Suku Banten
Suku Bangsa adalah suatu golongan atau kelompok manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. (Smith, Anthony D, The Ethnic Origins of Nations, blackwell: 1987). Antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok. (Fredrik Barth ed. Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organitazion of Cultural Difference; Eric Wolf, Europe and The People Without History hlm. 381). menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis pada tahun 1992, “Etnisitas adalah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah hal yang terkandung dalam pengalaman manusia’, meskipun definisi ini sering kali mudah diubah-ubah. (Statistics Canada Definition of Ethnicity, 2008). Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara keluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarawan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru. (Friedlander 1975 Being Indian in Hueyapan, Hobsbawn and Ranger, 1983, The Invation of tradition, Sider 1993, Lumbee Indian Historis).
Suku Banten, atau Orang Banten adalah masyarakat asli yang konsisten secara berabad-abad, secara turun-temurun mendiami bekas kawasan kekuasaan Kesulthanan Banten yang sekarang masuk dalam wilayah Provinsi Banten. Dibatasi dengan kalimat yang sekarang masuk dalam wilayah Provinsi Banten, karena sejatinya bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Banten lebih luas dari wilayah yang sekarang masuk wilayah Provinsi Banten. Ia mencakup seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat, Lampung, bahkan Palembang dan Kalimantan Barat, tentu dengan dinamika yang berubah-ubah dan periodisasi yang berbeda-beda.
Orang Banten yang menempati wilayah Provinsi Banten, dengan proses panjang sejarahnya sejak Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Sunda, Kerjaan Pajajaran, Kesultanan Banten, sampai masa Kemerdekaan menjadi sebuah Provinsi tersendiri, kemudian teridentifikasi baik secara geografis, demografis, antropologis, genetika dan kepercayaan, memiliki diversitas dengan kelompok manusia lainnya, maka tidak berlebihan kalau kemudian orang Banten teridentifikasi khusus sebagai suku tersendiri yang berbeda dari suku lain yang relatif memiliki persamaan dari beberapa unsur lain misalnya bahasa. Ketika dikatakan bahwa sebuah suku bangsa dipengaruhi secara signifikan dari persamaan faktor bahasa, maka tentu penyebutan Suku Baduy sebagai suku tersendiri menjadi bias ketika secara linguistik tidak ada perbedaan antara bahasa yang digunakan Orang Baduy dengan Orang Banten khususnya, dan di Jawa Barat secara lebih luas. Belum ada penelitian khusus tentang apa faktor terkuat Suku Baduy disebut sebuah suku oleh masyarakat luas, selain karena faktor geografisnya, dimana suku Baduy konsisten mendiami suatu kawasan secara konsisten selama berabad-abad yang relatif terkucil dari komponen masyarakat lainnya. Kemudian dari faktor geografis itu, dan konsistensi kebudayaan yang dijaganya misalnya dari pakaian yang belum berubah sejak mereka mengucilkan diri, maka membentuk ciri khas tersendiri yang berbeda dengan masyarakat sekitarnya yang selalu mengikuti perkembangan zaman.
Seperti pendapat Fredrik Barth dan Eric Wolf yang penulis ungkapkan di awal tulisan bahwa suku-bangsa terbentuk bukan berdasarkan sifat hakiki suatu komunitas tetapi lebih karena hasil interaksi mereka. Perasaan kebersamaan dalam melintasi berbagai peristiwa kesejarahan yang berlangsung lama dalam suatu kawasan membentuk sebuah ke-khasan baru yang karena ke-khasannya itu membentuk identitas kesadaran internal misalnya sebagai Orang Banten, atau orang lain akan mudah mengidentifikasi mereka sebagai Orang Banten.
Dalam tulisan yang sederhana ini, penulis tidak akan mengungkapkan bahan alasan-alasan di atas secara detail dan terperinci, karena tulisan ini sengaja penulis buat sesederhana dan sesingkat mungkin, namun memiliki scientific stimulation bagi akademisi untuk menggalinya, menambahkan dalam kesetujuan atau bahkan membantahnya dalam pengingkaran, namun semuanya tentu harus berbasis pendekatan ilmiyah yang harus dapat dipertanggung-jawabkan.
Komponen Suku Banten
Suku Banten sebagai sebuah identitas masyarakat yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Banten yang kini masuk wilayah Provinsi Banten, terdiri dari tiga komponen masyarakat yang merupakan sub-kultur dari Suku Banten. Tiga komponen Suku Banten itu adalah: Komponen masyarakat Banten Kejawiyan, Banten Kasunden, dan Banten Kemlayon (kemalayuan). Tiga komponen masyarakat yang membentuk Suku Banten yang kita bicarakan sekarang ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Banten Kejawiyan
Komponen masyarakat Banten Kejawiyan adalah Suku Banten yang dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan Bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang dimaksud walau secara garis besar memiliki kesamaan dengan Bahasa Jawa yang digunakan di belahan Pulau Jawa bagian tengah dan timur, tetapi karena dipengaruhi faktor geografisnya dan proses akulturasi yang berlangsung lama penggunanya, kemudian mengalami diversitas dialek dan beberapa kalimat yang berbeda baik penambahan maupun pengurangan kosa kata dari komunitas induknya.
