Oleh: Abdul Aziz Jazuli, Lc, MH.
Artikel yang beliau tulis sebenarnya cukup lama, di bulan Juli lalu. Sayangnya saya mendapatkan artikel itu baru-baru ini. Sehingga baru saya telaah argumentasi-argumentasi yang beliau suguhkan dalam menguatkan nasab Ba Alawi. Saya memandang bahwa polemik nasab Ba Alawi saat ini merupakan masa “Kebangkitan Pengetahuan”, khususnya dalam ilmu sejarah dan ilmu nasab. Dulunya para santri, para ustadz dan para kyai sama sekali tidak perduli, bahkan terkesan acuh terhadap ilmu nasab. Tapi sekarang sudah berubah 180 derajat. Sekarang mereka mulai membuka-buka kitab-kitab nasab, kitab-kitab sejarah, kitab sanad dan biografi para ulama-ulama terdahulu. Bahkan kitab sejarah/tarikh yang penulisnya adalah ulama-ulama di abad-abad antara 4-9 H. Sebuah kebangkitan yang luar biasa yang patut disyukuri oleh seluruh ummat Islam, khususnya di Indonesia. Saya termasuk di antara santri-santri yang tergugah untuk kembali membuka-buka dan menelaah kitab nasab serta kitab sejarah.
Kembali lagi ke tulisan Kyai Fahrur yang berjudul “Mengakhiri Polemik Nasab Ba’alawi”, saya tertarik untuk menelaah argumen-argumen yang beliau gunakan untuk mempertahankan nasab Ba’alawi. Apakah benar tulisan beliau mampu mengakhiri polemik nasab Ba alawi? Ya meskipun -menurut saya- mayoritas hujjahnya berkutat kepada “syuhroh dan istifadhoh”, “Tidak disyaratkannya kitab sezaman”, “tidak disebutkan bukan berarti tidak ada”, dan lain sebagainya yang akan saya ulas di bawah ini. Langsung saja dengan tidak berlama-lama, mari kita kaji bagaimana argumentasi yang digunakan dalam penetapan nasab Ba alawi.
Apakah Setiap Orang Dipercaya Dalam Pengkuan Nasabnya ?
Kiai Fahrur menggunakan statemen Imam Malik
النَّاسُ مُؤْتَمَنُوْنَ عَلَى أَنسَابِهِمْ
“manusia itu dipercaya atas pengakuan nasabnya”.
Kemudian beliau menggunakan riwayat imam Bukhori bahwa Rasulullah saw tidak pernah mempertanyakan dalil atau saksi di dalam nasab.
Mari kita renungi bersama-sama bagaimana pandangan dari para pakar nasab dalam mengomentari stetmen imam Malik di atas. Tentu lebih faham pengaplikasiannya di dalam ilmu nasab, terlebih lagi jika nasab yang diklaim adalah nasab keturunan Rasulullah saw, maka tentu akan memiliki nilai yang berbeda dengan nasab-nasab yang lain.
Abdurrahman Al Qoroja mengomentari statemen imam Malik bahwa ungkapan tersebut tidak dapat digunakan secara mutlak, dan sebagian ulama memberikan tambahan kriteria: “selagi tidak mengaku syarif/sayyid”. [al Kafil Muntakhob, hal 61].
Bahkan Abdurrahman At Taujini juga memberikan komentar yang berdekatan dengan sebelumnya bahwa itu berlaku dengan syarat: orang yang mengaku-ngaku nasab mengetahui nasabnya, dan meraih nasab tersebut (hiyazah) sebagaimana ia meraih harta benda sampai di tangannya dan jika tidak mencapainya, maka ia harus mendatangkan bukti akan nasabnya, dan menekan dirinya untuk mendatangkannya. [Kholil al Zulai’i, Muqoddimat fi Ilmil Ansab, hal 56].
