Oleh: Kyai M. Hamdan Suhaemi
Negara yang kita pahami itu adalah tersusun dari wilayah (teritorial), isi (konstitusi) dan penduduk (rakyat), hal yang pokok jika kita bicara negara. Lain halnya jika negara dijelaskan secara detil dengan rumusan ilmu tata negara atau hukum tata negara, dan ilmu adminstrasi negara. Ringkasnya kita hanya mau mengulas hal yang nampak kita bisa lihat secara sederhana dan itu bersangkutan dengan kepentingan kita sebagai rakyat.
Untuk mewujudkan negara yang kuat tentu yang diutamakan adalah kedaulatan rakyat, bagaimana mungkin negara berdiri tanpa adanya kedaulatan. Posisi kedaulatan inilah yang kemudian kita sering sebut sebagai demokrasi, sebab negara demokrasi akan selalu diprinsipi oleh kemauan rakyat, beda jika kita melihatnya sebagai negara monarki dan kesultanan. Tentunya kedaulatan ada di tangan raja atau sultan.
Demokrasi yang ingin disampaikan ini adalah tentu demokrasi pancasila, karena Indonesia adalah negeri yang asasnya pancasila. Namun tak salah jika kita perlu sodorkan beberapa pandangan ahli dan politisi tentang demokrasi yang kini kita bicarakan.
Pandangan Demokrasi
Charles Costello, membuat definisi demokrasi bahwa demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.
Sidney Hook mempertajam arti demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
Lebih lanjut Robert A. Dahl menjelaskan suatu sistem demokrasi harus memiliki persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang bersifat mengikat, adanya partisipasi yang efektif rakyat, pembeberan kebenaran, kontrol terakhir masyarakat terhadap agenda serta pencakupan masyarakat terkait dengan hukum.
Sedangkan International Comission of Journalist mengurai bahwa demokrasi adalah suatu bentuk sistem pemerintahan dimana warga negara memiliki hak untuk ikut membuat keputusan-keputusan politik melalui wakil-wakil rakyat yang mereka pilih dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui sebuah pemilihan yang bebas.
Rumusan tentang demokrasi dari beberapa pandangan diatas tentu akan menjadi guidance (petunjuk) untuk mendudukkan demokrasi dengan sebenarnya, demokrasi yang titik tekannya adalah kedaulatan rakyat, sementara kedaulatan rakyat itu ada pada partai politik sebagai wadah aspirasi, wadah perjuangan politik, dan sebagai lembaga politik yang resmi diakui dalam konstitusi negara (UUD 1945). Pijakan partai politik sebagai bentuk kedaulatan rakyat secara historis kita kenal adanya Maklumat No. X tahun 1946 yang disampaikan oleh Wakil Presiden RI Drs. Mohammad Hatta, kemudian disempurnakan di periode pemerintahan parlementer sejak Syahrir menjadi Perdana Menteri RI.
Hegemoni Partai Politik
Pemilihan Umum (PEMILU), dikenalkan pertama kalinya pada 18 April 1955 untuk memilih wakil-wakil rakyat dan anggota konstituante dengan diikuti banyak partai politik yang masing-masing mewakili ideologinya, misal menerapkan ideologi sosialisme ada PSI (Partai Sosial Indonesia), ideologi nasionalisme ada PNI, ideologi Islam ada partai Masyumi, NU, PSII, kemudian ideologi komunisme ada PKI, sedangkan ideologi kristen ada Parkindo.
Sementara di zaman Orde Baru, partai politik hanya ada 2 yakni PPP dan PDI, sebagai representasi dari golongan santri dan abangan, meski kemudian rezim Orde Baru nyaris mengkerangkeng demokrasi dengan ditandai sikap otoriter dan sentralistik. Saat itu demokrasi secara substantif terpenjara oleh hegemoni politik penguasa. Suara rakyat hampir sama sekali dibungkam dengan pemanfaatan instrumen negara (dwi fungsi ABRI), bahwasannya negara adalah aku (le état cest moi).
Kini, partai politik telah menemukan jati dirinya sebagai kepanjangan tangan rakyat (daulat rakyat) dengan fungsinya sebagai lembaga politik yang ikut dalam menyelenggarakan negara an sich, bagaimanapun bentuk penyelenggaraan negara akan selalu melewati proses dinamika partai politik untuk melahirkan pemimpin-pemimpinnya, yang akan memasuki lembaga eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR), dan yudikatif (MA, MK). Tampak ada hegemoni partai politik dalam upaya-upaya distribusi kekuasaan.
Antonio Gramsci, seorang Marxis tulen (di tahun 1920 memimpin Partai Komunis Italy) telah mengingatkan bahwa pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka, dan hegemoni seharusnya mewujudkan kepemimpinan moral dan intelektual.
Dalam pada ini hegemoni yang diharapkan Gramsci adalah bagaimana mengelola kepemimpinan politis tidak dengan dominasi kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik, tapi titik tekan hegemoni partai politik adalah dengan ide, gagasan dan tindakannya itu yang berbasis ideologis tentu mengarah sebagai instrumen revolusioner dalam mewujudkan negara demokratis yang kuat, dengan tujuan keadilan dan kesejahteraan rakyat ( yang berdaulat).
Ujung Kulon, 30-10-2021
Wakil Ketua PW Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten