Apa itu Dekonstruksi
Dalam tulisan ini saya memilih konsep dekonstruksi dalam memahami eksistensi habib di Indonesia, bukan delegitimasi eksistensi dan peran habaib selama ini. Keberadaanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalan kehidupan kebangsaan kita, dari sejak kemerdekaan hingga kini. Jangan lalu menafikan perannya hanya karena ketidaksukaan.
Kenapa yang dipilih dalam tulisan ini dekonstruksi bukan bagaimana reinterpretasi atas eksistensi habib, relasinya atas sosio politik mereka dalam bingkai kebangsaan dan keindonesiaan. Jika reinterpretasi itu artinya pemahaman kembali atas mereka akibat perannya yang selalu kurang, atau selalu salah saya kira tidak tepat.
Dalam catatan Yohanes Florianus Tana, Dekonstruksi yang digagas Jaques Derrida itu diartikan sebagai cara memahami makna teks yang tidak boleh terus mempertahankan makna yang lama (sudah ada) dan menentukan makna yang kemudian mengagungkannya. Tetapi harus diperoleh suatu kebenaran yang sungguh-sungguh baru dan menggambarkannya. Kebenaran ini diperoleh tanpa menyingkirkan kebenaran-kebenaran atau makna-makna yang lalu (yang telah mendahuluinya).
Karena kebenaran bukan satu, absolut dan universal. Kebenaran itu bersifat multipluralis. Jadi setiap orang dapat memperoleh suatu makna yang lebih berbeda dan mendalam lagi. Hal ini bukan berarti kebenaran itu bersifat relatif. Tetapi dekontruksi hendak mengajak kita untuk terbuka terhadap kebenaran-kebenaran yang yang akan timbul. Karena itu selalu ada kemungkinan lain yang tidak terduga.
Dekonstruksi selalu mengajak untuk memunculkan kejutan makna baru, itulah sebabnya ia mempersoalkan makna-makna yang ada agar makna yang tak terdugakan itu muncul.
Sejarah Habib di Indonesia
Kedatangan Habib di Indonesia menurut Ading Kusdiana dan Agus Permana dalam tulisan “Jaringan Habaib Di Jawa Abad 20”. Kedatangan Habaib di Indonesia tidak terlepas dari awal mula kedatangan orang Arab ke Indonesia yang pada umumnya bertujuan untuk melakukan perdagangan, dimana para pedagang dari Arab yang memutuskan untuk menetap di Indonesia, mereka menetap berkelompok di dekat Pelabuhan.
Orang-orang Arab yang menetap di Nusanatara kebanyakan berasal dari Hadralmaut. Mereka kemudian melakukan interaksi dengan kelompok pribumi dan mereka mengadakan jalinan kekeluargaan melalui proses pernikahan dengan penduduk pribumi, beranak pinak lalu tidak lagi kembali ke negeri asal mereka, para pendatang dari Arab ini mayoritas merupakan pendatang dari Arab Hadralmaut (Yaman) yang berasal dari kalangan Sayyid. Sedangkan kemunculan istilah Habib di Indonesia diperkirakan ada pada sekitar awal abad ke-19 Masehi.
Sedangkan menurut Habib Zein bin Umar bin Smith, ketua Rabithah Alawiyah yaitu organisasi yang menghimpun Warga Negara Indonesia yang memiliki darah keturunan Nabi Muhammad SAW Beliau menuturkan bahwa asal mula masuknya Habib atau keturunan Nabi di Indonesia, yaitu dari orang-orang Hadralmaut yang bergolongan Sayyid, datang ke Nusantara melalui Muhammad al-Faqih Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath. Meruntut silsilah dan sejarah keluarga, keturunan Nabi yang pindah ke Hadralmaut dari Basra yaitu Imam Ahmad bin Muhazir beliau generasi ke-8 dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra. Dari keturunan Imam Ahmad bin Muhazir hingga sampai ke Muhammad al-Faqih Muqaddam yang pergi ke Asia tenggara dan Indonesia. Mereka datang melalui Aceh dan wilayah barat lainnya. Setelah itu, masuklah gelombang kedua di abad 19 dan 20 Masehi.