Maka jelaslah bahwa tidak semua orang dapat dipercaya dalam pengakuan nasab, terlebih lagi ketika dirinya mengaku-ngaku sebagai keturunan Rasulullah saw. Karena jika pintu ini dibuka, maka siapapun bisa mangaku-ngaku sebagai keturunan Rasulullah saw, meskipun tanpa bukti dan dalil. Apalagi hanya sekedar berargumen dengan syuhroh dan istifadhoh yang cacat itu.
Syuhroh Dan Istifadhoh.
Kyai Fahrur menuliskan: “Secara ilmu fiqh telah diatur bahwa cara pengakuan nasab adalah dengan syuhroh dan istifadhoh yakni telah terkenal secara luas dalam masyarakat di sebuah wilayah bahwa si Fulan adalah keturunan si Fulan tanpa ada bantahan dan sanggahan dari ulama yang otoritatif yang dibenarkan secara syariah”
Di sini saya dapat memahami bahwa beliau tidak terlalu mendalami istilah yang digunakan di dalam kitab-kitab nasab, dan beliau hanya mengacu kepada kitab-kitab fiqih seperti Muhgnil Muhtaj, Nihayatul Mathlab, al Hawil Kabir, dsb. Sehingga di dalam mendefinisikan dan menggambarkan syuhroh dan istifadhoh tidak seperti yang digambarkan di dalam kitab-kitab nasab. Husain Haidar al Hasyimi menyebutkan kriteria syuhroh dan istifadhoh yang diterima di dalam pengitsbatan nasab sebagaimana berikut:
فَحَاصِلُ ضَوابطِ هذِه الطَّريقةِ هي: (1) الاستِفاضَةُ في السَّمَاعِ استفاضةً تُورِثُ عِلْمًا أَو ظنًّا قَوِيًّا (2) انتفاءُ المعَارَضَةِ في العمومِ والخصوصِ أو في الوَثَائِقِ البيِّنَات (3) قِدَمُ النِّسبَةِ والشُّهرَةِ (4) أن تكونَ الشهرةُ في قَبيلتِه أَو في البَلَدِ الأَصليِّ لَا في بَلَدِ هِجرَتِه.
“Kesimpulan kaidah-kaidah (dalam) cara ini (syuhroh dan istifadhoh) ialah: (1) tersebarnya kemasyhuran yang membuahkan keyakinan atau sangkaan yang kuat. (2) tidak adanya penentangan secara umum dan khusus, atau di dalam catatan-catatan yang jelas (3) tuanya nasab dan kemasyhuran. (4) syuhrohnya berada di kabilah (asalnya), atau daerah asalnya, bukan di daerah hijrahnya.” [Husain Haidar, Rosail fi Ilmil Ansab, hal 103].
Jika saya diperkenankan bertanya: Apakah nasab baalawi sudah memenuhi syarat syuhroh dan istifadhoh? Padahal kemasyhuran nasab Baalawi baru mulai dikenal semenjak masa Ali bin Abu Bakar As Sakron (w. 895 H) sebagaimana penuturan Ahmad bin Abdul Karim al Hasawi (murid Habib Abdullah al Haddad). Bahkan lebih dari itu, silahkan anda buka di dalam kitab al Masyrour Rowi bahwa pengitsbatan nasab Baalawi sebanyak dua kali: pertama di masa Ubaidillah dengan 300 saksi dari penduduk Iraq, dan 300 saksi dari penduduk Hadramaut ketika melaksanakan ibadah haji di Mekah. Dan kali yang kedua adalah di masa Ali bin Muhammad Jadid (w. 620 H) yang biografinya disebutkan di kitab-kitab Baalawi, ia juga yang melakukan pengitsbatan nasab Baalawi dengan saksi ratusan orang baik dari penduduk Iraq atau para Jamaah haji yang hadir di saat itu. Informasi ini hanya dapat ditemukan di kitab-kitab internal Baalawi dan tidak saya temukan sama sekali di kitab-kitab eksternal Baalawi. Dari ratusan orang ini, bahkan bisa jadi lebih dari seribu orang, siapa saja yang menyaksikan pengitsbatan nasab baalawi ini ?? apakah logis jika satu kejadian yang disaksikan oleh ratusan orang bahkan ribuan orang tapi tak satupun dari mereka –khususnya kalangan ulama yang hadir di dalam kejadian itu- yang menyebutkan dan menjadi saksi atas kebenaran pengitsbatan nasab itu ??. Maka jika tidak bisa dibuktikan dengan data, maka kuatlah indikasi bahwa kedua kisah tersebut adalah kisah yang fiktif; karena tidak dikuatkan dengan data.
