Belakangan ada informasi seputar proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, sarat akan pemelintiran sejarah dari oknum yang penyampaiannya selalu subyektif, tendensius. Bahkan bermaksud menghilangkan jasa dari bapak pendiri bangsa yang kebetulan beda keyakinan. Seolah terjadinya peristiwa hebat dalam sepanjang sejarah Indonesia itu tidak ada peran orang lain yang diduga berbeda suku dan agama tersebut. Ini sangat memprihatinkan ketika kita tengah berupaya menguatkan simpul kebangsaan kita, yang sudah dikoyak-koyak oleh paham Wahabisme. Paham yang selalu membenturkan antara agama dan negara, antara yang bersifat ilahi dengan yang dianggap thagut.
Informasi berseliweran di beranda dan status media sosial kita, narasi peran Arab, peran Habaib. Begitu melebihi perannya dari para pendiri negara Kesatuan Republik Indonesia lainnya. Dengan melihat itu saya tergerak hati untuk ikut pula mengetengahkan fakta historis seputar peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia dari beberapa sumber sejarah, antara lain dari kesaksian Bung Hatta yang dicatat dalam seri ke-3 dari bukunya ” Menuju Gerbang Kemerdekaan”.
Bung Hatta telah mengisahkan bahwa pada 15 Agustus 1945 telah datang ke rumahnya di Jl. Oranye Baulevard (kini Jl. Diponegoro Jakarta Pusat) 2 pemuda yaitu Subadio Sastrosatomo, seorang pemuda sosialis, dan Letnan Subianto Djojohadikusumo, adik dari Soemitro Djojohadikusumo. Keduanya mengatakan bahwa Jepang sudah menyerah kalah kepada sekutu (negara-negara blok Barat). Keduanya mendesak Bung Hatta untuk tidak memerdekakan Indonesia dinyatakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI karena buatan Pemerintah Kempetai Jepang (Dai Nippon), tetapi harus diucapkan oleh Ir. Soekarno sendiri sebagai pemimpin rakyat, atas nama rakyat dan diucapkan dengan perantaraan corong- corong radio dan ditujukkan ke seluruh Indonesia.
Meski kemudian Bung Hatta tidak mengiyakan langsung karena Bung Hatta masih memegang janji Marsekal Terauchi saat Bung Hatta dan Bung Karno, Ki Bagus Hadikusumo Ki Kasman Singodimedjo diundang di Dalat, Saigon. Biar bagaimanapun Jepang masih bercokol kuat dengan tentaranya yang puluhan ribu di seluruh Jawa. Sedikit sulit dipaksakan jika disegerakan proklamasi kemerdekaan dibacakan sendiri tidak melalui panitia bentukan Jepang, yaitu PPKI.
Sesuai janji Terauchi esok 16 Agustus 1945 dipersilahkan untuk diumumkan proklamasi atas nama panitia PPKI, jika lewat pukul 12:00 Pemerintah Kempetai Jepang di Jakarta tidak bertanggung jawab sebab Indonesia sudah masuk status quo. Itu artinya janji Jepang hanya bisa antarkan kemerdekaan Indonesia di tanggal yang sudah ditentukan saat di Dalat.
Pada pukul 21:30 Wib 15 Agustus 1945, di rumah Bung Karno di Jl. Pegangsaan Timur 56 banyak pemuda Menteng 31 berkumpul untuk mendesak Bung Karno agar pembacaan proklamasi dibacakan malam itu juga, tidak boleh lewat pukul 24:00. Meski dipaksa oleh banyak pemuda, Bung Karno sikapnya tegas untuk tetap dibacakan pada esok harinya 16 Agustus 1945 berdasarkan janji Marsekal Terauchi. Keadaan malam itu tegang, karena Wikana salah satu dari pemuda Menteng 31 bawa golok untuk mengancam dan menekan Bung Karno, meski kemudian ditolak tegas oleh Bung Karno. Saat larut, pemuda itu membubarkan diri setelah kedatangan Bung Hatta dan Ahmad Soebardjo.
Jepang telah menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia di hari Kamis 16 Agustus 1945 dan bendera Merah Putih pun sudah diizinkan untuk dikibarkan, bahkan lagu Indonesia Raya juga boleh dikumandangkan.
