Beliau Kyai Imad dengan kesibukannya yang luar biasa tapi mampu disela-sela waktunya mengarang lebih dari 20 kitab yang luar biasa. Dalam dunia akademis tidak berlebihan jika Ini melampaui sebuah desertasi dan layak bergelar di atas profesor dan S3. Beliau juga terpilih menjadi ketua komisi Fatwa MUI prov Banten, artinya dari sekian cendekiawan yang ada Beliau dianggap paling layak dan tabahhur ilmunya.
Dalam kaitan viralnya nasab Habib, banyak yang belum memahami substansi yang dipermasalahkan Kiai Imad. Yang sejatinya beliau dan tentunya segenap warga NU sangat mencintai Rasulullah SAW. Beliau adalah Penulis dan pemikir, penelaah kitab-kitab yang tentunya sudah menguasai betul disiplin ilmu yang sangat diperlukan seperti nahwu shorof, balaghoh, Mantiq, tarikh dan lain lain, dimana hal ini tidak diragukan dan sangat bisa dipertanggungjawabkan.
Artinya pendapat Beliau bukan berangkat dari nafsu atau tujuan negatif, namun dilatarbelakangi penelitian ilmiah tentang nasab ini yang kemudian mengarah pada terputusnya nasab Ubaidillah pada Ahmad bin Isa. Maka hasil penelitian itu bisa benar bisa salah, Beliau pun tidak merasa yang paling benar, masih ada kemungkinan salah jika ada Penelitian tandingan yang mementahkan pendapatnya.
Namun lucunya mengapa banyak yang marah-marah dan menuduh Kiai Imad sesat bahkan dijuluki dengan kata-kata yang sangat tidak pantas, Nastaghfirullah.
Beliau tidak membenci habaib, beliau pasti memuliakan habaib, Beliau akan sangat ta’dzim pada habaib, itu sangat tidak diragukan. Namun dalam hal ini sedikit ada catatan bahwa siapapun sepanjang ada dalam taqwa dan ilmu maka akan dinaikkan derajatnya oleh Allah SWT, bukan sebaliknya.
Kesimpulan dari tulisan singkat ini, jangan ada kemarahan, jangan ada caci maki, jangan ada adu domba. Selamatkan para Habaib dan Dzurriyah Rasulullah dari orang-orang yang mengaku Habib.
Jika tidak setuju, buatlah Penelitian ilmiah yang otentik, kredibel, faktual yang memang menyatakan bahwa Ubaidillah adalah Putra dari Ahmad bin Isa. Jangan kemudian mengarahkan hasil penelitian Beliau ke arah yang lain.
Setelah menyimak, bertanya dan berdialog panjang langsung dengan Beliau dari jam 20.30 – 23.00 WIB, Minggu, 16 April 2023 di Ponpes Al-Raudlah Kabupaten Serang dalam acara silaturahmi Kiai dan Segenap Pengurus RMI PCNU Kabupaten Serang, maka bisa disimpulkan metode penelitian Beliau terkait Nasab Habib ini.
Yang pertama: Metodologi Penelitian KH Imaduddin terkait Nasab Habib ini adalah Kuantitatif, dari data menuju teori dan objeknya adalah Kajian Pustaka. Pustaka yang ditelaah adalah menggunakan redaksi bahasa Arab dan untuk bisa memahaminya hanya yang sudah menguasai ilmu gramatika bahasa Arab, yang terutama nahu shorof dan balaghoh setidaknya harus hapal Alfiyah, jawahirul maknun, uqudul juman dan kitab kitab lainnya. Juga harus paham betul ilmu Mantiq, ilmu tarikh dan disiplin ilmu lainnya.
Artinya penelitian ini levelnya sangat tinggi dan hanya bisa dilakukan oleh orang orang yang berilmu tinggi. Jika belum hafal Alfiyah lalu seenaknya saja membantah belum levelnya, atau belum mampu bisa baca kitab kuning apalagi mengarang kitab dengan redaksi bahasa Arab yang sesuai dengan gramatikanya, juga belum kelasnya.
Namun tentu siapapun boleh berpendapat sepanjang argumentasinya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiiah. Hanya saja kualifikasi itu penting untuk menjadi tolak ukur kelilmuan seseorang yang berpendapat.
Yang kedua: Penelitian Beliau bukan hanya satu kitab, tapi semua kitab tarikh, nasab yang ada. Artinya teori yang beliau tetapkan berdasarkan data-data dari pustaka tersebut tidak sembarangan dan jelas sumbernya. Bukan tuduhan, halusinasi atau bahkan niat kebencian. Data data kitab pustaka yang otentik beliau baca seluruhnya, lalu dikomparasikan, dicocokkan, disesuaikan, lalu muncullah sebuah konklusi nasab Ubaidillah yang terputus kepada Ahmad Bin Isa.
Maka sekedar saran untuk yang akan membantah penelitian KH. Imaduddin Utsman ini setidaknya harus memenuhi beberapa kriteria.
- Memahami dengan menyeluruh disiplin ilmu yang diperlukan seperti nahu shorof, balaghoh, Mantiq, fikih, Ushul fiqih, qowaidul fiqih dan lain-lain.
- Mampu membaca literatur kitab kitab berbahasa Arab (tanpa harokat), bisa memahaminya dan juga mampu menerjemahkannya
- Penelitian tandingan juga harus dengan obyek yang sama yaitu kajian pustaka.
Mohon maaf jika ada kesalahan dalam tulisan ini.
والله اعلم بالصواب
Oleh: Kiai Abdul Hay Nasuki
Editor: Didin Syahbudin