Sudah dua tahun berlalu polemik nasab menghiasi jagad dunia maya, sudah banyak kata dan ucap silih berganti antara mendukung dan menentang, antara kubu ibthal nasab dan kubu Ba’Alawi. Bukanlah polemik itu bicara diskursus atas suatu kajian nasab, tetapi sudah pada ujaran kebencian, sudah saling hujat, saling serang, dan saling membunuh karakternya dengan macam-macam framing.
Padahal jauh lebih indah jika dibahas melalui seminar, diskusi publik, bahtsul masail yang isinya saling bantah hujjah, saling adu dalil, dan saling menguatkan argumentasi. Bahkan jauh lebih beradab jika dengan korespondensi literasi, dengan mulut sambil ngopi, dan hisap rokok.
Kenapa kini semakin liar dan barbar, seperti dua musuh yang saling berhadapan, seperti di medan kurusetra perang ” bharatayuda ” nasab. Antara anutan kepada siapa sudah bias, figur tidak lagi didengar, klaim kebenaran berseliweran di jagat medsos, kawan jadi lawan, dan lawan jadi kawan. Hidup sudah semakin keras, akibat moral ditanggalkan di kastok baju yang tergantung.
Framing bahwa kiai Imad adalah anak China, anak zina, Yahudi pesek, al-kaburi, Dajjal bersorban, atau iblis bersorban, begal nasab, dan lain sebagainya begitu disebarluaskan, seolah dengan cara framing itu urusan nasab terhenti.
Bahwa tuduhan sebagai anak China itu terlalu jauh, matanya juga tidak sifit, asli orang Banten, kelahiran Kresek Tangerang, keturunan Syekh Cili Wulung, leluhurnya Raden Arya Wangsakara, dan termasuk keturunan Prabu Geusan Ulun Sumedang. Yang disebut di atas adalah bantahan biologis, bantahan anatomis, dan juga bantahan geografis.
Tuduhan lainya bahwa ia adalah anak hasil zina merupakan tuduhan sangat keji dan sadis, melebihi sadisnya harimau mencabik-cabik mangsanya. Faktanya kedua orang tuanya adalah orang tua yang rukun rumah tangganya, dan dalam situasi mawaddah wa rahmah, putera dari ibu yang solehah dan bapaknya yang soleh.
Lalu, Kiai Imad dan teman-temannya disebut Yahudi Pesek oleh HRS dalam satu ceramahnya yang agitatif provokatif, padahal kalau diukur antara hidung Kiai Imad dengan HRS, dipastikan masih mancungan hidung Kiai Imad, jadinya pesek teriak pesek. Lalu disebut Yahudi itu darimana judulnya ? Ia muslim, ia ulama, ia orang Soleh, ia pula kiai yang terdidik dari banyak pesantren, mana letak Yahudinya? tidak ada sama sekali tuduhan Yahudi melekat kepadanya.
Digelari al-kaburi ketika tidak bisa hadir di debat Banten lama di rumah kediaman KH. TB. Fathul Adhim, padahal yang membatalkan hadir terlebih dahulu pihak Rabithah Alawiyah, lalu kalau hadir berdebat dengan siapa, mewakili siapa? Yang jadi objek epistemologisnya adalah dengan ketua atau yang mewakili RA, bukan saling bermujadalah dengan sesama pribumi, terus pertanyaannya siapa yang kabur selama 2 tahun ke Arab Saudi beberapa tahun lalu ? bukankah itu yang lebih pantas menyandang sebutan al-Kaburi al-Takuti.
Yang paling lucu dan membuat kita ketawa tujuh warna adalah tuduhan atas Kiai Imad sebagai Dajjal bersorban, apakah ada Dajjal yang telah menulis kitab kitab berbahasa Arab, apakah ada Dajjal yang 24 jam mengasuh dan mendidik santri, lalu adakah Dajjal yang punya istri lebih dari satu, rasanya yang disebut Dajjal itu tidak punya istri, dan Dajjal juga tidak bisa baca kitab kuning, kalau pun disuruh baca mungkin baca kitabnya dari kiri ke kanan, bukan dari kanan ke kiri. Aneh tapi nyata baca kitab kuning dari kiri, pasti anak SD juga tertawa panjang lihatnya.
Sebutan berikutnya iblis bersorban, bahwa Kiai Imad adalah iblis bersorban. Kalau disebut iblis mana tanduknya, mana mata merahnya, mana godaannya. Sorbannya pun tidak berasal dari pemberian iblis atau anaknya iblis ( setan ), belinya juga dari negeri Arab dan negri sendiri.
Kemudian peneliti nasab disebut begal nasab, ini dua frase yang tidak nyambung, peneliti itu melakukan penelitian atas sesuatu dengan pendekatan ilmiah, biasanya ada kesimpulan sementara namanya hipotesa, yang lebih masyhur kita sebut tesis. Sedangkan yang disebut begal itu adalah ahli memalsukan makam, membelokkan nasab, memalsukan sanad. Itu harusnya disebut begal nasab, pertanyaannya siapakah yang berbuat seperti itu ? kiai Imad ataukah muhibbin, atau para kabib.
Ibarat pepatah ” menepuk air di dulang terpercik muka sendiri “. Kenapa dituduh demikian, karena secara epistemologis nasab leluhurnya terkonfirmasi terputus ( Ubaidillah) , maka jurus dewa mabok adalah langkah terakhir kaum Ba’Alawi untuk menutupi defisit intelektualnya, dengan cara mengumpulkan dan menggerakkan pribumi untuk melawan pribumi, sambil teriak takbir.
Oleh : Hamdan Suhaemi
Serang 11 Juli 2024