Fakta Sejarah Kitab Hadist.
Kyai Fahrur menyatakan bahwa tidak ada catatan hadist pada masa Rasulullah saw. Pencatatan hadist mulai dilakukan seabad setelahnya.
Saya tidak setuju dengan statemen ini; karena di dalam riwayat imam Bukhori di dalam Jami’ Shohihnya, imam Ahmad di dalam Musnadnya:
عن أبي هريرة رضي الله عنه يقول: (مَا كانَ أحدٌ أعلمَ بحديثِ رسول الله صلى الله عليه وسلم مني، إلا ما كان مِن عبد الله بن عمرٍو، فإنّه كان يَكتُبُ بِيَدِه، ويَعِيْهِ بِقَلبِه، وكنتُ أَعِيْهِ بِقَلبي، ولا َأَكتُبُ بِيَدِي، واستأذَنَ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم في الكِتَابِ عَنهُ، فَأَذِنَ لَهُ).
Dari Abu Hurairah ra berkata: “Tidaklah ada seseorang yang lebih mengetahui tentang hadist Rasulullah saw dari pada diriku, kecuali dari Abdullah bin Amr; karena dia menulis dengan tangannya dan memahaminya dengan hatinya. Sementara aku tidak menulis dengan tanganku. Dia meminta izin kepada Rasulullah saw dalam menulis dari Rasulullah saw darinya, maka Rasulullah saw memberinya izin”. HR Bukhori, Ahmad, Ad Darimi, dll.
Atsar ini sangat jelas bahwa di masa Rasulullah saw sudah terdapat catatan hadist. Dan tidak perlu menunggu sampai ke abad berikutnya untuk mendapatkan catatan hadist. Tentu kyai Fahrur tau bahwa di dalam ilmu mustholahul hadist dalam pembahasan hadist shohih bahwa seorang rowi harus memiliki sifat “dhobth” (tepatnya riwayat), dan dhobth ada dua macam: dhobtus shodr (tepatnya riwayat dalam hafalan) dan dhobtul kitabah (tepatnya riwayat dalam tulisan). Jadi, tidak semua riwayat hadist berdasarkan hafalan, bahkan banyak perowi yang kuat hafalannya di akhir umurnya malah mengalami ikhtilat. Berbeda dengan periwayatan hadist melalui kitab/tulisan, ia lebih terjaga dari pada hafalan, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dalam ilmu hadist agar dapat diterima. Meskipun kodifikasi hadist di dalam sebuah kitab atau karya yang menghimpun hadist-hadist Rasulullah baru dapat dijumpai di abad ke 2 H.
Jika di masa Rasulullah saw saja terdapat tulisan hadist apalagi al Qur’an, maka di masa-masa berikutnya tentu lebih berkembang lagi. Apalagi hanya sekedar mencari nama “Ubaidillah” yang dikatakan sebagai “imam”, “dzuriyah rasul”, “ilmunya tersebar ke segala penjuru”, “banyak murid-muridnya”, dan ungkapan-ungkapan “wah” lainnya yang menunjukkan akan kebesaran nama tokoh ini !!.