Peranan Habaib
Menurut Habib Zein bin Umar Smith telah menjelaskan bahwa para sayid yang datang dari Hadramaut mempunyai marga hingga mencapai sekitar 128 dari keturunan Al-Husain. Namun, yang tercatat sekarang terdapat 62 marga misalnya Alatas, Assegaf, Al-Habsyi, Smith, Al-Barr, Al-Aidid, Al-Idrus, Al-Kaff, Al-Haddad, Sihab, dan Alatas marga paling besar.
Sekretaris Umum Rabithah Alawiyah Dr Husin Ali Alatas menjelaskan bahwa orang-orang Hadrami yang datang ke Indonesia berasal dari kalangan ulama sekaligus pedagang. Mereka berdagang sambil berdakwah seperti di Jakarta para alawiyyin ini dahulu punya toko di Tanah Abang. Mereka buka setengah hari, pagi untuk berdagang siang mereka pergi berdakwah. Mereka memang berjualan sekadar untuk mencukupi sehari-hari.
Meski menjadi kelompok yang bersanad kepada Nabi S.a.w, Rabithah Alawiyyah tidak ingin dipandang sebagai kelompok yang eksklusif. Husin menjelaskan, organisasi ini ingin juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Menurut Husin, kehidupan alawiyyin memang tidak jauh beda dengan masyarakat umumnya.
Perilaku Habib Belakangan
Dulu, sebelum era reformasi kita mengenali figur habib itu begitu mulia, terhormat, begitu alim dan soleh. Kita pun berharap berkah dari mereka. Sungguh terlalu manis untuk dikenang ketika habib perilakunya baik, sopan, tawadlu’, seperti mengikuti akhlak Rosulillah SAW Terutama habib yang datang dari Empang Bogor, dari Pekalongan dan dari Kwitang.
Memori tentang habib-habib era itu masih tersimpan di alam pikiran kita, betapa dulu itu mereka dimuliakan karena ilmu dan akhlaknya yang baik. Penghormatan atas para kiai kita jelas menunjukkan kearifan dan bijaksananya mereka. Maka tidak heran sopan santun dan ketawadluannya menarik simpati orang-orang tua kita dulu, dan itu yang diwariskan kepada kita agar hormat dan memuliakan habaib.
Kini, ketika memasuki era reformasi deskripsi habaib dengan segala perilakunya yang baik, kemuliaan akhlak dan ilmunya rupanya dikotori oleh perilaku dan tindakan oknum-oknum habib yang merasa mendapat dukungan cinta dari para muhibbin, seoalah mereka oknum habib ini punya hak istimewa yang melekat tanpa ada yang bisa mengurai atik posisi strategisnya ini.
Perilaku kotor itu akibat mereka berperan di gelanggang politik, pengaruh dan kekuasaan selalu jadi motif mereka. Sebab kekuasaan justru lebih menjanjikan untuk mempertahankan eksistensi istimewanya di tengah masyarakat. Padahal keliru besar, sebab dari titik politik praktis inilah arogansi, kepongahan, sombong, elitis dan merendahkan martabat masyarakat pribumi lainnya tengah dipraktikkan mereka.
Tinjauan Ilmiah Nasab Habib
Beberapa waktu yang lalu di Oktober 2022, adalah KH. Imaduddin Usman al-Banteni, kiai muda Banten telah merilis kajian habib di Indonesia dengan judul tulisan ” Menakar Keabsahan Nasab Habib” tebal 21 halaman. Isi tulisan tersebut dinilai sebagai kajian epistemologis nasab habib di Indonesia, murni sebagai kajian ilmiah dan tidak tendensius.
