Dalam istilah santri dikenal berkah, dan berkah itu saya rasakan setelah banyak pergulatan pemikiran melalui perjumpaan buku yang awalnya terpampang di rak perpustakaan kampus. Awal kenal kampus tahun 1998 di era itu Orde Baru tumbang. Lazimnya kampus negeri hiruk pikuk pergerakan mahasiswa begitu kentara. Hampir ada tiap sudut mengenalkan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus.
Dari proses marketing kegiatan ekstra kampus itu saya mencoba kultur harokah anak-anak ikhwan-akhwat tujuan utama keingintahuan menata keorganisasian. Disini banyak belajar militansi, ghirah dan setia kawan. Namun saya beruntung tataran ideologi tidak begitu terpengaruh karena mungkin atsar saya pernah di pesantren tradisional. Sehingga liqo yang dihidangkan bagi saya biasa saja sehingga saya tidak tertarik mengikuti liqo mingguan.
Islam politik bagi mahasiswa S1 seperti saya sangat menarik dan harus diperjuangkan begitu pergolakan yang ada. Maka partai politik harus berasaskan Islam. Pun dasar negara itu baru sebuah negara Ideal. Begitulah tataran politik kala itu yang saya idolakan.
Namun seiring waktu karena kuliah sambil numpang tidur di emperan kiai. Dan kebetulan Sang Kiai matang dalam Ilmu logika dan ushul fiqh. Dalam kajian tafsir sempat terjadi tanya jawab. Yang sesungguhnya hal demikian tidak umum. Namun sang kiai muda itu menyadari yang ikut bandongan mahasiswa yang mempelajari teologi Asy’ariah juga Mu’tazilah akhinya membuka ruang itu walau awalnya didasari kenekadan si santri melontarkan pertanyaan. Dan sang Kiai tahu karena si santri membuka mimbar diskusi antar santri tentang pergulatan pemikiran “Liberal vs Fundamentalis”.
Pertanyaan yang terngiang itu adalah tentang keharusan negara menegakkan Syariat Islam. Dengan diplomatis sang kiai menjawab yang bagi saya sebagai memporakporandakan bangunan kontruksi pemikiran politik saya. Karena sang kiai menjawab, pelaksanaan hukum syariat, tidak di khitabkan pada lembaga negara, lihat saja disana penggunaan diksi من (man) lebih kepada personal (من لم يحكم…). Sang Kiai membawa kepada tinjauan penggunaan kalimat dalam segi tata bahasa nahwu juga sharaf.
Terus sang kiai membawa si santri yang nyeleneh bertanya itu tinjauan ushul fiqh, dan kaidah ushul. “Kata sang Kiai tidak serta merta perintah dalam al-Quran menunjukan kewajiban mutlak yang harus dilaksanakan, karena perintah ataupun amr bisa saja bermakna khobari, atau bisa juga kebolehan.
Tentang kewajiban salat 5 waktupun itu tidak ujug-ujug hanya melihat nash. Tetapi melihat bagaimana Rasulullah tidak pernah meninggalkan salat dalam kondisi apapun sehat ataupun sakit, bahkan dalam keadaan perang. Dan betapa berat ancaman meninggalkan salat. Barulah setelah melihat secara komprehensif tentang dasar yang mengitari salat 5 waktu menjadi kewajiban masuk rukun dari salah satu rukun Islam. Sekali lagi sang Kiai bilang tidak ujug-ujug perintah dalam al-Quran jadi wajib.
Melompat ke Gus Dur dari jawaban sang kiai itu saya mulai bisa menerima pandangan pemikiran Gus Dur. Dari dialog dalam mimbar bandongan itu antara santri dan kiai. Saya mendapatkan hal baru tentang memahami syariat Islam. Dari proses bandongan itu pula saya menselaraskan dengan statement-statement Gus Dur terlebih dengan konsep pribumisasi Islam. Sumber al-Quran sebagai spirit yang diambil adalah substansi Islam itu sendiri.
Lompatan pemikiran yang saya alami begitu terasa manakala lanjut studi pengkajian Islam di SPS UIN Jakarta. Dikenalkan meneropong Islam dalam kaca pandang ragam disiplin keilmuan. Dari tafsir, fiqh, sejarah, politik, tasawuf, filsafat, kedokteran, hingga kajian lingkungan hidup yang disajikan para Guru Besar sesuai bidang disiplinnya. Walhasil mahasiswa mendapatkan keislaman komprehensif, memandang islam tidak hitam putih.
Dalam perjumpaan pemikiran itu lagi-lagi memperkuat magnet Gus Dur terhadap pemikiran yang bersarang dalam ide dan gagasan. Terlebih tesis yang digarap sebagai tugas akhir pun tentang pemikiran Gus Dur.
Gus Dur secara tidak langsung sudah memberikan konstruksi dasar-dasar pemikiran tentang bagaimana berislam, hidup berbangsa dan ber-Indonesia. Dan konstruksi bangunan pemikiran Gus Dur tidak sama sekali keluar dari koridor Islam. Gus Dur sangat faham kaidah Ushul, tasauf, pun tafsir.
Adapun teori sosial barat itu hanya sebagai faktor pendukung agar pembaca tulisan Gus Dur dari kalangan akademisi didikan barat “terperangah” dan tak bisa membantah sejatinya Islam kaya formula dalam menghadapi dinamisme kehidupan. Jadi tentang islam tidak melulu dogmatisme ada ruang bahkan terbuka terhadap pembaharuan terbatas menyangkut kehidupan sosial kemasyarakatan.
Bagi Gus Dur ada dimensi ta’abudy dan ta’aquli. Diteruskan oleh santri ideologisnya seperti Gus Ulil dengan istilah ada dimensi partikular. Wahyu Ilahi tak turun pada ruang hampa nan kosong. Alhasil Gus Dur memotret bagaimana Kiai NU mau mengkampanyekan program pemerintah tentang KB. Atau bagaimana Kiai NU bisa menyatukan pelajar perempuan dan laki-laki dalam satu ruang kelas.
Lagi-lagi Gus Dur mengajarkan begitu dinamisnya memahami teks wahyu pun hadits. Karena menurut Gus Dur larangan bercampur itu ilatnya dikhawatirkan terjadi perbuatan asusila. Gus Dur mengajarkan memahami teks Ilahi dengan konteks lingkup yang mengitarinya. Dari itu tak segan Gus Dur ambil kaidah ushul lengkap dengan contoh aktual sesuai tradisi nusantara dalam pembaharuan terbatas jauh sebelum konsep mawaris Munawir Sadjali Menag era Orde Baru. Gus Dur mensitir Syekh Arsyad Banjar dengan adat perpantangannya.
Kiai-kiai NU yang dicap tradisional itu sesungguhnya taraf dalam memahami agama lebih maju dan dinamis, tidak terjebak belukar makna teks. Sehingga tak lagi mempermasalahkan dasar negara, presiden perempuan atau laki-laki. Begitulah bagian kecil magnet Gus Dur dari sekian banyak magnet Gus Dur bagi kaum muda-mudi NU dan lainnya.
Ditulis oleh: Akhmad Basuni (Aa Bass),
Ketua Koordinator Pendidikan dan pemeliharaan tradisi RMI PWNU Banten.
Editor: Kang Diens