Nasab Baalawi:
Kyai Fahur berkata: “Sebetulnya banyak sekali di antara ahli nasab dan sejarawan yang telah menulis dan menetapkan nasab moyang marga Ba Alawi, diantara mereka adalah….:”
Statemen ini betul, tapi sejak abad berapa ulama-ulama dan sejawan yang menetapkan nasab Baalawi ?? Apakah Jadid terkonfirmasi sebagai saudara dari Alwi bin Ubaidillah ?? dan bagaimana dengan penafsiran Ali bin Abi Bakar As Sakron bahwa Ubaid adalah tokoh yang sama dengan Abdullah ?? semuanya disebutkan di dalam kitab al Burqoh al Musyiqoh tanpa mendatangkan sedikitpun hujjah dan dalil yang memperkuatnya, hanya sekedar mengutip dari kitab As Suluk dan Mukhtashornya. Lalu menafsirkan bahwa Ubaid adalah Ubaidillah, dan Ubaidillah adalah Abdullah. Itu adalah nama-nama yang berbeda dari satu tokoh, meski tanpa dalil.
Kitab As Suluk karya imam Baha’uddin al Janadi memang menyebutkan nasab Ali bin Muhammad bin Jadid secara lengkap sampai kepada Abdullah bin Ahmad bin Isa. Tetapi perlu dikaji ulang. Karena jika melihat jumlah nama dalam ‘amudun nasab pada Ali bin Muhammad bin Jadid kepada Abdullah bin Ahmad bin Isa ditemukan nasabnya berbeda-beda. Dalam sebagian naskah ada menyebut 5 nama, sebagian lagi ada 6 nama, sebagian lagi ada 7 nama. Bahkan penyebutan “bin” pada Ali bin jadid di dalam kitab al ‘Iqduts Tsamin fi Tarikh al Baladil Amin (6/249) karya Taqiyyuddin al Fasi (w. 832 H) sedikit berbeda dengan versi yang biasanya, Ali bin Jadid disebutkan: “Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Jadid”. Padahal dalam versi yang lain disebut: “Ali bin Muhammad bin Ahmad”, bukan Muhammad bin Ahmad. Ditambah lagi dengan beberapa tokoh-tokoh Baalawi yang disebutkan di dalam kitab as Suluk tidak terkonfirmasi sebagai keluarga Baalawi yang tercantum di dalam kitab-kitab Baalawi. Misalnya Bamarwan yang sangat jelas disebutkan oleh Al Janadi sebagai bagian dari keluarga Baalawi. Tetapi oleh kitab-kitab Baalawi malah disebut sebagai guru Faqih Muqoddam, padahal hal itu tercantum secara jelas di dalam as Suluk yang versi cetak bahkan di versi manuskrip-manuskripnya. Hal yang patut disayangkan adalah kitab Tuhfatus Zaman karya Husain al Ahdal yang merupakan ikhtisar atau ringkasan dari kitab As Suluk, ketika menyebutkan Ba Marwan, di sana malah disebut sebagai guru dari Faqih Muqoddam. Saya tidak tahu, apakah itu merupakan interpolasi dari pentahqiqnya: (Abdullah Muhammad al Habsyi Baalawi) atau redaksi kitabnya memang seperti itu ?? Allahu A’lam; karena saya belum mendapatkan manuskrip Tuhfatuz Zaman. Maka kehujjahan as Suluk dalam penetapan nasab Baalawi menjadi mauquf, sampai adanya bukti yang memperkuatnya atau membatalkannya.