Kita pun menyimak apa yang beliau jelaskan belakangan ini, sebagai jawaban dari bantahan ilmiah oleh Habib Hanif, bahwa menurut KH. Imadudin bahwa kitab al-Suluk, adalah salah satu andalan para Habaib untuk menisbahkah ketersambungan nasab mereka kepada Rasulullah. Walaupun kitab ini masih jauh dari masa wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H. minimal, menurut usaha para Habaib, kitab ini, menjadi matarantai ketersambungan, sehingga tidak putus terlalu panjang sampai 651 tahun, terhitung dari wafatnya Ahmad sampai ditulisnya nama merek a di kitab Tuhfat al Tholib tahun 996 H.
Para pembela nasab para habib Ba Alawi di Indonesia mengatakan bahwa Ubaidillah sudah dicatat pada abad delapan. Yang demikian itu, katanya, terdapat di kitab al-Suluk karya al-Jundi (w.730 H.), yaitu ketika ia menyebut nama Abdullah sebagai anak Ahmad. Apakah benar Abdullah yang disebut al-Jundi itu sosok yang sama dengan Ubaidillah leluhur para habaib?.
Masih menurutnya, jika seandainya-pun benar, bahwa Ubaidillah adalah sosok yang sama dengan Abdullah, tetap masih terputus riwayat selama 385 tahun dihitung berdasar wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H sampai wafatnya al-Jundi pengarang kitab al-Suluk yang wafat tahun 730. Apalagi, yang penulis temukan justru menunjukan bahwa Abdullah ini sama sekali bukan Ubaidillah. Ia orang yang berbeda.
Mulai dari kitab Abna’ al-Imam dan al-Raud al-Jaliy, selalu ada masalah. Katakan itu betul, bahwa ada nama Muhammad bin Ali Ba Alwi, tetapi apakah betul itu al-Faqih al-Muqoddam? Kita lanjutkan ibaroh al-Jundi berikut.
وَمن بَيت أبي علوي قد تقدم لَهُم بعض ذكر مَعَ ذكر أبي جَدِيد مَعَ واردي تعز وهم بَيت صَلَاح طَرِيق وَنسب فيهم جمَاعَة مِنْهُم حسن بن مُحَمَّد بن عَليّ باعلوي كَانَ فَقِيها يحفظ الْوَجِيز للغزالي غيبا وَكَانَ لَهُ عَم اسْمه عبد الرَّحْمَن بن عَليّ بن باعلوي.
Artinya: dan sebagian dari keluarga Abi Alwi, telah terlebih dahulu disebutkan sebagian mereka, ketika menyebutkan Abi Jadid beserta orang-orang yang datang ke Taiz, mereka adalah keluarga kesalihan, tarekatnya dan nasabnya, diantara mereka adalah Hasan bin Muhammad bin Ali Ba Alawi, ia seorang ahli fikih, ia menghafal kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali, ia punya paman namanya Abdurrahman bin Ali Ba Alawi.
