqib, jawokan Sunda, bacaan kuwuk, sedangkan saat mendalang ia tak lupa membacakan anggitan lokal berisi kisah Mahabharata dan Ramayana. Kegiatan mendalang itu karena ada undangan dari masyarakat di setiap ada hajatan, tanam padi, bangun rumah dan panen.
Dalang Keim Ong ini punya istri 2, salah satu istrinya dari Cikande, hasil pernikahan dengan istri Cikande, ia mempunya anak laki-laki dan perempuan, dan dari garis keturunan ini muslim semua, sedangkan istri yang lainya berasal dari etnis Tionghoa, kemudian keturunannya memeluk agama leluluhrnya ( Konghucu ).
Makna sejarah yang kita dapati dari perjalanan hidup Liem Kiam Ong ini adalah makna ketekunan, istiqomah dalam mendalang yang ia gunakan sebagai media dakwahnya. Kemasyhuran Dalang Kiem Ong, tentu juga bermakna istimewa, karena keunikan dan sisi lain yang berbeda dari etnis-etnis Tionghoa lainya yang kebanyakan berniaga.
Dalang Kiem Ong, tutup usia tahun 1982 di Cikande. Meninggalkan jejak harum sebagai pendakwah yang legendaris.
Solo, 25-12-21