Namun hingga saat itu, Indonesia belum punya bendera resmi. Ibu Fatmawati yang ikut sibuk memikirkan soal bendera lalu memanggil Chaerul Basri. Ibu Fatmawati menyuruh Chaerul Basri menemui Hatoshi Shimizu, perwira tinggi Jepang ini yang kebetulan mengepalai Geinseigun untuk diminta dicarikan kain merah putih.
Shimizu yang memang sudah dianggap teman mengabulkan permintaan Ibu Fatmawati. Dia lalu menghubungi pejabat Jepang yang lain yang mengepalai gudang di daerah Pintu Air, Jakarta Pusat, dan mendapatkan kain berwarna merah dan putih.
Esok harinya 16 Agustus 1945, pemuda yang sedari malam mendesak Bung Karno untuk bacakan proklamasi, akhirnya menculik Bung Karno dan Bung Hatta, saat keduanya hendak ke gedung BPUPKI untuk sidang PPKI, sekaligus pembacaan proklamasi kemerdekaan di gedung tersebut. Bung Karno yang disertai istrinya Fatmawati dan anaknya Guntur Soekarnoputra yang masih bayi bersama Bung Hatta dibawa oleh pemuda Menteng 31 untuk selanjutnya ke arah Rengasdengklok Karawang. Kedua tokoh tersebut tidak mengetahui apa maksud tujuannya dibawa ke Rengasdengklok tersebut.
Masih menurut kesaksian Bung Hatta, saat di Rengasdengklok, antara Ibu Fat, Bung Karno, dan Bung Hatta ketiganya saling gantian memangku Guntur yang masih bayi usia 9 bulan, karena tangisannya cukup lama akibat susu yang lupa tidak dibawa. Saat di Rengasdengklok, keduanya ditempatkan di asrama Peta, yang diketuai oleh Sudanco Sutjipto. Namun beberapa jam kemudian keduanya dipindahkan ke rumah orang Tionghoa (bernama Djiauw Kie Siong) sampai kemudian datanglah Ahmad Soebardjo pukul 18:00 saat magrib untuk menjemputnya atas perintah Gunseikan.
Pukul 20:00 rombongan dari Rengasdengklok Karawang tiba di Jakarta, sementara Ibu Fatmawati dan Guntur pulang ke Pegangsaan Timur, sementara Bung Karno, Bung Hatta, dan Ahmad Soebardjo, beserta para pemuda yang mengiringinya singgah sementara di jl. Syowa Dori (rumah Bung Hatta) atau oranye Baulevard, sebelum berangkat menuju hotel Des indes yang tidak terlalu jauh, namun pihak hotel tidak memperkenankan karena sudah lewat pukul 22.00, akhirnya diputuskan untuk menghubungi laksamana muda Maeda, agar rumahnya yang terletak di jalan Meiji Dori (kini Jl. Imam Bonjol) bisa dijadikan tempat sidang merumuskan kemerdekaan Indonesia untuk esoknya 17 Agustus 1945.
Maeda, mempersilahkan rumah dinasnya untuk dijadikan tempat persiapan kemerdekaan. Seorang laksamana angkatan laut Jepang yang care terhadap perjuangan rakyat Indonesia, bersama Laksamana muda Hamid Ono (perwira Jepang santrinya KH. Hasyim Asy’ari).
Dalam buku “a History of Modern Indonesia Since c.1300” (edisi ke-4) Ricklefs telah mencatat bahwa Laksamana Maeda sempat berpesan kepada para stafnya agar menjamu tamu-tamu beliau. Pesan tersebut dipahami dengan dengan baik oleh Kepala Staf Bagian Rumah Tangga Maeda yaitu Satsuki Mishima. Ia yang mengetahui sebagian besar peserta rapat adalah muslim yang akan menjalankan ibadah puasa, berinisiatif membuatkan menu makan sahur berupa nasi goreng, disertai beberapa menu lain berupa ikan sarden, telur dan roti.