Kitab Abna’ul Imam Karya Ibnu Thobathoba
Kitab ini adalah salah satu kitab yang problematik, karena penulis awalnya adalah Ibnu Thobatoba, kemudian disalin ulang oleh Ibnu Shodaqoh al Halabi yang dikenal dengan al Warroq (w. 1180 H), dan ditambahi catatan juga oleh Muhammad as Safaroini (w. 1188 H), Muhammad bin Nashshor al Maqdisi (w. 1350). Tidak hanya itu, bahkan muhaqqiq kitabnya yaitu Yusuf Jamalullail pun menambahkan catatan juga atas kitab ini. Sehingga tidak diketahui mana tulisan Ibnu Thobatoba yang asli dan mana tulisan tambahan atas kitab itu. Meski demikian, Yusuf Jamalullail sebagai pentahqiq kitab tersebut tetap menganggap hal itu sebagai perkara yang biasa dan tidak mempengaruhi keotentikan kitab ini [lihat; hal 22]. Tentu ini adalah hal yang mengherankan. Oke lah jika hanya menambahkan catatan tetapi dengan memisahkan mana saja tulisan Ibnu Tobatoba sebagai penyusun aslinya, dan mana saja tambahan-tambahannya, tentu itu tidak bermasalah. Tetapi jika menambahkan suatu materi di dalam kitab dan tidak memisahkan materi asli dan tambahan, maka itu akan mengakibatkan persepsi buruk atas kitab tersebut, dan akan mengakibatkan gugurnya kitab itu sebagai sebuah referensi utama dalam kitab nasab. Mengingat bahwa penulis aslinya adalah ulama nasab di abad ke 5 H. Maka wajar jika Abdurrahman al Qoroja mengkategorikan kitab Abna’ul Imam sebagai kitab yang muntahal (yang dipalsukan/dibelokkan); karena muatan data-datanya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. [lihat al Kafil Muntakhob, hal 107]
Kitab Ar Raudhul Jaliy fi Nasab Bani Alawi Mengitsbat Baalawi
Dilihat dari judulnya saja, kitab ini membahas secara khusus tentang nasab Baalawi. Tetapi jika tidak diteliti dan didalami, maka akan diamini seluruh isinyabegitu saja, dan selesai. Padahal jika diteliti tidaklah seperti itu. Kitab ini memiliki banyak kerancuan isi. Di mulai dari kisah kehijrahan Ahmad bin Isa ke Hadramaut, pengutipan dari Mush’ab Az Zubairi, surat menyurat antara al Azwarqoni dan Ali bin Alwi (cucu Faqih Muqoddam), sosok Salim bin Bashri, dan masih banyak lagi. Jika diteliti dan diperdalam, maka itu semua membuahkan kerancuan yang tidak dapat diterima oleh logika. Bahkan muhaqqiq kitab itu sendiri yaitu Muhammad Abu Bakar Badzib juga meragukan penisbatan kitab ini kepada Murtadho Az Zabidi. Maka apakah layak kitab ini disebut sebagai sebuah kitab yang mengitsbat nasab Baalawi ?? jika Kyai Fahrur tidak percaya dengan ini, silahkan telaah saja muqoddimah tahqiq yang disusun oleh pentahqiqnya, maka anda akan menemukan apa yang saya tuliskan di sini. [Muhammad Abu Bakar Ba Dzib, Muqoddimah Tahqiq kitab Ar Raudhul Jaliy, hal 41-49]
Seandainya kitab itu benar-benar merupakan karya dari Murtadho Az Zabidi, maka pandangan beliau dapat diterima dan dapat ditolak. Sebagaimana penuturan dari Abdurrahman al Qoroja di dalam “al Kafil Muntakhob” (hal 128), beliau berkata:
أمَّا رأيُ العلماءِ في الزَّبِيدِي.. فَالَّذي أَعلَمُه أنّه لم يذُمَّه أحدٌ إلّا الجبرتي كما قيل، ولم أَقِف عليه، وذلك لأمرٍ بينهما. والصحيحُ: أنّه من النسَّابَة المعتَبَرِين، حالُه مثلُ غيره: يُؤخَذ منه ويُرَدّ.
