Oleh: Tb. M. Nurfadhil Satya Tirtayasa.
Ratu Bagus Buang yang beralias Pangeran Burhan bin Pangeran Ksatrian alias Syaikh Abdullah bin Sultan Abdul Qohar, adalah tokoh pahlawan dari keluarga Kesultanan Banten yang berjuang melawan VOC bersama Kyai Tapa di kurun masa tahun 1750 – 1757 M.
Perjuangan perlawanannya dilatar belakangi saat Sultan Banten Zainul Arifin yang bertahta tahun 1733 – 1750, sangat dipengaruhi istrinya yakni Ratu Syarifah Fatimah, janda seorang letnan Melayu di Batavia. Sultan Zainul Arifin menunjuk Pangeran Gusti, putranya yang tertua, menjadi Putra Mahkota,
Namun Ratu Fatimah tidak menyetujuinya, maka diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah, suami dari anaknya Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu, menjadi Putra Mahkota. Atas desakan Ratu Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia, yang kemudian, ditangkap VOC dan diasingkan ke Sailan/Srilangka tahun 1747.
Karena fitnah istrinya pula akhirnya Sultan Zainul Arifin ditangkap VOC dituduh gila, dan diasingkan ke Ambon sampai meninggalnya. Sebagai gantinya diangkatlah Pangeran Syarif Abdullah dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil menjadi Sultan Banten, pada tahun 1750, tapi sebenarnya, Ratu Fatimahlah yang memegang kuasa pemerintahan.
Atas Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah tersebut rakyat Banten mengadakan perlawanan bersenjata.
Dipimpin oleh Ratu Bagus Buang dan Ki Tapa, mereka
menyerbu Surosowan. Dalam penyerangan ini pasukan perlawanan dibagi dua, sebagian langsung menyerang kota Surosowan dan sebagian lagi mencegat bantuan pasukan kompeni dari Batavia.
Ratu Bagus Buang dengan pasukan yang besar menyerbu dari arah barat, yang memaksa pasukan Ratu Fatimah
hanya mampu bertahan di benteng saja, sedangkan pasukan Ki Tapa yang mencegat pasukan kompeni
dari Batavia, melalui pertempuran hebat, mereka dapat menghancurkan pasukan kompeni. Bahkan apabila tidak segera datang pasukan baru dari negeri Belanda, Batavia pun mungkin dapat direbut pasukan Ki Tapa ini. Karena pasukan bantuan dari negeri Belanda ini pulalah akhirnya pasukan pejuang dapat dipukul mundur. Demikian juga pengepungan di Surosowan dapat dibuyarkan.
Untuk menenangkan rakyat Banten, gubernur jendral kompeni yang baru, Mossel, segera memerintahkan wakilnya di Banten untuk segera menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin pada tahun 1752. Ratu Fatimah selanjutnya diasingkan ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda.
Belanda mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Arifin, menjadi wakil raja dan mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingan.
Walau pun kompeni telah mengembalikan Pangeran Gusti dan bahkan menangkap Ratu Fatimah, namun perlawanan rakyat Banten belum mereda. Barisan rakyat dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang sering mengadakan serangan mendadak di sekitar ibukota Surosowan. Tapi dalam serangan besar-besaran yang dilakukan kompeni, akhirnya pasukan perlawanan ini dapat dipukul mundur, hingga mereka hanya dapat bertahan di daerah pengunungan di Pandeglang. Baru pada serangan berikutnya, pasukan pejuang ini menyingkir ke Gunung Munara di Ciampea, Bogor. Melalui serangan yang berkali-kali barulah Gunung Munara dapat dikuasai kompeni, sehingga Ki Tapa dan pasukannya pindah ke daerah Bogor dan Banten Selatan.
Dalam pada itu di Surosowan, kompeni mengangkat Pangeran Arya Adi Santika menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’ Zainul ‘Alimin pada tahun 1752, dan Pangeran Gusti ditetapkan sebagai Putra Mahkota. Tapi dengan pengangkatan itu Sultan Abulma’ali harus menandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya berat sebelah lebih menguntungkan pihak VOC.
Kemudian beberapa pangeran dan pembesar kraton lainnya menjadi gusar, demikian juga dengan Pangeran Gusti. Rakyat kembali mengangkat senjata mengadakan perlawanan, dan kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang di pedalaman. Pasukan penentang mengadakan serangan serentak ke kota Surosowan; Ki Tapa, Ratu Bagus Buang dan pasukannya menyerang dari luar sedangkan rakyat yang dipimpin pangeran dan punggawa Banten mengadakan pengacauan di dalam kota. Terjadilah pertempuran hebat di daerah Caringin dan kota Surosowan.
Dengan susah payah Belanda akhirnya berhasil melumpuhkan serangan-serangan tersebut.
Ki Tapa menyingkir ke daerah Priyangan. Dan setelah terjadi peperangan di Bandung, akhirnya dengan beberapa ratus pengikut Ki Tapa pergi ke arah Timur Jawa untuk bergabung dengan para pejuang di sana.
Dalam data Babad Kemalon Pakunegara dari Keraton Yogyakarta, diriwayatkan Kyai Tapa juga beserta Ratu Bagus Buang, yang oleh pengikutnya, sekitar 200 pasukan disebut sebagai Sultan Banten, sempat hijrah ke Jawa Tengah untuk berjuang bersama Sunan Kabanaran yang kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I Yogyakarta melawan VOC di jawa tengah hingga tahun 1755.
Ratu Bagus Buang kemudian kembali ke Banten, sampai dengan tahun 1757 masih tetap mengadakan perlawanan di Banten, sedangkan Kyai Tapa dikabarkan melanjutkan perjalanannya hingga ke Jawa Timur.
Perlawanan terhadap VOC oleh Rtb. Buang mereda sejak Pangeran Gusti naik tahta dengan gelar Sultan Arif Zainal Asyikin, tahun1753, dan 4 tahun kemudian tahun 1757 Rtb. Buang membubarkan pasukan perlawanannya.
Namun perjuangan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa dapat dianggap berhasil karena dapat menggagalkan upaya licik dari Syarifah Fathimah dan Syarifudin Wakil untuk menguasai Banten, dan berhasil tidak tertangkap oleh pihak penjajah VOC.