Benedict Anderson dalam bukunya “Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance,1944-1946” menjelaskan bahwa teks proklamasi ditulis di ruang makan laksamana Tadashi Maeda. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Soekarno, Hatta, dan Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M. Diah, Sayuti Melik, Soekarni, dan Soediro. Miyoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini, Soekarno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti “transfer of power”. Hatta, Subardjo, B.M. Diah, Sukarni, Sudiro dan Sayuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima, tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan
Naskah yang telah dikonsep kemudian diberikan kepada Sayuti Melik untuk diketik. Namun saat itu di rumah Laksamana Tadashi Maeda hanya tersedia mesin ketik dengan huruf kanji. Saat itu Satsuki Mishima seorang sekretaris urusan rumah tangga di rumah Maeda berinisiatif meminjam mesin ketik buatan Jerman yang dipinjamkan dari Komandan Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) Kolonel Kandeler, yang berkantor di Gedung KPM (sekarang Pertamina) di Koningsplein (Medan Merdeka Timur).
Pukul 03:00, sidang merumuskan proklamasi kemerdekaan telah selesai, dan Bung Karno pun kembali ke Pegangsaan Timur 56, sementara bung Hatta pulang ke rumahnya Jl. Syowa Dori. Dalam kondisi lelah, penyakit lambungnya Bung Karno kambuh, paginya diperiksa oleh seorang Dokter. Hari itu tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan sayyidul ayam yaitu Jum’at, saat mana masih di bulan suci Ramadhan. Pada pukul 08: 00 Wib, rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56, sudah banyak dipadati para pemuda Peta, para pendiri bangsa, dan tentu saja masyarakat Jakarta yang telah mendengar bahwa hari itu akan dibacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Diantara pemuda Peta itu adalah Latief Hendradiningrat dengan pemuda lainnya mempersiapkan untuk pengibaran bendera sang merah putih, yang sudah selesai dijahit oleh ibu Fatmawati. Pengibaran bendera tersebut akan dilaksanakan seusai pembacaan proklamasi kemerdekaan, dan diteruskan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saat itu jam menunjukkan pukul 10:00, suasana semakin ramai dan tepat pukul 10:00 itu Bung Hatta baru tiba di Pegangsaan Timur, dan langsung masuk ke kamar Bung Karno. Begitu tahu bung Hatta datang, Bung Karno langsung beranjak untuk siap menuju depan rumah diiringi ibu Fatmawati.
Di hadapan microphon yang sudah dikondisikan oleh para pemuda, Bung Karno memulainya dengan pidato.
“Saudara-saudara sekalian !
Saya telah minta saudara-saudara hadir disini untuk menjaksikan satu peristiwa maha-penting dalam sedjarah kita
Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berdjoang, untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun !
Gelombangnja aksi kita untuk mentjapai kemerdekaan kita itu ada naiknja dan ada turunnja, tetapi djiwa kita tetap menudju ke arah tjita-tjita.
Djuga didalam djaman Djepang, usaha kita untuk mentjapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-henti.
Di dalam djaman Djepang ini, tampaknja sadja kita menjandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnja, tetap kita menjusun tenaga kita sendiri, tetap kita pertjaja kepada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnja kita benar-benar mengambil nasib-bangsa dan nasib-tanah-air didalam tangan kita sendiri. Hanja bangsa jang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnja.
Maka kami, tadi malam telah mengadakan
musjawarat dengan pemuka-pemuka rakjat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusjawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnja untuk menjatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara ! Dengan ini kami njatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami”.
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 Agustus 1945.
Atas Nama Bangsa Indonesia,
SOEKARNO – HATTA.
“Demikianlah saudara-saudara !
Kita sekarang telah merdeka !
Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah-air kita dan bangsa kita !
Mulai saat ini kita menjusun Negara kita ! Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia, – merdeka kekal dan abadi.
Insja Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu “.
Setelah pidato dan pembacaan teks proklamasi, dilanjutkan pengibaran bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Di sela-sela acara sakral prosesi kemerdekaan Indonesia tersebut, ada seorang wartawan bernama Frans Mendur yang mengabadikannya. Meski di kemudian hari photo-photo saat dibacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia direbut dan dibakar oleh tentara Jepang, tetapi Frans Mendur lebih dulu menyimpan negatifnya film photo tersebut.
Maka yang beredar kini adalah termasuk hasil jepretan Frans Mendur, adik Alex Mendur yang berasal dari Minahasa, orang Katolik yang berjasa mengabadikan detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Bung Karno di rumahnya di jalan Pegangsaan Timur.
Oleh: Hamdan Suhaemi