“Adapun pandangan ulama tentang Az Zabidi, maka yang saya ketahui bahwa beliau tidak dinilai cacat oleh seorang pun (dari kalangan ulama), kecuali al Jabarti sebagaimana dikatakan, saya tidak menemukanya, dan itupun karena ada sesuatu antara keduanya. Dan pandangan yang benar bahwa pendapat az Zabidi seperti ulama yang lain, dapat diterima dan dapat ditolak.”
Begitu juga dengan kitab An Nafhah al Anbariyyah fi Ansab Khoril Bariyyah karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh al Yamani al Musawi, juga dipandang oleh Abdurrahman al Qoroja ia bukanlah hujjah yang kuat meskipun dapat diambil manfaatnya, dan secara mayoritas data-datanya diambil dari penduduk Yaman. [al Kafil Muntakhob, hal 128]
Wal hasil, kesimpulan dari beberapa judul kitab yang disebutkan oleh Kyai Fahrur itu perlu diteliti ulang; karena tidak semua karya-karya ulama dalam hal tarikh atau sejarah dapat dijadikan sebagai dasar utama di dalam keshohihan nasab. Karena kitab-kitab sejarah dan biografi tidak bertujuan untuk menetapkan nasab. Maka Abdurrahman al Qoroja menuliskan:
مصادر ليست غايتها الأنساب: كتب التراجم والتاريخ: هذه المصادر عموما ليس من غايتها تحقيق الأنساب، على قدر تناول الجوانب الشخصيّة وعدالة المترجم له أو ذكره ضمن سياق قصّة تاريخية، ومع ذلك يستثنى بعض كتب الطبقات التي رتّبت على الأنساب كطبقات ابن الخيّاط أو اعتني فيها بالأنساب عناية فائقة كطبقات ابن سعد.
“Sumber-sumber yang tidak bertujuan membahas nasab: yaitu kitab-kitab biografi dan sejarah. Sumber-sumber ini tidak bertujuan untuk meneliti nasab, tetapi hanya sekedar mencakup sisi-sisi kepribadian tokoh yang disebutkan biografinya, keadilan tokoh tersebut, atau hanya menyebutkan tokoh yang tercakup di dalam kisah sejarah. Meski demikian, terdapat pengecualian, yaitu beberapa kitab-kitab Thobaqot yang diurutkan sesuai dengan nasab seperti Thobaqot Ibnul Khoyyath, atau kitab thobaqot yang mengkaji nasab dengan kajian yang lebih, seperti: kitab Thobaqot Ibnu Sa’ad”. [al Kafil Muntakhob, hal 111]
Maka keterangan ini menunjukkan bahwa ketika sebuah nasab ditemukan di dalam kitab-kitab sejarah, maka belum tentu nasab tesebut adalah nasab yang shahih, tetapi harus diuji terlebih dahulu, apakah penulisnya termasuk dalam kategori tokoh yang memiliki perhatian khusus dalam kajian nasab, jika iya, maka bisa materinya bisa menjadi hujjah. Tetapi jika tidak termasuk, maka penelitian mengenai nasab tersebut memerlukan kajian yang mendalam.
Antara Kaidah Itsbat dan Nafi dalam Nasab
Sering kali disebut-sebut kaidah antara nafi dan itsbat mana yang didahulukan ? Abdurrahman al Qoroja menjawab permasalahan ini dengan: “yang didahulukan adalah yang memiliki hujjah yang terkuat, dan yang memiliki poin-poin prioritas dalam menerima nasab, yaitu: prioritas dalam masa, tempat, pengetahuan (tentang tokoh yang akan ditetapkan nasabnya), dan keadilan.” [al Kafi al Muntakhob, hal 130]. Poin-poin itu sudah saya jelaskan di dalam vidio saya di link berikut: https://www.youtube.com/watch?v=0D49vGM-O-4&t=885s silahkan simak saja penjelasannya.
Maka dalam permasalahan ini tidak ada kaidah yang pasti mengenai mana yang lebih didahulukan, tetapi yang didahulukan adalah yang memiliki hujjah dan argumentasi yang terkuat di antara keduanya.