Untuk menyimpulkan bahwa leluhurnya yang bernama Ubaid, tanpa pakai mudlaf ilaih “Allah”, itu adalah Abdullah, Habib Ali al-Sakran menyebutkan:
وقد فهمت مما تقدم اولا منقولا من تاريخ الجندي وتلخيص العواجي وسبق به الكلام في ترجمة الامام ابي الحسن عَليّ بن مُحَمَّد ابْن أَحْمد جدِيد انه عبد الله بن احمد بن عيسى حيث قال: مِنْهُم ابو الْحسن عَليّ بن مُحَمَّد ابْن أَحْمد بن حَدِيد بن عَليّ بن مُحَمَّد بن حَدِيد بن عبد الله بن أَحْمد بن عِيسَى بن مُحَمَّد بن عَليّ ابْن جَعْفَر الصَّادِق بن مُحَمَّد الباقر بن عَليّ بن زين العابدين بن الْحُسَيْن بن عَليّ ابْن ابي طَالب كرم الله وَجهه وَيعرف بالشريف ابي الْحَدِيد عِنْد أهل الْيمن اصله من حَضرمَوْت من اشراف هُنَالك يعْرفُونَ بَال ابي علوي بَيت صَلَاح وَعبادَة على طَرِيق التصوف انتهى (البرقة المشيقة: 150-151)
Artinya: dan aku memahami dari keterangan yang telah lewat, untuk pertama kali, berdasar apa yang terdapat dari Tarikh al-Jundi (kitab al-Suluk) dan kitab Talkhis al-Awaji, dan telah disebutkan pembicaraan tentangnya, dalam menerangkan biografi sosok al-Imam Abu al Hasan, Ali bin Muhammad bin Ahmad Jadid, bahwa Ubaid itu adalah Abdullah bin Ahmad bin Isa. (yaitu) ketika ia (al-Jundi) berkata: sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, Ali, bin Muhammad bin Jadid (Hadid, dua riwayat manuskrip) bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut dari para syarif di sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah dalam tarekat tasawwuf”. (al-Burqah al-Musiqah: 150-151)
Perhatikan kalimat “waqad fahimtu mimma taqoddama”(dan aku memahami dari yang telah lewat itu), dilanjut kalimat “annahu Abdullah bin Ahmad bin Isa” (bahwa Ubaid bin Ahmad bin Isa itu adalah (orang yang sama dengan) Abdullah bin Ahmad bin Isa berdasar kutipan kitab sejarah karya al-Jundi… .
Dari situ diketahui, bahwa yang dicatat sebelum itu hanya Ubaid bin Ahmad bin Isa, lalu ketika Habib Ali al-Sakran membaca kitab al-Jundi maka ia memahami (menyimpulkan) bahwa Ubaid ini adalah Abdullah.
Lalu, kenapa Abdullah menjadi Ubaid lalu Ubaidillah? Habib Ali al-Sakran berargumen bahwa Abdullah bin Ahmad seorang yang tawadlu, ia merasa tidak pantas bernama Abdullah (hamba Allah), maka ia menyebut dirinya (Ubaid) hamba kecil, tanpa lafadz “Allah”.
والذي يظهر عندي ان الشيخ الامام عبد الله بن أَحْمد بن عِيسَى بن مُحَمَّد بن عَليّ ابْن جَعْفَر كان من عظيم تواضعه … ويستحسن تصغير اسمه ومحو رسمه تحقيرا لها وتصغيرا لما ينسب اليها وافناء للدعوى ومقتضيات الهوى بحسب التسمية له بعبيد (البرقة المثيقة:151)
Artinya: Dan sesuatu yang dzahir bagiku, bahwa sesungguhnya Syekh Imam Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far, karena tawadu’nya… ia menganggap baikdi tasgirnya (dikecilkan secara lafadz) namanya dan dihapusnya tanda (keagungannya), karena menganggap hina dirinya dan mengaggap kecil susuatu yang dinisbahkan kepadanya (nasab atau lainnya) dan melebur pengakuan dan kebiasaan nafsu, dengan mencukupkan nama baginya Ubaid.(al-Burqoh: 151).
Dari keterangan di atas disimpulkan, bahwa dikalangan keluarga Ba Alawi sendiri, nasab yang masyhur hanyalah “Ubaid bin Ahmad bin Isa”, lalu ketika Habib Ali al-Sakran melihat kitab al-Suluk, yang menyebut nama Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, ia berkesimpulan bahwa nama itu adalah nama lain dari Ubaid bin Ahmad bin Isa.
Dikatakan dalam kitab Syamsu al-Dzahirah, bahwa Ali (ayah al-Faqih al-Muqoddam) hanya mempunyai anak satu, berarti Hasan yang disebut al-Jundi mempunyai paman bernama Abdurrahman jelas bukan anak al-Faqih al-Muqoddam dan bukan keluarga Habib Ba Alwi.