Sebagian besar masyarakat Banten Kejawiyan mendiami bekas pusat pemerintahan Kesultanan Banten dan membentang ke utara menyusuri garis pantai mulai dari Anyer, Bojonegara, Kasemen, Pontang, Tirtayasa, Tanara, Kronjo sampai Mauk. Daerah yang disebutkan tersebut hanya untuk menggambarkan bentangan garis pantai dimana daerah tersebut berada tepat digaris pantai utara Banten, yang kenyataannya pengaruh bahasa Jawa ini menjorok masuk ke tengah dan melintasi beberapa kabupaten dan kota.
Daerah Kota Serang seluruhnya masuk kepada komponen Banten Kejawiyan. Sehingga banyak penulis mengidentifikasi Bahasa Jawa yang dipakai Suku Banten ini sebagai Bahasa Jawa Serang atau bahasa Jaseng yang merupakan akronim dari Jawa Serang. Namun penamaan bahasa Jawa yang dipakai Suku Banten sebagai bahasa Jaseng bisa menyempitkan luasnya jangkauan pemakai bahasa ini yang melewati beberapa kabupaten dan kota di Banten, ditambah sebagai sebuah nama komunitas, nama Serang dinilai sebagai daerah yang dikenal lebih belakangan dibanding dengan menyebarnya bahasa Jawa ini bersama terbentuknya Kesultanan Banten.
Seperti Kota Serang, Kota Cilegon-pun semua penduduknya adalah sub-kultur Banten Kejawiyan, tentu ini dipengaruhi oleh cukup dekatnya daerah ini dengan pusat pemerintahan Kesultanan Banten dan berbatasan langsung dengan Kota Serang. Adapun Kabupaten Serang, walaupun sebagian besar penduduknya berbahasa jawa, namun tidak menyeluruh ke semua kecamatan, ada beberapa kecamatan yang tidak berbahasa jawa. Seluruh komunitas Suku Banten yang berada di garis pantai utara yang ada di Kabupaten Serang menggunakan Bahasa jawa, yaitu Anyer, Pulo Kali, Bojonegara, Kasemen, Pontang, Tirtayasa, Tanara, ditambah beberapa kecamatan yang berada relatif tengah juga menggunakan Bahasa Jawa, seperti: Carenang, Binuang, Keragilan, Lebak Wangi, Ciruas, sebagian Cikande, Walantaka, Gunung Sari, Jawilan, Kibin, Kopo, Kramat Watu, sebagian Pabuaran, sebagian Padarincang, dan Waringinkurung.
Kabupaten Tangerang termasuk daerah yang penduduk bagian utara-baratnya adalah Banten Kejawiyan. Selain di kecamatan yang berada di garis pantai seperti Kronjo, Kemeri dan Mauk, komponen Banten Kejawiyan juga menempati beberapa kecamatan di wilayah yang berada agak ke tengah seperti: Gunung Kaler, Kresek, Mekar Baru, Kemeri, sebagian Rajeg, sebagian Suka Mulya, sebagian kecil Balaraja. Dari jumlah penduduk Banten Kejawiyan di Kabupaten Tangerang termasuk yang signifikan berada di setidaknya delapan kecamatan. Di Kabupaten Pandeglang, Banten Kejawiyan hanya berada di beberapa desa di Kecamatan Patia dan Panimbang, itupun diperkirakan merupakan perpindahan baru dari Banten Kejawiyan wilayah utara. Diperkirakan komponen Banten Kejawiyan menyumbang populasi untuk Suku Banten sekitar dua juta jiwa, yang menyebar di tiga Kabupaten atau kota yaitu: Kota Serang, Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang. Banten Kejawiyan ini, seperti disebutkan oleh Sartono Kartodirjo, merupakan keturunan orang-orang Jawa dari Demak dan Cirebon dan dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang Sunda, Bugis, Melayu dan lampung. (Sartono Kartidirjo, Pemberontakan Petani di Banten, hlm. 38)
Banten Kasunden
Komponen kedua yang membentuk Suku Banten adalah Banten Kasunden. Ia merupakan masyarakat yang lebih dahulu menempati wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten. Walaupun demikian, komponen Banten Kejawiyan yang disebutkan terlebih dahulu di atas, bukan berarti bukan keturunan komponen ini. Proses pernikahan antara Orang Sunda dan pendatang dari Demak dan Cirebon pada awal penyebaran agama Islam oleh Sunan Gunung Jati dan Maulana Hasanudin, telah melahirkan Suku Banten, baik ia yang termasuk Banten Kejawiyan, Banten Kasunden maupun nanti komponen yang akan disebutkan yaitu Banten Kemlayon. Tepat dikatakan, bahwa Banten Kasunden ini, yaitu yang dimaksud adalah leluhur mereka yakni Suku Sunda merupakan asal yang tidak terbantahkan dari manusia yang sekarang mendiami kawasan bagian barat pulau Jawa termasuk Banten.
