Oleh : Hamdan Suhaemi
Sejak usia remaja untuk pertama kalinya saya mengenal figur Gus Dur melalui majalah Tebuireng edisi 1985 dari Kaka perempuan saya yang mesantren di pondok Tebuireng Puteri, Cukir. Majalah itu sudah kusam sebab baru dibaca tahun 1992.
Kebetulan isi majalah itu tentang Muktamar NU di Asem Bagus Situbondo 1984, di Pesantren Salafiyah Syafeiyah yang diasuh al-Alim al-Allamah Syaikh As’ad Syamsul Arifin, salah satu saksi sejarah lahirnya NU, saat beliau menjadi santri Syaikhona Kholil Bangkalan Madura. Muktamar 1984, yang saya baca di majalah tersebut tentang resolusi kembali ke khittah NU 1926 dan menerima azaz tunggal Pancasila.
Pertama melihat gambar Gus Dur tengah mendampingi Presiden Soeharto dan KH. Achmad Siddiq dalam membuka acara Muktamar 1984 di Situbondo tersebut, kesan awal ” ini siapa “? sementara melihat KH. Achmad Siddiq pasti kesannya ulama besar yang kharismatik. Nama Gus Dur, awalnya agak aneh, ini nama orang Tionghoa atau nama apa ini ? tapi ada keterangan KH. Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ), baru paham ketika sebutan Gus itu merujuk pada putera kiai, sedangkan Dur adalah panggilan akrab bagi Abdurrahman Wahid saat kecil, ketika dipanggil kakeknya yakni Hadrotusyaikh Hasyim Asy’ari kepadanya dengan panggilan Dur saat masih di Tebuireng.
Berapa tahun kemudian setelah lama tidak baca majalah Tebuireng dan hanya punya satu-satunya edisi tahun tersebut. Tersiar berita di koran-koran dan di TV bahwa ada Muktamar NU di Cipasung Tasikmalaya tahun 1994, tepatnya di pesantren yang diasuh oleh ulama besar dari Jawa Barat, yakni Ajengan KH. Ilyas Ruchiyat.
Ramai pemberitaan Muktamar NU Cipasung telah memancing saya untuk menyimak dan mengikuti perkembangan, sejak usia belasan tahun merasa di hati ini ada ” sesuatu ” terhadap NU, serasa ada getar cinta. Entah datang dari sebab apa timbul itu. Tapi yang jelas mengenal figur Gus Dur itu yang terkesan adalah putera KH. Wahid Hasyim, darah biru NU, cucu Hadrotusyaikh, intelektual muslim, kiai Tebuireng, Ketum PBNU, dan jenis kiai yang nyeleneh, humoris serta enigmatik. Prof Dr. Nurcholish Madjid atau Cak Nur menyebutnya lelaki yang memiliki ” flash of mind ” ( kilatan pemikiran ).
Rivalitas atas hegemoni rezim Orde Baru di saat Muktamar NU Cipasung 1994, baru saya pahami setelah membaca buku-buku tentang NU yang ditulis oleh peniliti asing, yang kebetulan bukunya punya Kakak yang kuliah di IAIN Sunan Kali Jaga Jogjakarta, aktivis PMII cabang Jogja. Menarik ternyata Gus Dur ini beda.
Tahun 1998, saat mesantren di Cidahu Cadasari Pandeglang, untuk pertama kalinya saya bertemu langsung dengan Gus Dur, ketika Gus Dur hendak berobat ke Amerika, namun sowan ke Syaikh Dimyathi ( Abuya Dim ). Ditemani KH. Aris Junaedi ( jika tidak salah nama ) beliau Gus Dur berjalan untuk masuk Majlis Seng ( Majelisnya Abuya Sepuh ), dan sepontanitas saya yang santri kucel ini langsung cium tangan beliau tanda haru, tokoh yang saya idolakan tengah di depan mata. Bahkan bergegas memapah tangan beliau hingga masuk Majlis Seng hingga duduk. Kemudian cukup dari luar majlis saya tunggu beliau.
Tidak lama dari pertemuan itu terjadi peristiwa bersejarah yaitu Reformasi 1998, dimulai tanggal 12 hingga 21 Mei. Ramai pemberitaan demo mahasiswa hampir memenuhi ruang media, baik cetak maupun elektronik. Hingga klimaksnya terjadi suksesi kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto ke Prof. Dr. Ing B.J Habibie. Jatuhnya Presiden Soeharto karena tuntutan reformasi dari para mahasiswa tentu membuka lembaran baru peta politik nasional.
Tahun 1999, pasca pemilu digelar dengan diikuti partai politik hingga berjumlah 48 peserta pemilu, menjadi titik perubahan bangsa. Terpilihnya Gus Dur ( KH. Abdurrahman Wahid ) sebagai Presiden RI yang ke -4 membuat decak kagum semua pihak. Terutama saya. Mana bisa seorang kiai jadi Presiden Indonesia. Tapi, faktanya Gus Dur jadi presiden, setelah Sidang Umum MPR DPR hasil pemilu 1999. Malam itu ( sehari setelah terpilih lewat voting ) saya tidak bisa tidur membayangkan kok bisa kiai jadi presiden ?, Ajaib…ajaib, sekali lagi memang ajaib.
Meski sudah menjadi Presiden Republik Indonesia, sang kiai nyentrik ini memang tidak pernah meninggalkan jejak kejeniusan, keulamaannya dan kehebatannya memimpin negeri ini. Satu episode kepemimpinan yang berbeda tentunya.
Gus Dur, adalah murid SMEP, santri Krapyak, santri Tambak Beras, santri Tegal Rejo, santri sekaligus keluarga ndalem Tebuireng, mahasiswa al-Azhar Mesir, mahasiswa Universitas Baghdad. Gus Dur yang mahir berbahasa Asing lebih dari 3. Bahkan saking jeniusnya Gus Dur mampu hafal 2000 nomor pengguna telpon. Syair-syair Arab Baduwi, hafal diluar kepala selain Alfiah Ibnu Malik dan matan Zubad Ibnu Ruslan.
Bagiku Gus Dur adalah pribadi yang luar biasa, fenomenal, kontroversial, enigmatik, jenius, nyentrik, dan humoris. Mungkin satu abad pun belum tentu ada seperti Gus Dur. Intaha.
Wakil Ketua PW Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten