Al-Qur’an dan al-Hadits tidak memberi perintah yang tegas akan bentuk suatu negara, demikian pula ijma’ tentang itu sama sekali tidak pernah terjadi.Mengangkat dan membentuk suatu negara menurut faham Ahl sunnah wa al jama’ah adalah wajib. Namun, mengenai bentuk kepemimpinan (negara) nya tidak mengkristal kepada bentuk dan model tertentu. Ia diserahkan kepada ummat sesuai dengan situasi dan kondisi; topografis, demografis, geografis, sosial, budaya dan kesepakatan bersama dalam komunitas suatu bangsa.
Kesimpulan ini dikarenakan Al-Qur’an dan al-Hadits tidak memberi perintah yang tegas akan bentuk suatu negara, demikian pula ijma’ tentang itu sama sekali tidak pernah terjadi.
Sepeninggal Nabi Muhammmad SAW cara pemilihan empat khalifah pengganti Nabi berbeda-beda. Abu Bakar dipilih secara musyawarah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor; Umar diangkat berdasarkan surat wasiat dari Abu Bakar; Utsman diangkat berdasarkan pemilihan enam formatur yang ditetapkan Umar; dan Ali menjadi khalifah dengan calon tunggal.
Kemudian sepeninggal Ali, Hasan bin Ali diangkat sebagai khalifah berdasarkan bai’at penduduk Kufah. Muawiyah yang menjadi Gubernur Syam tidak setuju dengan pembaiatan Hasan. Ia merasa lebih pantas menjadi Khalifah. Kemudian dua pasukan berhadapan yang diakhiri oleh sikap Hasan yang mengundurkan diri demi menjaga persatuan umat Islam.
Kemudian naiklah Muawiyah sebagai khalifah. Mulai dari Muawiyahlah khilafah-monarki berjalan dalam sistem kenegaraan kaum muslimin. Pergantian khalifah berdasarkan keturunan, dia yang meneruskan seorang khalifah adalah anak dari khalifah sebelumnya. Demikian pula yang dilakukan oleh dinasti Abbasiyah setelah kehancuran dinasti Umayyah.
Dari sejarah diatas kita mengetahui, bahwa kaum muslimin tidak diberikan petunjuk yang qoth’iy (putus) akan bentuk sebuah negara. Dari sinilah KH. Ma’ruf Amin mengatakan bahwa sistem kenegaraan yang islami itu bukan hanya khilafah, tetapi juga termasuk kerajaan, keamiran, kesulthanan dan Negara Kesatuan, semuanya islami karena sistem-sistem itu dijalankan oleh umat Islam untuk menjaga urusan mereka dalam kehidupan baik urusan dunia maupun akhirat (agama). Tentunya harus difahami bahwa sistem negara yang islami yang dimaksud K.H. ma’ruf Amin adalah sistem negara yang didalam pelaksanaan pemerintahannya nya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Ketika kita sepakat bahwa sistem negara dalam Islam diserahkan kepada manusia, dan kita sepakat sistem kenegaraan kita adalah berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sekarang ada pertanyaan; bagaimana kaitan NKRI dengan penerapan syariat Islam? apakah negara kita telah termasuk menerapkan syariat Islam atau belum? Apa saja elemen syariat yang harus diterapkan sehingga suatu negara telah bisa dikatakan telah menerapkan syari’at Islam? Kalau dikatakan bahwa NKRI dari mulai merdeka sampai sekarang belum bisa dikatakan menerapkan syari’at Islam, lalu apakah bangsa Indonesia selama ini telah berdosa? Kalau sudah dikatakan menerapkan syariat Islam dengan indikator ibadah tidak dilarang, UU perkawinan, UU wakaf, UU waris, Bank syariah dsb. Lalu bagaimana dengan hudud dan qishash? Apakah hudud dan qishash itu tidak wajib diterapkan, atau bagaimana?
Inilah pertanyaan yang terus membutuhkan ruang terbuka untuk didiskusikan. Bentuk negara NKRI dengan dasar negara Pancasila ini jangan dijadikan tali yang tersindet mati, apalagi diijtihadi final oleh suatu masa kemudian wajib dijadikan pedoman sepanjang masa. Karena bentuk negara dan dasarnya adalah sebuah cipta karsa manusia, tentunya dalam membentuknya dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan yang melingkari pada masa itu, yang bisa saja pertimbangan itu sudah tidak memiliki pijakan illat di masa berikutnya. Yang harus selalu diingat oleh bangsa Indonesia adalah kenyataan keragaman suku, agama dan budaya yang harus menjadi pertimbangan utama agar kesimpulan diskusi itu bagaimanapun longgarnya adalah ditenagai oleh semangat mengayomi semuanya, karena rupanya itulah yang menjadi pertimbangan final para pendiri bangsa.
Pertimbangan ideal itu memang bukan sesuatu yang mudah dicarikan formatnya, buktinya selama ini kebangsaan kita masih menyisakan masalah, namun satu yang perlu kita syukuri bahwa walau dengan berbagai dinamika masalah itu kita telah mampu mempertahankan NKRI sampai hari ini. maka konvergensi tentang format kebangsaan kita harus terus dilakukan dengan semangat saling menghargai, masukan dan kritikan dari seluruh elemen bangsa harus dihormati untuk menyempurnakan berbagai macam ketidasempurnaan.
Dialog yang berkelanjutan dari masa ke masa dengan semangat pertimbangan kebaangsaan yang sama dengan pendiri bangsa akan menjadikan format kebangsaan dan negara kita lambat laun semakin kokoh. Jayalah Indonesia!
Imaduddin Utsman, Ketua RMI PWNU Banten