وَمِنْهُم عَليّ بن باعلوي كَانَ كثير الْعِبَادَة عَظِيم الْقدر لَا يكَاد يفتر عَن الصَّلَاة ثمَّ مَتى تشهد قَالَ السَّلَام عَلَيْك ايها النَّبِي ويكرر ذَلِك فَقيل لَهُ فَقَالَ لَا ازال افْعَل حَتَّى يرد النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فَكَانَ كثيرا مَا يُكَرر ذَلِك ولعلي ولد اسْمه مُحَمَّد ابْن صَلَاح وَله ابْن عَم اسْمه عَليّ بن باعلوي بعض تفاصيل ابا علوي احْمَد بن مُحَمَّد كَانَ فَقِيها فَاضلا توفّي سنة ٧٢٤ تَقْرِيبًا وَعبد الله بن علوي بَاقٍ الى الْآن حسن التَّعَبُّد وسلوك التصوف. (السلوك: المكتبة الشاملة: 2/463)
Artinya: dan sebagian dari mereka adalah Ali bin Ba Alwi, ia banyak ibadahnya, agung pangkatnya, ia selalu solat, dan ketika membaca tasyahhud, ketika ia membaca ‘assalamualaika ayyuhannabiyyu’, ia mengulang-ulangnya, maka ditanyakan kepadanya (kenapa ia mengulang-ulang kalimat tersebut?), (ia menjawab): aku melakukannya sampai Nabi SAW menjawabnya, maka banyak sekali ia mengulang-ulang itu. Dan Ali mempunyai anak namanya Muhammad Ibnu Solah, ia punya paman namanya Ali bin Ba Alwi, sebagian rincian keluarga Aba Alwi adalah Ahmad bin Muhammad, ia seorang ahli fikih yang utama, ia wafat kira-kira tahun 724 H dan Abdullah bin Ba Alwi, ia masih hidup sampai sekarang, ia bagus ibadahnya dan menjalani tasawuf.
Dekonstruksi Pemahaman atas Habib
Kajian epistemologis yang ditulis KH. Imadudin Usman di atas itu menjadi pintu masuk bagi kita sebagai masyarakat pribumi yang merasa menjadi kelas bawah di hadapan mereka oknum habib yang arogan dan sombong, untuk memahami ulang atau mendekonstruksi ulang bahwa secara ilmiah nasab habib di Indonesia belum terkonfirmasi sebagai dzuriyat Rosulullah SAW.
Ini artinya sikap kita selama ini atas beberapa habib yang tidak sama sekali mencerminkan akhlak Rosulillah SAW tidak perlu lagi kita hormati, atau kita muliakan bahkan keistimewaan yang melekat di diri mereka agaknya harus kita copot dan menggantinya dengan sikap sama rata kepada umumnya masyarakat Indonesia. Bukankah semangat demokrasi adalah diprinsipi sikap dan pemikiran yang egaliterian.
Tetapi kita juga masih perlu hormat dan masih memuliakan beberapa habib yang budi pekertinya baik, akhlaknya yang terpuji, kealimannya dalam ilmu dan agama, terlepas soal nasab mereka yang belum terkonfirmasi sebagai yang ittishol (tersambung) kepada Rosulullah SAW. Karena kemuliaan mereka para habib yang terhormat, bukan karena nasab tapi karena ilmu dan akhlaknya.
Akhir Kalimat
Dalam tulisan ini saya mengambil konsep dekonstruksi tidak lain hanya bertujuan untuk pencerahan semata. Pastikan bahwa nalar dan jiwa kita tetap harus selaras dan adil untuk menjaga keutuhan negara dan bangsa. Kita kaum republikan berpikir dan bersikap egaliterian adalah suatu keniscayaan.
Serang, 20 April 2023
Oleh: Kiai Hamdan Suhaemi
Santri Biasa, Pemuda Republikan, Pencinta Tanah Air
Editor: Didin Syahbudin