Penyebutan Banten Kasunden sebagai komponen Suku Banten dari Suku Sunda adalah untuk identitas yang diperlukan sesuai teritorial-geografis-administratif yang telah berubah dan perkembangan kebudayaan dan kesejarahan yang menyertainya yang juga terus mengalami perubahan. Karena tidak mungkin komponen signifikan menjadi bagian dari variabel yang lebih kecil darinya. Yang demikian itu umpamanya dikatakan bahwa Suku Banten terdiri dari tiga komponen yaitu Suku Sunda, Suku Jawa dan Suku Betawi.
Seperti Sultan Maulana Yusuf yang secara genetis adalah campuran dari Suku Jawa dan Suku Sunda, dimana ayahnya, Sultan Maulana Hasanuddin, berdarah Suku Sunda yaitu dari ibunya yaitu Nyai Kawung Anten, dan ibunda dari Sultan Maulana Yusuf ini adalah dari Suku Jawa yaitu Nyai Ratu Ayu Kirana Purnama Sidi binti Sultan Fatah Demak. Lalu Sultan MaulanaYusuf ini termasuk suku apa? Maka ketika ia dalam keseharian menggunakan Bahasa Jawa, dikatakanlah bahwa ia adalah orang Suku Banten dari komponen Banten Kejawiyan. Demikian pula sebaliknya keturunan para pemakai bahasa Jawa pada zaman kesultanan karena faktor migrasi dan pernikahan kemudian sekarang berbahasa Sunda atau Melayu maka dikatakanlah ia adalah Suku Banten dari komponen Banten Kasunden dan Banten Kemlayon.
Banten Kemlayon
Banten Kemlayon atau kemelayuan, adalah bagian dari komponen Suku Banten yang menggunakan Bahasa Melayu. Mereka adalah Suku Banten yang menempati seluruh Kota Tangerang, sebagian Kabupaten Tangerang dan Sebagian tangerang Selatan (Tangsel). Bila melihat lintasan sejarah konfrontasi antara Kesultanan Banten dan VOC, dimana untuk mempertahankan garis depan Kesultanan Banten Sultan Ageung Tirtayasa menempatkan pasukan dengan membuat perkampungan di sekitar Kali Cisadane, maka besar kemungkinan masyarakat sekitar Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang Timur dan Tangsel adalah merupakan para keturunan dari pasukan Banten yang merupakan orang Banten kajawiyan, yang demikian itu tentu juga disertai proses akulturasi dengan Banten Kasunden dan adanya migrasi tokoh-tokoh dari Sumedang Larang dan Kahuripan yang sudah tercatat dalam data-data sejarah Tangerang.
Untuk waktu kemudian, karena faktor geografis, Suku Banten yang ada di timur Banten ini menggunkan bahasa Melayu yang merupakan bahasa yang digunakan orang-orang Batavia. Yang demikian itu, sama dengan orang-orang dari Suku Sunda yang ada di wilayah yang sekarang masuk Provinsi D.K.I. Jakarta tidak lagi berbahasa Sunda tetapi menggunakan Bahasa Melayu yang kemudian dikenal dengan Bahasa Betawi dan kemudian teridentifikasi masyarakatnya dengan istilah Suku Betawi. Lauder umpamanaya mengatakan bahwa jika menilik bahasanya, jelas sekali bahwa suku bangsa terjadi dari campuran berbagai bangsa dari tanah Hindia, sekurang-kurangnya Sunda, Melayu dan Jawa. (Lauder: Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di Tangerang, Jakarta, P3B, 1993).
Tri Tangtu Eka Buwana
Tiga bangsa yang memiliki kemulyaan yang bersatu dalam satu bumi untuk bersama mencapai kejayaan. Demikianlah kira-kira falsafah yang harus di bangun masyarakat Banten sekarang. Realitas bangunan masyarakat Banten yang terdiri dari tiga komponen bangsa yaitu Banten Kejawiyan, Banten Kasunden dan Banten Kemlayon, yang merupakan satu keturunan dan kesejarahan dengan telah berabad-abad melewati berbagai macam lika-liku peradaban secara bersama-sama, harus terus dipupuk untuk terus bersatu selama-lamanya dengan semboyan Tri Tangtu Eka Buwana, tiga takdir bahasa untuk satu bumi yaitu Banten. Untuk kemudian kesatuan Suku Banten ini secara bersama-sama dengan suku bangsa lainnya di Nusantara menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia selama-lamanya. Amin! (Imaduddin Utsman al-Bantani; KetuaPembina Rabitah Babad Kesulthanan Banten)