Al-Quran yang kita pahami hingga sekarang adalah kumpulan wahyu (firman) Allah kapada Nabi Muhammad SAW, atau kita ketahui adalah kalam Allah yang qodim (dahulu), dan sejatinya dimaknai sebagai kalamu al nafsi yang tidak berhuruf, tidak bersuara, juga tidak tertulis adanya kalam bersamaan adanya Allah SWT, dzat muthlaq yang tidak ada yang mengawalinya (ا اول له ) juga tidak ada yang lebih akhir darinya (ا اخير له ), tidak pula ada yang melahirkan, tegas apa yang sudah digariskan pada salah satu ayat di surat al-Ikhlash “lam yalid wa lam yulad“.
Al-Quran sebagai wahyu Allah SWT mulai diturunkan atau diwahyukan untuk pertama kalinya kepada Nabi SAW yaitu surat Al Alaq ayat 1-5 hingga kemudian diturunkan secara berangsur angusr sampai memakan waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, malaikat Jibril Alaihi Salam sebagai yang mengemban tugas menyampaikan wahyu Allah tersebut secara berkesinambungan menyampaikan itu kepada Nabi SAW dalam situasi apapun sesuai petunjuk Allah SWT. Dalam kaitan ini pula dikatakan bahwa Al Quran secara keseluruhan ayat sebenarnya sudah masuk di dada Nabi SAW, meskpiun di kemudian secara berangsur ayat demi ayat wahyu Allah tersebut diturunkan.
Pada tulisan ini saya fokus membahas adab dan tata aturan memuliakan al-Quran, sebagai wahyu Allah, ia pun adalah pedoman umat Islam, juga sebagai sumber hukum yang utama baik bersyari’at, bertarikat, dan berhakikat.
Al-Quran juga dikenal sebagi petunjuk umat manusia (hudan li al-naasi). Dalam kitabnya Al-Tibyanu fi Adabi Hamalati Al-Qur’ani, Imam Nawawi telah mengarahkan kepada kita bahwa :
تحرم المسافرة بالمصحف الى ارض العدوى اذا خيف وقوعه في ايدهم
Artinya: “diharamkan mengadakan perjalanan membawa mushaf al-Quran ke wilayah musuh karena ditakutkan jatuh di tangan mereka. Apalagi haram memperjualbelikan mushaf al-Quran dengan kaum kafir meskipun adalah kafir dzimmy (non muslim yang dilindungi)”.
Kemudian Imam Nawawi juga telah memberikan peringatakan yang tegas jangan sekali kali bagi yang berhadas, perempuan yang sedang haid, nifas dan laki-laki atau perempuan dalam kondisi junub menyentuh atau membawa mushaf al Quran, dan menulis memaknai ayat al-Quran.
يحرم على المحدث مس المصحف و حمله
Telah mulianya al-Quran hingga diatur dengan cara dan adabnya, baik menulis, membacanya, hingga membawanya. Karena Allah SWT telah menjamin al-Quran dengan firmannya “inna nahnu nazzalna al dzikro wa inna lahu lahafidhuun“.
Jika saja Allah SWT telah memelihara dan melindungi al-Quran apatah lagi kita sebagai muslim tentunya kita pun perlu punya adab terhadap al-Quran sebagai pedoman hidup, sebagai sumber hukum, sebagai petunjuk, sebagai obat jiwa, dan lain sebagianya dengan cara dan adab yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Lebih lanjut Imam Nawawi telah mmeberikan arahan kepada para pengajar al-Quran dan orang tua yang punya anak yang tengah diajarkan membaca al-Quran seyogianya anak-anak tersebut ada dalam kondisi suci (thaharah).
Menurut Imam al- Syi’bi , terkena hukum makruh bagi yang membaca al-Quran ketika dalam posisi dan tempat seperti “al-hammamat, al-husyusyu, buyutu al-rohyi“ (tempat mandi, tempat kotoran) dan diharamkan membaca al-Quran dalam tempat yang terkena najis atau tempat najis. Bahkan anjuran yang perlu diperhatikan, terkena hukum makruh apabila membaca al-Quran ada di posisi tengah jalan, dimana banyak manusia melewati jalan tersebut. Mushaf al-Quran yang sejatinya dibawa dengan cara diangkat, atau didekap di dada, atau disanjung hingga ke atasa kepala. Satu adab untuk memuliakan al-Quran dan itu merupakan anjuran yang diajarkan oleh Islam.
Bagi yang membaca (qori) al-Quran dianjurkan untuk selalu dalam posisi menghadap kiblat sesuai hadits Nabi SAW.
خير المجالس ما استقبل به القبلة
Artinya: “lebih bagus majelis itu menghadap kiblat dengan keadaan yang khusyu’, tenang, dan membaca al-Quran yang tartil (jelas dan fasihat)”.
Oleh: Kiai Hamdan Suhaemi
Editor: Kang Diens