Nama Ubaidillah Tidak Disebut Di Dalam Kitab-Kitab Nasab Bukan Berarti Tidak Ada? Apakah Tetap dibutuhkan Data Sezaman?
Habib Hatim bin Muhammad al Jufri di dalam “As Saadah Al Alawi Al Uraidhiyyun al Husainiyyun” hal 119 dengan mengutip dari al Kattani mengatakan:
واعلم أن عدم ذكر نسب أو فخذ في كتاب لا يقضى بعدم وجوده ولو بجزم صاحب الكتاب إلّا إذا عدم وجوده عند الكتب المعتمدة الأخرى في الفن.
“ketahuilah bahwa tidak disebutnya sebuah nasab atau pangkal nasab di dalam kitab itu tidak bisa dihukumi akan ketiadaan nasab tersebut, meskipun seorang penulis kitab sudah memastikannya, kecuali ketika wujud nasab (nama) tersebut sama sekali tidak ditemukan di dalam kitab-kitab nasab otentik yang lain.”
Pertanyaannya: apakah nama Ubaidillah ditemukan di dalam kitab-kitab nasab yang otentik? padahal sudah lewat 550 tahun semenjak kewafatan Ahmad bin Isa. Maka di sini betapa pentingnya data sezaman, agar mengetahui kebenaran Ubaidillah sebagai putra Ahmad bin Isa.
Data sezaman dibutuhkan; karena ilmu nasab adalah bagian dari ilmu sejarah. Dalam menguji sebuah kejadian tentu membutuhkan data yang semasa dengan kejadian tersebut. Agar dapat dinilai seberapa jauh kebenaran dari kejadian tersebut. Begitu pula dengan meneliti sebuah nasab, khususnya nasab Baalawi, jika ingin menguji ketersambungannya kepada Rasulullah saw maka yang dilakukan oleh seorang peneliti adalah sebagai berikut:
- Mengkaji silsilah yang sedang dikaji dengan kajian nasab yang murni yeng memiliki beberapa tahapan: (a) tahrirun nasab “menguji nasab” dengan meniliti nama-nama dalam silsilah itu satu persatu. (b) menghitung setiap generasi di dalam silsilah nasab dari sisi kelahiran dan kewafatan masing-masing generasi dari buku-buku sejarah. (c) melakukan muqobalah (komparasi) dengan nasab-nasab yang lain dari sumber-sumber kitab nasab yang otentik.
- Mengkaji silsilah nasab dengan kajian sejarah murni, yaitu dengan menyodorkan silsilah nasab tersebut sesuai dengan perjalanan sejarah, memperhatikan nasab-nasab itu apakah sinkron dengan sejarah yang ada dari masa ke masa atau tidak.
- Mengkaji nasab dengan kajian geografis, artinya menelusuri masing-masing generasi secara geografi di dalam peta suatu daerah atau tempat, mengetahui perpindahan generasi-generasi itu dari satu tempat ke tempat yang lain, dan mengetahui kapan terjadinya perpindahan itu. Tentu jika silsilah asli maka akan meninggalkan pengaruh tabiat kepada masyarakat di tempat yang dijadikan tempat tinggal. Dan jika tidak ditemukan pengaruhnya, maka silsilah tersebut terindikasi palsu; karena tidak memiliki bukti ketika ditelusuri. Dan ini merupakan bukti terkuat dalam kepalsuan nasab.
- Mengkaji silsilah dalam sudut pandang ilmu sosiologi, yaitu dengan mengkaji pemikiran, idiologi, dan psikologi. Nasab yang shohih dapat ditemukan tanda-tanda kebenarannya di ujung nasab, dapat ditemukan juga pada bagian tengah dan bagian yang bawah, rantai kebenarannya dapat ditemukan di generasi yang awal, di tengah dan di akhir.
- Tidak mencukupkan diri dengan 4 poin di atas, tetapi penelitiannya harus lebih mendalam lagi dengan tujuan lebih memastikan lagi kebenaran dan ketersambungan dari satu generasi kepada generasi yang lain. [Husain Haidar al Hasyimi, Rosail fi Ilmil Ansab, hal 183-186]
Maka proses ini sudah bisa difahami betapa pentingnya data sezaman, untuk mengkonfirmasi akan ketersambungan antara satu generasi dengan generasi selanjutnya. Apalagi dalam mengkaji sebuah nasab yang diklaim sebagai nasab yang paling shohih sedunia. Karena banyak klaim yang menyatakan dengan jelas bahwa nasab Baalawi adalah nasab yang paling shohih sedunia, bahkan nasab yang disepakati oleh seluruh ulama sedunia. Tetapi jika ditelusuri, misalnya: Muhammad bin Ali Ba alawi Shahib Mirbath (w. 552 H) dikatakan sebagai ulama yang pertama kali menyebarkan ilmu fiqih di kota Mirbath (Dhofar Qodim). Mari kita telusuri apakah tokoh tersebut yang merupakan generasi ke 6 dari Ubaidillah. Di dalam kitab Thobaqot Ibnu Samuroh (w. 587 H) ketika menyebutkan tokoh-tokoh ahli fiqih di kota Mirbat, ternyata tidak ditemukan sama sekali nama Muhammad Shahib Mirbat Ba alawi, apalagi sebagai seorang ulama besar, apalagi seorang imam, apalagi sebagai seorang tokoh besar yang menyebarkan ilmu fiqih di sana. Tapi yang ditemukan malah Muhammad bin Ali Al Qol’i [lihat: Ibnu Samuroh, Thobaqot Fuqoha al Yaman, hal 220] bahkan tidak hanya Ibnu Samuroh yang menyebutkannya, bahkan Tajuddin Ibnu Subki pun menyebutkan biografi Muhammad bin Ali Al Qol’i. Hal yang serupa juga dapat ditemui di dalam kitab As Suluk (1/454) karya Baha’uddin al Janadi (w. 732 H). Tentu jika diperhatikan bahwa zaman Al Janadi itu lebih dari 200 tahun setelah kewafatan Muhammad bin Ali Shahib Mirbath Baalawi. Dia tidak mengkonfirmasi keberadaan Shahib Mirbat, tetapi hanya mengkonfirmasi Muhammad bin Ali Al Qol’i yang masih satu wilayah dengan Shahib Mirbath. Bahkan lebih dari itu, gelar Shahib Mirbath itu tidak terkonfirmasi sebagai gelar Muhammad Baalawi, tetapi itu merupakan gelar dari Muhammad bin Ahmad al Akhal al Manjawi (w. 600 an H), sebagaimana penuturan Ibnul Atsir. Maka disimpulkan bahwa Muhammad bin Ali Shohib Mirbath Ba alawi adalah tokoh yang fiktif, yang kemasyhurannya sebagai imam, ulama besar dan keilmuan yang menyebar ke segala penjuru adalah klaim yang tidak bisa dibuktikan di dalam kitab sejarah. Dan sebagaimana penuturan para ulama nasab, maka nasab yang berkriteria seperti ini adalah nasab yang terindikasi palsu. Ini baru satu nama, belum kepada nama-nama yang lain dari tokoh-tokoh ba alawi.
Maka, Kiai Fahrur harus kembali mengkaji kitab-kitab dalam ilmu nasab, metode yang digunakan dalam ilmu nasab, serta bagaimana hubungan yang kuat antara ilmu nasab dengan ilmu sejarah. Agar tidak bersembunyi di balik dalih “syuhroh dan istifadhoh” yang disebutkan oleh para pakar fiqih dan dalih tidak dibutuhkannya data sezaman.
Cinangka, 7 Desember 2023.